Ibu di Dalam Gambar

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Batam Pos 22/07/2007



Chik1 pernah membisikkan ke daun telingaku untuk senantiasa mendoakan ibu serenta berbahagia di alam baka. Maka kulakukan itu di antar hujung sembahyang. Dari zuhur sampai subuh dengan sungguh-sungguh.

Sempat kubisikkan di kuping Tengku Nasir selaku imam sembahyang di meunasah untuk turut berdoa. Kutangkap angguk baur senyum pelan yang kuyakin simbol mengabulkan pinta.
Tapi, aku rindu dengan ibu. Bagaimana ini?

Rindu yang mencenungkan aku di muka jendela dengan air mata berai bersama kain baju. Chik membujuk, namun alai-belai sama sekali tak mempan. Aku idam macam si Gam yang bisa menyeruk di ketiak ibunya bila kedinginan.

Sungguh membahagiakan.
Sampai suatu hari, Chik yang menilik tangis belum surut, pulang dengan satu plastik buku gambar, beserta satu kotak klir2 dan beberapa pensil.

“Gambar ibumu, bila kamu rindu. Gambar itu akan membuat rindumu reda,”
Chik berkata seperti itu. Aku menggelepar kepala.
“Chik Bohong! Aku tidak percaya kata Chik.”
Aku berteriak ketika itu. Makin melinang-linang dalam wajah tirusku.
“Chik tidak pernah bohong, kan?”

Aku tahu Chik belum berbohong sekalipun. Chik orang paling jujur yang pernah kutemui. Kuterima surung tangan Chik meski masih dengan buncah bingung.

Lantas aku larung dengan buku gambar, pensil dan klir. Satu buku gambar ku orat-oret sekenanya. Kubayangkan gambar ibu. Namun dua tahun tak berjumpa, membuat otakku buyar akan rupa itu.
Hidung ibu malah tidak mancung seperti ingatanku. Aku tidak menggambar bibir sebab lupa sama sekali bagaimana bentuk bibir ibu. Bagian telinga juga kutanggalkan begitu saja.

Rentang menit, aku kembali dihadapan Chik yang larung dalam serot rokok daun. Sesekali terbatuk yang membuat dada Chik berayun-ayun kuat.

“Aku tidak bisa menggambar!”
Entah mengapa, kurasa suaraku begitu ketus. Barangkali rindu itu telah menukar aku menjadi bocah yang ketus. Chik beringsut dari kursi rotan. Aku mengekor di belakang. Kami menjangkah di mana aku menggambar tadi.

“Ini saja kamu tidak bisa nyak3, hehe…” Sambil mula orat-oret di buku gambarku, Chik terkekeh-kekeh.
Tidak lama, di buku gambarku sudah cagun gambar ibu. Seketika seratus persen memoriku pulang. Gambar Chik persis sekali dengan aslinya. Chik berseringai puas. Ku ambil alih buku gambar.
Kugambar kepala. Chik berkata bagus dan bagus. Kuselip dengan ringis pelan.
“Lon4 rindu bu… Lon rindu bu…”

Setiap garit yang kutarik, kudengar kalimat itu menggema-gema di jauh hati.
Hitungan menit, satu gambar ibu selesai. Bersideku kuperhatikan lama gambar itu sambil memiringkan wajah. Aku tidak puas dengan alis ibu.
Kuhapus. Street! Kutarik garis lain dengan hati-hati. Jauh lebih bagus sekarang. Chik tersenyum puas. Aku? Rinduku malah memuyuh.

“Aku masih rindu dengan ibu Chik,”
“Gambar-gambar banyak sampai rindumu hilang nyak,”
Benarkah itu? Tapi sama sekali tidak ada protes. Kujamah halaman lain. Kugambar ibu lagi. Chik berlalu dengan satu batuk berat.

Hari itu, aku menghabiskan dua buku gambar.
Di selip jam pelajaran sekolah, aku terus menggambar ibu. Aku paling senang bila jam pelajaran menggambar tiba, artinya, aku tidak usah curi-curi pandang dari Ibu Nurul. Aku bisa gambar berani.
Ketika kusodorkan hasil gambar ibu kepada Ibu Nurul, aku diponten sembilan. Aku mesem-mesem.

Ketika mengaji pun, kumasukkan satu buku gambar dalam kantung celana. Aku akan menggambar dalam sela mengaji. Ketika Tengku Suman lalai menyimak hafalan teman-teman.
Aku juga sudah genap yakin, kalau Chik tidak berbohong dalam perkataan tempo hari. Setiap tarikan untuk menggambar ibu, aku merasa rinduku diredam-redam.

Selanjutnya, Chik makin banyak membeli buku gambar. Soal reta, aku memang tidak pernah kurang dengan Chik. Sawah Chik banyak dikelola orang. Dan Chik setiap panen akan mendapat bagian hasil saja.
“Chik, boleh aku menempel gambar-gambar ibu ini?”

Tanyaku ketika buku gambarku sudah habis lebih dari sepuluh untuk menggambar ibu saja. Aku tidak menggambar lain selain ibu. Kalau aku kebelet dengan gambar Batman seperti yang kutatap di tipi keude Bang Lah setiap sore selasa, aku akan menggambar di buku gambar khusus.
“Dimana?”

Gancang bola mataku bergerak ke dinding-dinding kamar kami.
“Di dinding kamar kita,”

Chik menganguk kepala. Kubalas dengan senyum. Hari itu aku dibantu dengan Chik sibuk menempel gambar-gambar ibu hingga dinding- dinding tak mampu mencangkum semua.
“Bagaimana kalau kita tempel di dinding luar juga?” Padahal aku sudah retas asa sebab banyak gambarku tak muat tempel di dinding kamar.
Ajakan itu yang kunanti.

Chik naik ke atas kursi agar sampai menempel di dinding tinggi. Sedangkan aku memegang badan kursi supaya tidak eleng. Jadilah hari itu, dinding-dinding kami sesak dengan gambar-gambar ibu.
Di hari berikut-berikut, aku masih menggambar ibu. Chik tak pernah keberatan dengan rengekan tiap pagi untuk tak lupa membeli buku gambar acap ke peukan5. Aku ingat, semenjak menggambar ibu, tak pernah lagi aku menangis.

Hingga di suatu malam, aku lelap sekali padahal, ketika kurasakan sebuah tangan dingin menggoyang-goyang sekujur tubuhku. Aku tak berhasrat sama sekali membuka mata. Pikirku juga Chik yang membangunkan untuk sembahyang subuh.

Tapi goyang-goyang itu terlalu menggangu tidur. Remang-remang kutilik apa Chik yang sedang menggoyang-goyang itu, tapi Chik, malah tergoleh jauh dari badan tidurku.
Jadi siapa yang menggoyang-goyang tadi?

Lekas mata kupaksa celangak. Jantungku berdengap-dengap lantang. Seorang perempuan meletakkan telunjuk di depan bibir untuk tanda agar aku tak bersuara.
Ibu? Betulkan ibu?

Perempuan itu ibu. Kusimak baik-baik perempuan di hadapan mata. Lalu bertukar dengan hasil gambar bertempel di dinding kamar. Persis sama rupa.
“Ini ibu, nyak,” desis ibu pelan dengan menggaet tanganku. Tak tersadari aku sudah dibawa terbang oleh ibu.

“Ibu sudah punya sayap sekarang?” belum hilang rasa percayaku tentang muncul ibu, ditambah dengan ibu bersayap. Setahuku, manusia tidak bersayap. Apakah ibuku sudah jelma dengan malaikat?
“Tuhan kasih ibu sayap sekarang,” ucap ibu dengan ketinggian terbang melaju tinggi. Aku memegang erat-erat di bahu ibu agar tak terjengkang ke bawah.

“Ibu bawa nyak ke bintang, mau?”
Tidak usah banyak kali diajak, idam lama aku untuk mendangkap bintang. Aku melupa sekilas dengan sayap punya ibu.

“Ibu, nanti aku ambil bintang satu, boleh?”
“Tidak boleh sayang, bintang itu tempatnya di langit,”
Dijawab itu, aku memilih diam.

“Ibu…Ibu…Ibu kan sudah meninggal. Kok bisa hidup lagi?” itu harusnya pertanyaan awal yang kuajukan.
“Ibu rindu dengan kamu, nyak,” nada ibu sayu. “Kamu rindu dengan ibu juga, kan?”
Aku ingin menjawab ya. Iya ibuuu….Namun ada yang menggoyang-goyang tubuhku keras-keras. Kurasakan pegangan tangan di punggung ibu melemah. Aku terjengkang ke dasar bumi. Aku memanggil-manggil ibu tapi ibu sama sekali tidak sadar kalau aku terlempar dari punggunggnya.
“Nyak…Subuh…”

“Kamu bermimpi jumpa dengan ibu?”
Ah, ternyata mimpi. Chik di hadapanku membengkar senyum. Kurasakan rindu dengan ibu mendayu-dayu. Pasti akibat mimpi barusan. Aku harus menggambar ibu untuk meredam rindu. Sekarang juga!

Kamar hijau, 31 maret 2007
Banda Aceh, 17.49

1. kakek, panggilan kakek.
2. pensil pewarna
3. panggilan saying.
4. aku.
5. pasar.