Lantai Hotel untuk Menangis

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ragdi F. Daye
Dimuat di Riau Pos 10/ 06/2007



Mukamu yang kuyu sedikit bersinar ketika kau menyungkupkan selendang putih itu ke kepalamu. Kau merasa canggung dan sedih. Kain rajutan warna tapai yang kau beli di sebuah pameran itu mengingatkanmu pada sebuah peristiwa enam tahun silam, ketika kau duduk bersamanya di atas tilam tipis di ruang tamu sebuah rumah asing tanpa dikerumuni sanak-keluarga, karib-kerabat dan para tetangga. Suara yang serak itu terngiang di telingamu, ?Saya terima nikahnya Aurani Hanima binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang delapan puluh empat ribu rupiah tunai.?


Hampir tersedak kau oleh kesedihan tapi segera kau tutupi mulut dengan jari-jari tanganmu yang putih lentik. Kau terima berkas-berkas yang disodorkan panitia yang tampan itu sambil menjatuhkan basa-basi; tentang jumlah peserta yang terus membludak, tentang trainer yang datang, tentang foto-foto, tentang kegiatan alumni.

Panitia itu menghadiahimu jawaban dengan suaranya yang renyah menyenangkan. Pakaiannya hitam-hitam seperti orang berkabung dalam film-film. Ini kali keempat kau ikut acara itu. Pergi setelah minta izin kepada bos showroom tempatmu bekerja. Selendang putih itu telah kau persiapkan dari rumah. Cukup serasi dengan pakaian kerjamu yang panjang.

?Hai, Rani! Ikut lagi?? Seorang perempuan berkerudung indah menyambutmu di balik pintu. ?Kau semakin cantik saja.?

?Ah, Nora. Aku hanya butuh menangis agar hatiku lega. Bukankah airmata yang mengucur dengan kerelaan dapat menyembuhkan hati yang nestapa??

??????? ***

Seperti biasa, lampu-lampu di kanopi disesuaikan dengan ritme acara, kadang terang, kadang lindap, kadang nyaris gelap semata. Musik dari pengeras suara dengan sempurna berhasil mengombang-ambing perasaan.

Trainer itu menguraikan materi yang telah berulang-ulang kali kaudengar. Seperti khutbah yang indah. Sebenarnya, kau telah dapat menduga setiap apa yang akan disampaikan beserta musik pengiringnya. Namun, kau tetap mengikuti dengan berdebar seolah itu pengalaman pertama bagimu.

Suara tangis dan batuk membuat tengkukmu dingin. Kau menangkupkan muka pada kedua telapak tangan. Membayangkan makhluk kecil itu yang membuat dadamu seakan ditumbuhi berumpun-rumpun kaktus gurun yang subur. Membayangkan laki-laki itu. Membayangkan kedua orang tuamu yang jauh di kampung, yang tak pernah lagi kaudatangi. Kau teringat kerut merut di wajah mereka, belaian tangan hangat dan suara kasih-sayang yang nyinyir.

Kau teringat pada hari itu. Ayahmu yang mengenakan kemeja taluak balango coklat sepulang dari rumah kerabat yang hendak baralek menyalak begitu kau masuk ke dalam rumah.

?Dari mana kau??

?Dari tempat teman.?

?Dari tempat teman apa?! Jangan suka berdusta pada orang tua! Adikmu melihat kau pergi dengan anak kurang ajar itu!?

Kau mengumpat dalam hati, berjanji akan merobek mulut adikmu yang pengadu.

?Apa kau tak punya malu, hah?! Setiap hari pergi dengan laki-laki itu, apa kau mau jadi lonte??

Matamu? terbeliak. Hatimu sakit sekali atas sikap ayahmu yang terlalu cerewet. Kau yakin pergaulanmu tak seburuk teman-temanmu yang menyerahkan keperawanannya di penginapan murah dekat pasar atau semak-semak tempat wisata. Sejauh itu kau dan kekasihmu hanya duduk-duduk bercerita, bernyanyi-nyanyi, dan bercanda, makan atau sekedar jalan-jalan. Kau tak sekotor itu meski memang sering pulang terlambat.

?Iya? Mau jadi lonte kau, hah?!?

Kau terluka. Kautentang mata ayahmu dengan muak. ?Iya! Terus kenapa??

Ayahmu yang tua melayangkan tangan besarnya menampar mukamu sehingga mulutmu berdarah. Mungkin ada gigimu yang patah. Kau berlari ke kamar. Tak mau lagi menyapa ayahmu sampai berminggu-minggu kemudian. Kau merasa dituduh dan tak dipercayai. Diam-diam, kau menyiapkan pemberontakan.

Hingga petaka itu terjadi. Kau sama sekali tak ingin mempercayainya. Tubuh kekasihmu memasuki tubuhmu. Dengan segala ketakutan, kau meradang padanya. Menghantamkan segala benda yang terjangkau oleh tanganmu ke tubuhnya. Kau memang marah pada ayahmu, tetapi bukan perlawanan seperti itu yang ingin kau lakukan. Berminggu-minggu kemudian, ketika daging di dalam perutmu mulai lincah menunjukkan kehadirannya, kau dan kekasihmu lari ke kota. Meminta pertolongan seorang keluargamu untuk menjadi wali.

??????? ***

Temanmu Nora merangkulmu. Wanita eksekutif itu tampak sangat cengeng dengan air mata sepenuh muka. Ingusnya berleleran. Dia seorang pegawai di kantor cabang sebuah bank swasta. Sehari-hari anggun dan berkharisma. Kau seangkatan dengannya. Pertama kali ikut, kau disponsori tempat kerja.

Kalian berpelukan, seperti yang diinstruksikan trainer di depan. Saling menghapus air mata dengan tisu yang telah disediakan. Juga ingus di hidung yang meleleh. Tak lupa, serentet nasehat bijak dibisikkan.

?Kita harus berbakti pada kedua orang tua, setelah pada suami.?

Di ruangan yang redup itu hanya terdengar suara senggukan yang sesekali diselingi lengking istighfar dan ratapan yang seperti tak akan habis-habis. Musik instrumen bergaung mengiris-iris hati yang menangis.

Kemudian lampu dinyalakan. Coffee break.

Kau berjalan ke luar. Mendapati ruang makan yang terang. Rasanya baru terbangun dari mimpi sedih di penampungan korban bencana alam. Kau pergi ke toilet. Memencet-mencet hidung. Di cermin petak yang lebar kau lihat mukamu begitu kuyu.

Kau belum sedikit pun menangis.

??????? ***

Kau melolong dan nyaris melemparkan sosok mungil itu. Seorang perawat mengamankannya. Kau pukul dada kekasihmu yang telah menjadi suamimu dan ayah anakmu. Kau merasa sangat benci dan ingin mati.

Puting susumu pun seperti tak sudi dihisap mulutnya. Setiap mulut itu menyedot, tak setetes pun air susu yang keluar. Suamimu berulang kali memintamu untuk mencoba iklas. Memintamu memberi kasih sayang.

?Jangan paksa aku menyusuinya, atau kucekik dia sampai mati!? Kau selalu berteriak sambil terisak. Laki-laki itu akan menggendong si bayi menjauh dan memasukkan kompeng ke dalam mulutnya.

Beberapa kali suamimu memohon sehingga hatimu sedikit melunak dan tanganmu membawa tubuh yang berasal dari tubuhmu itu ke atas perut. Menaikkan bajumu dan menyembulkan sebelah payudaramu. Dengan riang mulut itu menghisap, tetapi tak ada sesuatu pun yang mengalir dari sana.

Kau ingin membunuhnya. Membunuh dirimu sendiri. Menangis. Ingin tak menangis. Berhenti menangis. Ingin bisa menangis. Kau merasa benci pada ayahmu yang menuduh terlalu jauh. Pada adikmu yang suka mencampuri urusan orang lain. Pada teman-temanmu yang gampang saja menyerahkan kehormatan sehingga kau terkena getahnya. Pada laki-laki itu yang telah mengawinimu melalui kecelakaan yang tak kau harapkan. Pada bayi itu...

Kepalanya besar seperti bola. Muka pucat ?kaku seperti boneka.

?Butuh tisu?? Seorang perempuan yang kaukenali sebagai salah seorang peserta pelatihan menyodorkan sehelai tisu padamu. ?Susah sekali untuk tak menangis, ya?? ucapnya dengan suara tercekat.

Cepat-cepat kau ambil tisu itu dan mengusapkannya ke bawah kelopak matamu sebelum perempuan itu berkomentar karena kau tak menangis. ?Terima kasih. Andai air mata dapat menebus segala dosa-dosa...?

?Ya, andai momen seperti ini tak hanya dalam acara begini saja. Aku sering mencoba melakukan kontemplasi sendiri, tetapi tak sedasyat ini. Hanya dalam acara begini aku bisa lepas, introspeksi diri secara total.?

?Apakah kau dapat mengakui kesalahanmu??

Perempuan itu mengangguk, menekurkan kepalanya di atas westafel. Memeras ingus di hidungnya. ?Kau percaya efek domino?? Perempuan itu mengalirkan air hangat dari kran. ?Suatu hari aku tak mengindahkan larangan ibuku. Meski hujan lebat, aku pergi juga ke rumah temanku. Kami berencana akan pergi berkemah ke Danau Di Atas. Teman-teman sudah menunggu. Mereka sempat ragu melihat cuaca yang kurang bersahabat. Mereka memutuskan, kalau aku tak datang berarti rencana batal. Ternyata aku datang dan kami berangkat dengan sedikit cemas yang kami tutupi dengan gelak canda. Di Lubuk Selasih, mobil tergelincir. Dua temanku meninggal. Dua teman yang lain sampai hari ini masih menyesali keberangkatan itu dan merasa diteror. Mereka yakin bahwa arwah Eva dan Lusi tidak senang karena kami tak ikut mati seperti janji persahabatan. Rike tahun lalu kecelakaan setelah melihat ada seseorang mirip Eva melintas di tengah jalan. Nina batal jadi pramugari, dan aku...?

Kau menatap cermin, menemukan seorang gadis sembilan belas tahun yang terluka dengan air mata berlinang putus asa.

?Andai aku tak jadi datang, tentu Cleogirls sudah mengeluarkan album sekarang.? Perempuan itu melanjutkan acara menangisnya sementara kau masuk ke sebuah bilik dan memuntahkan isi perut ke dalam kloset.

?Menangislah! Menangislah! Menangislah!? Kau terduduk merasakan pandangan matamu menghitam. ?Bajingan!? Oh, kesedihan, bunuhlah aku sekalian!

?Bila kau memang tak menginginkannya, seharusnya kau biarkan aku merawatnya!? Laki-laki itu menggendong si Boneka Berkepala Besar. ?Jangankan air susu, air mata pun kau tak punya untuk penderitaannya!? Laki-laki itu melangkahi pintu pagi dengan bayi mengerikan itu di gendongan.

Kau menatap kosong. Pergilah! Pergilah dari hidupku, pergilah dari kematianku. Puluhan menit kau terdiam di kursi makan menatap pintu yang masih menganga. Teringat malam ketika tangan ayahmu mendarat di mukamu. Teringat percintaan di pondok tempat wisata. Teringat pernikahan di rumah asing. Teringat bangsal bidan yang mempertemukanmu dengan bayi sialan itu. Mimpi-mimpimu telah hancur;? Kuliah di perguruan tinggi, menjadi pegawai negri sambil berbisnis makanan siap saji, menaikhajikan ayah dan ibumu, memiliki sebuah keluarga kecil dengan rumah mungil penuh bunga-bunga tapak dara...

Dia telah pergi dan tak pernah kembali.

Satu jam berikutnya kau menangis, sampai siang, sampai sore, sampai malam.

Lalu berjanji tak akan pernah menangis lagi. Di tempat kerja kau menjadi pegawai kesayangan bosmu. Tapi hidup sendiri, tanpa cinta dan air mata sangat menyakitkan. Kau butuh menangis meski mati-matian memungkirinya.

??????? ***

Tubuhmu terguncang-guncang. Lampu utama telah dipadamkan.

?Aku tak bisa menangis!? rintihmu.

?Kau menangis, Rani. Air matamu banyak. Matamu bengkak karena tak berhenti menangis sejak tadi.?

?Aku belum sedikit pun menangis. Sumpah!?

?Kau tak perlu malu mengakuinya.?

?Tak ada air mata di mukaku. Percayalah, aku selalu memperhatikannya di cermin kamar mandi. Mataku kering. Aku tak menangis sedikit pun. Aku tak menangis.? Kau mengucapkan itu dengan tangan menegang.

Tangan Nora mengelus bahumu. ?Lepaskan saja, Rani. Kita ke sini memang untuk menangis, bukan?? Tangannya beralih mengusap matamu dengan ujung selendangnya. Tisu yang tadi diberikan panitia sudah lecek.

Kembali, di ruangan yang redup itu hanya terdengar suara senggukan yang sesekali diselingi lengking istighfar dan ratapan yang seperti tak akan habis-habis. Musik instrumen bergaung mengiris-iris hati yang menangis.

Tanganmu yang kaku mencengkram punggung pasanganmu. ?Aku meninggalkan orang tuaku, kawin lari dengan pacar yang menghamiliku, dan menutupkan bantal ke wajah bayiku yang cacat sehingga dia mati.? Kau berkata terbata-bata.

Kemudian lampu menyala.***

Ilalangsenja | Padang,? 2006-2007