Kubah Emas

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Republika 02/03/2008



Sejak masjid kubah emas itu selesai dibangun, orang-orang dari berbagai pelosok daerah berdatangan. Beberapa warga sekitar masjid kecipratan rejeki. Anak-anak mudanya mendapat pekerjaan sebagai tukang parkir, ada beberapa warga yang ditugasi sebagai penjaga masjid, dan sejumlah warga lainnya membuka lapak-lapak berjualan makanan di luar areal rumah ibadah itu.

Masjid kubah emas telah membawa berkah bagi sebagian warga sekitar. Namun, tidak bagi Markum dan keluarganya. Padahal, rumah Markum, yang lebih pantas disebut gubuk, berbatasan dengan pagar masjid. Markum pernah menawarkan diri jadi penjaga masjid, tetapi ia kalah bersaing dengan warga lainnya. Menjadi marbot masjid saja Markum tak lulus tes. Markum tidak memenuhi syarat.

Akhirnya Markum hanya menjadi penonton, seperti para pengunjung masjid kubah emas lainnya yang datang dari berbagai pelosok daerah itu. Hanya saja kalau pengunjung lainnya mengagumi kubah-kubah yang berlapiskan emas, Markum memikirkan bagaimana caranya mengorek-ngorek permukaan kubah itu untuk mengambil kandungan emasnya.

Adzan Isya sudah lama berkumandang. Markum masih berdiri di balik pagar masjid, tepat di sisi tiang gubuknya. Seperti malam sebelumnya, Markum memandangi kubah-kubah masjid yang berpendaran sorot cahaya lampu. Markum sudah hapal jam berapa pintu masjid ditutup untuk umum. Dan Markum tentu hapal benar kapan para penjaga masjid selesai berkeliling memeriksa sekitar masjid, memastikan bahwa keadaan aman.

"Pak...," suara istrinya terdengar pelan. Markum tak menoleh, masih memerhatikan salah satu kubah emas itu. Istrinya mendekat.
"Pak, sudah malam. Ayo masuk... uhuk!" istri Markum merajuk sambil sesekali terbatuk.

"Ibu saja duluan. Aku belum ngantuk. Aku sedang melihat kubah emas itu."
"Heran... hampir setiap malam bapak tidak bosan-bosannya melihat kubah-kubah itu."

Markum menatap wajah istrinya. Kecantikannya sudah lama memudar sejak digerogoti asma lima tahun lalu. Nampak kulit wajahnya mulai mengeriput. Markum menyadari, istrinya belum benar-benar tua. Kemiskinan telah membuatnya demikian.

"Pak, kalau begitu aku tidur duluan."
Markum mengangguk pelan. Setelah itu Markum mengeluarkan pisau baja yang sudah disiapkan untuk mengorek lapisan emas kubah masjid itu. Markum bergegas menuju sebuah pohon rambutan yang dahannya menjorok ke bangunan masjid. Markum naik pohon rambutan itu dan melompat ke genting masjid, seperti ninja dalam film Jepang. Saat sudah sampai di dekat kubah, Markum terperangah memandangi kubah berlapis emas.

Mula-mula ia usap-usap permukaan kubah itu. Yang ia rasakan seperti megusap lembaran-lembaran uang. Dulu Markum pernah jadi penambang emas di sebuah sungai, jauh di pelosok kampung asalnya. Saat butiran-butiran keemasan mengerling di balik pasir, itulah yang ia rasakan saat menggosok-gosok permukaan kubah emas itu.

Tetapi saat hendak menggosok kubah emas itu, Markum teringat akan pesan almarhum ibunya. Yang paling lekat dalam ingatannya, Markum harus jadi orang jujur. Meskipun miskin, mencuri adalah perbuatan yang hina. Markum tak jadi mengorek lapisan emas pada kubah masjid tersebut.

Baru tadi sore Markum berdoa di dalam masjid kubah emas yang emasnya tengah ia raba. Markum berdoa dengan khusuk, berharap Tuhan mau mendengarnya.

"Ya Allah Ya Rabbi, aku selalu memohon kepada-Mu, agar mendapatkan rizki yang halal. Tetapi sampai saat ini hamba belum juga bisa mendapatkannya. Ampunilah hamba bila hamba mengupas emas kubah rumah-Mu ini. Ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, ya Rabbi."

Markum memejamkan matanya sesaat, membayangkan anaknya, Mardi, yang harus melunasi SPP. Lalu anak keduanya, Sarda, yang harus mendaftar sekolah. Dan si bungsu Adi yang harus dibawa ke dokter. Istrinya pun harus disembuhkan, dan tentu perlu biaya tak sedikit.

Markum mulai menggosok-gosokkan pisau khususnya pada permukaan kubah itu, dan tak lupa menadah hasil serutan pisaunya pada sebuah kain. Sambil terus menggosok, tatapan matanya mengedar ke sekeliling masjid. Ketika melihat salah satu penjaga masjid berkeliling, Markum menyudahi pekerjaanya. Dan saat penjaga tak terlihat lagi, Markum melanjutkannya. Akan tetapi langit tak bersahabat. Gerimis mulai turun membasahi genting-genting masjid. Sepertinya Tuhan bersedih menyaksikan apa yang dilakukan Markum. Markum tak peduli, ia terus menggosok-gosokkan pisau bajanya. Setelah hampir setengah jam menggosok permukaan kubah, Markum mengumpulkan serbuk-serbuk emas pada kain dan melipatnya. Markum memegangnya erat-erat lalu perlahan-lahan menuruni genting yang basah.

Tapi tak mudah berjalan di atas genting yang licin. Karena terlalu telah menggosok, yang menyebabkan tubuhnya kecapekan, Markum kehilangan keseimbangan. Salah satu kaki Markum terpeleset dan tubuhnya terjerembab. Tubuh Markum meluncur deras menuruni genting masjid hingga terdengar suara berdebam!

Suara-suara penjaga mulai terdengar. Sekitar empat penjaga masjid menyorotkan senter ke arah suara. Markum nampak tak berdaya, apalagi saat salah satu penjaga melihat keberadaan Markum yang teronggok di ujung genting. Sebelah tangannya yang memegangi pisau terlihat dari bawah masjid.

"Astaghfirullah!! Ada orang di atas genting!"
"Awas, hati-hati!! Dia bersenjata!"
"Kasih tahu warga! Umumkan lewat speaker masjid!"
Lalu salah satu penjaga masuk ke dalam masjid, dan mengumumkan lewat speaker. "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh! Saudara-saudara sekalian, di masjid kubah emas ada pencuri! Pencurinya masih berada di atas genting!"

Markum mendengar pengumuman spekaer yang memekakkan telinga. Meskipun suaranya keras, ia mendengarnya lamat-lamat. Markum gugup dan lemas melihat darah mulai menetes dari keningnya. Saat terjerembab dari atas kubah tadi, kepalanya membentur ujung genting.

Beberapa saat kemudian warga sekitar masjid sudah berkumpul. Mereka adalah warga yang selama ini membangga-banggakan masjid kubah emas, dan diantara mereka memang ada yang mendapatkan rizki dari keberadaan masjid. Mereka adalah tukang parkir, pedagang asongan sekitar masjid, dan warga lainnya. Di antara mereka ada yang ternyata malas shalat di masjid, tapi kalau mendengar ada pencuri di masjid darahnya naik ke ubun-ubun.

"Ayo kita tangkap!"
"Habisin aja!"
"Bakar malingnya!"
Teriakan-teriakan di bawah masjid membuat Markum makin tersudut. Markum tak mampu menatap ke bawah masjid karena posisi tubuhnya yang terlentang di salah satu ujung genting. Namun begitu, Markum masih bisa memandangi cahaya lampu masjid berpendaran menyorot kubah emasnya. "Pak...." Markum seperti mendengarkan suara istrinya.

"Pak... ayo masuk! Hujan-hujan begini kok di luar. Nanti bapak sakit." Suara sang istri membuyarkan lamunannya. Pisau dalam genggamannya nyaris terjatuh.

"Pak. Uhuk... bapak sedang apa di luar?" ulang istrinya, sambil sesekali terbatuk. Gerimis yang membasahi kepalanya mulai berhenti. Markum tahu kalau istrinya tengah menatap dirinya. Markum memaksakan tersenyum sambil memandangi kubah-kubah emas yang berkilauan cahaya lampu. "Bu. Kubah masjid itu indah sekali ya?"

"Ya jelas saja, Pak. Kubahnya saja dari emas. Uhuk... ayo Pak masuk. Nanti bapak masuk angin."

Markum melepaskan pisau dalam genggaman, lalu masuk mengikuti langkah istrinya ke dalam gubuk. Kubah masjid berpendar-pendar meski langit tanpa rembulan. Entahlah... apakah besok malam Markum tak berubah pikiran untuk tetap mencongkel salah satu kubah emas itu.***