Menjerat Iblis

Selasa, 17 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Sakti Wibowo
Dimuat di Republika 03/08/2003



Ini tidak main-main. Dalam tidur, Kiai Dulkamid berhasil menjerat iblis yang mencoba menggodanya. Begitu berhasil menjerat makhluk mengerikan itu, kiai nyentrik ini memutuskan untuk terjaga agar bisa menyeret iblis ke dunia nyata.

"Lepaskan aku maka kau akan kuberi kekayaan," kata Iblis. "Bahkan lebih dari itu. Kau mau berapa puluh keping?"

Kiai Dulkamid hanya mencibir. "Seperti dua keping uang emas untuk seorang abid yang hendak menebang pohon jelmaan iblis di masa lalu? Sayang, aku tidak seperti itu. Bahkan segunung emas dan satu gunung lagi kautawarkan, aku tak akan tergoda."

Wajah Iblis lusuh, tak tampak lagi keperkasaannya. Bahkan wanita cantik yang pernah ditawarkannya kepada Harut dan Marut pun tak kuasa menggoyahkan iman Kiai Dulkamid. Kiai satu ini benar-benar terbebas dari nafsu terhadap harta dan wanita.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tahta? Aku pernah melihat istana Balqis dan Sulaiman. Aku bisa memberimu tahta yang lebih dari itu jika kau mau. Kau akan kujadikan rajaku."

"Jangan macam-macam. Kalau aku tidak tertarik pada dua 'ta' yang pertama, kau pikir 'ta' yang ketiga akan menjadi sesuatu yang menggoda selera?"
Tahta memang sarana untuk mendapatkan harta dan wanita. Jadi, kalau terhadap keduanya saja Kiai Dulkamid tak menyimpan selera, bagaimana dengan ketiganya?

Wajah Iblis kian lusuh menyadari ia tak bisa berharap banyak dari jurus-jurus wajib menggoda 'tanah bernyawa' ini. Dirinya adalah api, dicipta dari api. Tanah yang terbebas dari unsur basah, kendati dibakar, tak akan berubah menjadi batu. Padahal, ia baru bisa dikatakan berhasil kalau bisa membatukan hati manusia.

"Begitulah hatiku," ujar Kiai Dulkamid yang menyentakkan Iblis sebab ternyata pikirannya telah tertebak oleh kiai nyentrik tersebut. "Api yang membakar tanah yang terbebas dari unsur basah memang bisa jadi berkonduksi, namun itu tak sampai mengubah tanah dalam diriku menjadi batu."
Bagi kiai yang luar biasa ini, permasalahannya bukan terletak pada dilepaskannya Iblis atau tidak. Ia tahu, Iblis tak bisa mati. Allah sendiri yang mengodratkan itu, dan karenanya, Kiai Dulkamid tidak berpikir bagaimana hendak membunuh Iblis.

Pagi harinya, sehabis Shubuh, umat ramai berkumpul di halaman masjid menonton makhluk menjijikkan yang terikat di tiang utama.
"Lepaskan aku!" pinta Iblis memelas kepada Kiai Dulkamid. "Aku akan kabulkan apa yang kauminta. Sebutlah apa yang kauinginkan."
"Bagaimana kalau aku minta akhirat? Apa kau juga bisa berikan?"

"Tapi kau butuh dunia, bukan? Jangan munafik. Kau pasti menginginkan dunia. Dunia bukan barang haram. Adam diutus menjadi khalifah karena adanya dunia. Tanpa dunia, maka tak ada khalifah."

"Ya, benar begitu," tambah Kiai Dulkamid. "Dunia adalah sarana, alat, wasilah. Tapi dunia juga air bagi tanah. Pada tanah yang dicampur air bisa tumbuh biji-biji. Jika pas komposisinya, ia bisa merefleksikan rububiyyah-Nya tentang penciptaan. Manusia, dengan adanya dunia, bisa menjadi makhluk yang ahsani taqwim, yang kepadanya pernah diperintahkan bersujud para malaikat."

"Kalau begitu, lepaskan aku. Akan ku...."
Kiai Dulkamid menatap wajah Iblis. "Apakah kaupikir kaulah yang memiliki dunia sehingga kau berani menawarkannya pada manusia? Bodoh bagi air kalau merasa dirinya yang menghidupkan biji-biji. Celaka bagi tanah jika merasa dirinyalah pemberi nyawa."
Orang-orang memperhatikan Kiai Dulkamid seperti menunggu apa yang hendak dilakukan kiai nyentrik itu. "Kalian lihat, inilah dia makhluk yang telah bersumpah di hadapan Allah untuk menjerumuskan manusia ke dalam neraka."
"Ya!" riuh jawab orang-orang.
"Bunuh! Bunuh saja, Kiai!"
Kiai Dulkamid menggeleng. "Keabadiannya dijamin Allah."

"Penjara! Penjara...!"
Kiai Dulkamid kembali menggeleng.
"Baiklah!" teriak Iblis yang langsung membuat semua orang terdiam. "Lepaskan aku, dan sebagai gantinya, aku akan menceritakan caraku menggoda kalian."
Kiai Dulkamid segera meminta pertimbangan kepada umat yang tengah ramai bersorak-sorai.
"Ya! Setuju! Setuju!"

Kiai Dulkamid melayangkan pandangannya kembali kepada Iblis. "Nah, kalau begitu, segera katakan."
"Pada intinya, aku akan mengeraskan hati kalian. Hati yang keras adalah hati yang mati. Ia pekat dan keras seperti batu. Tak bisa dirasuk air, tak bisa ditembus cahaya."

Orang-orang ternganga dan serentak mendekap dadanya masing-masing seakan takut segumpal darah di dalamnya akan membatu.

"Aku akan mencampur tanah dan air sedemikian rupa hingga menjadi lumpur ladon, lantas memanaskannya hingga menjadi batu. Hati manusia terbuat dari tanah. Air adalah dunia. Kalian sendiri yang mencampur hati kalian dengan dunia." Iblis menyeringai. "Kau lihat lelaki itu?" tanyanya seraya menunjuk seseorang.

Orang itu mengerut takut. Iblis menggerakkan tangannya. "Hanya diperlukan sedikit air untuk meramu tanahnya. Campuran air dalam tubuhnya telah lebih dari cukup karena ia begitu cinta pada dunia."

Orang itu meradang. "Seberapa? Kau ingin mempermalukanku di depan Kiai? Semua orang tahu aku ahli shadaqah."

Semua orang mengernyit mendengar jawaban lelaki itu. Iblis tertawa panjang. "Kaulihat? Itulah air melimpahnya. Ia begitu bangga dengan pujian."
Kia Dulkamid meraup mukanya, turun pada jenggotnya yang rimbun. "Bagaimana dengan yang lain?"
"Yang itu?" tunjuk Iblis lagi. "Ia selalu membanggakan garis keturunannya. Hanya perlu dua mangkok air untuknya. Kalau yang itu malah lebih sedikit lagi."

Satu per satu mulai ditunjuk oleh Iblis. Dan, tak ada satu pun yang memiliki kadar air sedikit. Orang-orang mulai kasak-kusuk tak mengerti. Kiai Dulkamid kembali menatap Iblis. Ia sangat ingin mengetahui kadar air dari seluruh umatnya. Ia ingin tahu seberapa banyak lagi ia harus menanamkan nilai-nilai agama pada mereka.

"Siapkan mangkok sebanyak-banyaknya dan antarkan padaku orangmu satu per satu."
"Kiai, ini ide konyol!"
"Kiai," tukas Iblis, "tentu saja ini adalah tanggung jawabmu. Sebagai seorang penganjur kebenaran, sudah menjadi hakmu untuk mengetahui sejauh mana anjuranmu dilaksanakan oleh orang-orang ini."

Sekali ini, sang kiai nyentrik merasa hatinya masygul. Yang dikatakan oleh Iblis tadi benar. Nyatanya, ia sering merasa tertipu oleh wajah salih seseorang. Ia acap merasa sangat kecewa saat mendapati umatnya telah menipu, melakukan tindakan-tindakan tercela, padahal mereka belum begitu lama keluar dari masjid mendengarkan ceramahnya.

"Kiai! Kiai...!"
Kiai Dulkamid menatap lelaki muda yang begitu dekat dengan dirinya. Paras itu, tentu ia ingat betul, beberapa saat lalu muncul di layar kaca mendukung Inul. Kiai Dulkamid nyaris tak percaya saat itu. Bukankah lelaki ini adalah orang yang ia kenal gemar sekali mendengarkan ceramahnya usai shalat, dan sering dijumpai tengah sibuk berzikir dan shalawat? Mengapa ia malah mendukung goyang Inul dan disebutnya sebagai hak asasi?

Kiai Dulkamid geleng-geleng kepala. Sangat sulit sekarang menemukan hati jujur pada wajah-wajah yang jujur. Ilmu rias wajah yang dilengkapi seni akting telah membaurkan wajah-wajah keruh maksiat itu menjadi berbinar-binar teduh.

Karena semua itu adalah kenyataan yang menyakitkan, Kiai Dulkamid merasa perlu melongok ke hati masing-masing umatnya. Ia ingin tahu seberapa kadar air masing-masing umatnya sehingga dengan mudah ia tahu mana orang yang hatinya masih berpeluang untuk diperbaiki dan mana yang tidak. Dan, itulah yang kini ditawarkan Iblis.

"Tunggu apa lagi, Kiai?" desak Iblis.
Tapi, bukankah hasil dakwah tidak menjadi beban bagi seorang dai? Berhasil tidaknya dakwah tidak mengurangi kadar pahalanya. Tuhan hanya menilai dari keikhlasannya. Itu yang ia dengar dan selama ini berusaha ia maknai.

"Yang ini, Kiai?" desak Iblis lagi seraya menarik orang yang berdiri paling dekat dengannya. "Hanya segini," lanjut Iblis, mengambil dua mangkok air dan mencampurnya dengan tubuh lelaki itu yang kini telah berwarna tanah.

Tiba-tiba, Kiai Dulkamid melihat di depannya onggokan tanah yang basah, dan di situ Iblis mencampur tanah dengan air.

"Bagaimana, Kiai?" tanya Iblis lagi. "Kau ingin melihat seberapa banyak kadar air umatmu, bukan? Karenanya, kau bisa tahu bahwa sesungguhnya kau pun layak untuk diperhitungkan dalam kancah dakwah."
Kiai Dulkamid ingat, bulan lalu sebuah kelompok pengajian membatalkan undangan ceramah untuknya. Ia tahu alasan utama pembatalan itu karena dirinya kalah populer dengan seorang kiai dari kota yang pernah menjabat menteri. Tapi, ia tidak ingin menyesalkan pembatalan yang juga membatalkan janjinya membeli kerudung untuk istrinya. Ini soal uang, dan keikhlasan.

"Kau harus tahu, Kiai," desak Iblis, "dibandingkan kiai berdasi itu, kau lebih berhasil dalam menyeimbangkan kadar air dalam tubuh umatmu. Kau lebih tahu takaran seberapa kadar air yang cukup untuk menumbuhkan biji-biji dalam tanah tanpa harus menjadikannya lumpur yang jika padanya didekatkan api, maka akan mengeras menjadi batu."

Iblis terus mencampur onggokan tanah itu dengan air. "Untuk yang ini, hanya diperlukan segini."
Masygul, kini Kiai Dulkamid turut mencoba mencampur segumpal tanah dengan air. "Yang ini agak lebih banyak."

"Apakah kau berharap menemukan tanah yang kering?"
Kiai terperanjat. "Apa?"
"Tanah yang kering."
"Maksudmu, yang tidak mengandung air? Tanah yang gersang yang padanya tidak ada kehidupan?"
"Tanah yang bila dibakar tidak akan berubah menjadi apa pun," jawab Iblis lagi.

"Itu tanah yang mati. Padanya tinggal dihitung dan ditimbang amal."
Iblis tertawa. Suaranya seperti anak panah yang meluncur memekatkan langit. Kiai Dulkamid ternganga seraya melihat tanah yang dicampurnya dengan air itu kini berubah batu. Dan... ia melihat semuanya telah membatu.