Di Tepi Sungai

Selasa, 17 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Wildan Nugraha
Dimuat Koran Tempo 28/01/2007


AKU ingin melipat sungai ini dan membawanya pulang. Akan kusimpan di kamarku sebagai hiasan di dekat meja belajar. Tapi bukankah kamarku akan dibanjirinya bila sungai ini meluap? Semuanya akan menjadi basah dan, tentu, merepotkan. Maka lebih baik kugelar saja ia di halaman, dekat pagar. Biar kolam ikan di sana menyatu dengannya. Dan ikan-ikan kolam akan menjadi ikan-ikan sungai. Kawanan yang besar jumlahnya. Berenang ke sana-kemari. Ada yang bergerak menantang arus, ada yang menepi sebentar untuk istirah.

Tapi, mana mungkin semua itu?

Aku ingin tertawa, sebab aku bahagia sekali pagi ini. Walau tubuhku menggigil oleh dingin. Padahal di tanganku segelas coklat susu. Asapnya harum mengepul. Aku bisa melihatnya, seperti juga uap napas dari mulutku, sebelum ia menghilang oleh angin. Menyenangkan sekali. Sementara di sekelilingku kabut mengambang tipis. Sebentar aku menengadah dan mendapati langit mulai terang. Awan seperti kapas yang ditata halus dan rapi. Apakah kabut di sekelilingku, asap dari gelasku, dan uap napasku juga akan menjadi awan di langit sana?

Suara sungai kedengaran merdu. Ada juga burung menyanyi-nyanyi, tapi sosok mereka belum terlihat. Sayup-sayup saja kicau mereka. Aku harus berpikir bila ingin melihat mereka. Hanya ada satu yang terbang lalu hinggap di dahan sana, dan tak lama menghilang dari tatapanku. Dia berwarna kuning. Atau cokelat terang? Burung memang penuh teka-teki.

Kini mataku lekat pada sungai di depanku. Menggemuruh suaranya. Suara-suara yang lain seperti muncul di sela-selanya. Juga suara angin yang membuat semua dedaunan menari. Aku pun jadi ingin menari. Dengan iringan suara sungai.

Aku meneguk minumanku. Nikmat dan hangat.

Ayah di seberang sana memakai jaket tebalnya. Begitu juga Kakak. Mereka sedang mengobrol. Sementara Ibu duduk di atas batu, beberapa langkah dari mereka. Dengan matanya tertuju ke arahku, dia tersenyum dan melambaikan tangannya. Mereka memanggilku. Mereka memanggilku, memintaku bergabung. Dan semua mereka melambai-lambaikan tangan seraya tersenyum lebar-lebar.

Aku harus menyeberangi sungai ini. Tidak terlalu lebar dan tidak terlalu deras. Di beberapa tempat dasarnya kelihatan karena airnya memang begitu jernih. Beberapa batu berukuran besar menyembul. Batu-batu berwarna abu-abu. Itu salah satu warna kegemaran Kakak.

Aku dengar Kakak kembali memanggil namaku. Sementara Ayah mencoba menebak isi kepalaku dan dia berkata aku tidak usah mencopot sepatu, sebab aku bisa berpijak pada batu-batu itu. Padahal bukan itu yang kini kupikirkan.

Aku berbalik dan berjalan menuju tenda. Lalu kembali ke tepi sungai dengan kamera di tangan. Mencari tempat yang tepat dan nyaman, aku bersiap-siap membidik. Sebelum menyeberang aku ingin mengambil foto mereka dari sini. Pasti akan bagus untuk kenang-kenangan. Akan kami bingkai dan kami tempelkan di tembok sepanjang tangga. Menambah foto-foto yang sudah terpajang di sana.

Kulihat mereka di sana jadi ribut dan bersorak-sorak riang. Terlebih-lebih Kakak: keluar juga kenesnya di pagi ini. Mereka mendekat ke batu besar tempat Ibu duduk. Mereka tersenyum, aku tersenyum. Kudekatkan kamera ke mataku.

Aku mengedip-ngedipkan mata beberapa kali di balik kamera. Tapi kutelan kembali aba-aba yang telah siap di mulutku. Dan aku tidak lagi tersenyum. Aku tidak lagi tersenyum karena seketika semua di sekelilingku seolah surut. Semua bunyi seperti menguap. Lewat lubang kamera aku hanya menemukan batu besar itu. Di atasnya tidak ada ibuku yang sedang duduk dan tersenyum. Juga Ayah. Juga Kakak. Kuturunkan kamera, dan semuanya kian hening dan kosong.

Kini kurasakan kakiku mulai bergerak membawa tubuhku menyeberangi sungai. Ke arah mereka berempat. Jelas mereka tidak menyadari kehadiranku. Mungkin mereka keluarga kecil yang sedang berlibur di tepi sungai. Anak kecil itu lucu sekali, wajahnya mengingatkanku akan seseorang.[]