Ayah Saya Suami Saya

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Alimuddin
Dimuat di Republika 06/05/2007



Saya melihat Mak mencampur tuba tikus dengan kopi Ayah. Saya bukan diam saja melihat laku ganjil itu. Saya tampar kopi yang bercampur tuba itu hingga pecahan gelas kaca terserpih ke lantai.

Mak menjambak rambut saya, hingga serasa rontok dari kulit kepala. Tiada siapa-siapa di rumah. Sentara Ayah baru pulang ketika dari meunasah sudah terdengar suara sayup anak-anak mengaji. Saya diseret. Pergelangan tangan saya memerah, sebab ditarik kuat-kuat. Saya meraung. Bukan sebab sakit, tapi takut Mak mencampurkan kembali tuba ke dalam kopi Ayah.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa ketika disekap di dalam gudang. Tubuh saya dililit dengan kain jemuran. Kedua tangan saya dipelintir ke belakang. Mulut saya disumpal kain. Pintu gudang digembok. Saya mendengar suara Ayah. Di meunasah suara anak-anak mengaji terdengar syahdu. Ayah menanyakan saya. Jawab Mak, saya sedang mengaji malam. Ayah menanyakan kopi.

Sungguh, saya tidak tahu kenapa Mak ingin membunuh Ayah. Setahu saya, mereka akur-akur saja. Bagaimana kopinya, Yah? Mak bertanya dengan nada tak biasa. Saya berteriak-teriak. Tapi cuma buang-buang tenaga. Mulut yang dibungkam, tidak bisa mengeluarkan suara. Maka, meleleh air mata saya sejadinya.

Ayah menjawab, rasa kopi nikmat. Beda dengan biasa. Suara Mak terkikik nyaris seperti kuntilanak yang acap saya tonton di televisi. Kemudian tak lagi terdengar suara Ayah. Esok paginya saya turut mengantar Ayah ke liang jahat. Mata saya bengkak. Mak mengancam akan membunuh saya jika membeberkan rahasia besar itu kepada siapa pun. Saya tidak punya opsi selain mengancing bibir rapat-rapat. Apalagi tiada yang menaruh curiga atas kematian ayah yang mendadak itu.

Seminggu baru saya ketahui apa alasan Mak menghabisi nyawa ayah dengan tuba tikus. Mak menggandeng seorang pria berbadan tegap dengan brewok lebat ke rumah. Lelaki itu memperkenalkan namanya, Indonesia. Ia menyorongkan tangan kekarnya ke arah saya. Ingin saya tampik sorongan itu. Namun, bulatan mata Mak membuat saya harus menerima salamnya.

Mak masuk ke kamar dengan tak lupa mengucap permisi kepada lelaki itu. Saya ingin masuk ke kamar, tapi ada tangan kekar yang menjamah lengan saya. Saya berontak. Tapi, lelaki itu malah mendekap saya. Saya mengancam akan berteriak. Baru saya bisa lepas dan lekas berlari ke kamar dan mengunci pintu. Selang tak lama, saya mendengar cekikikan-cekikikan dari kamar Mak.

Lalu betul saja, lelaki itu menjadi Ayah saya melalui kenduri kecil-kecilan. Setelah itu, lelaki itu sudah serumah dengan saya. Dan, setiap Mak tak di rumah, ia selalu berusaha mendekap saya. Untungnya, Mak jarang sekali tak di rumah. Bila pun pergi, jarang sekali lelaki itu tak diajak serta. Namun, satu senja, kegadisan saya nyaris terenggut oleh lelaki itu. Mak sedang keluar rumah. Sedangkan lelaki itu beralasan sakit perut untuk tak turut serta. Untungnya Mak pulang cepat dari yang seharusnya.

Tentu saja saya tak berani bercerita pada Mak atas ulah kurang ajar lelaki itu. Selain takut ancaman lelaki itu yang akan menebas leher saya dengan belati, saya juga yakin manalah Mak percaya pada tutur kata saya. Bisa saja, malah Mak menuding saya sebagai penggoda. Maka saya memilih bersikap ekstra hati-hati. Setiap Mak keluar rumah tanpa lelaki itu, saya memilih untuk ke luar rumah saja. Namun, ada saja alasan yang dibuat ayah tiri saya itu untuk mencegah kepergian saya.

Saya pun tak bisa menolak. Mak memelototi saya. Dan, biarpun saya sudah menggembok pintu kamar dari dalam, lelaki itu tak kehabisan akal. Ia mencongkel pintu kamar saya, lalu berdiri mematung di ambang pintu sambil terkekeh. Perlawanan saya tidak berguna. Setelah Mak pulang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lelaki itu mengurung diri di kamar. Mak pun tidak bertanya, mengapa mata saya bengkak.

Belakangan semakin sering lelaki itu menjamah tubuh saya. Bahkan lelaki itu akan menjambak rambut saya bila saya melakukan perlawanan terhadap hasratnya. Saya terkulai tak daya. Hanya menangis yang bisa saya lakukan. Suatu hari Mak menangkap ayah tiri saya yang sedang menjamah tubuh saya. Tapi, lelaki itu lihai lidah. Ia mengatakan, sayalah yang memancing persetubuhan itu. Walhasil, Mak menyepak-nyepak tubuh saya hingga remuk tulang-tulangnya. Lalu saya dipukul dengan pelepah rumbia. Saya lantas dikurung lagi di gudang dua hari tanpa makan-minum.

Sudah empat belas hari saya merasakan ada janin yang hidup di rahim saya, janin dari lelaki bernama Indonesia, ayah tiri saya. Begitu tahu, Mak bertubi-tubi melayangkan tinjunya ke perut saya. Kemudian terdengar piring-piring pecah. Suara Mak meledak-ledak. Sedangkan ayah tiri saya menuding bahwa sayalah penyebab semua itu. Maka, sayapun mendapat hadiah tempelengan berkali-kali dari telapak tangan Mak.

Mak lalu mendorong tubuh saya hingga terjerambab ke tanah liat halaman rumah. Air mata saya sama sekali tidak berguna. Mak juga mendorong badan suaminya, ayah tiri saya, hingga terjerambab di samping saya. Marah telah membuat Mak memiliki kekuatan besar sehingga kuasa mengusir ayah tiri saya tanpa perlawanan. Mak membanting pintu keras-keras. Saya menatap mata ayah tiri saya. Ia menarik saya. Ia mengajak saya turut dengannya. Saya tak punya lain pilihan selain ikut saja.

Bulan-bulan kemudian, saya tinggal segubuk dengan ayah tiri saya itu. Lelaki itu bekerja serampangan sehingga kami hanya bisa tinggal dalam gubuk rumbia. Ia telah menjadi suami saya. Maka, saya kini memanggilnya Abang Indonesia. Perut saya makin besar, namun suami saya itu tidak memperlakukan saya dengan semestinya. Perut saya menjadi sasaran tinju bila ia naik pitam. Uang dalam pundi-pundi yang saya kumpulkan dengan menjadi tukang cuci dari rumah ke rumah dirampasnya. Padahal itu saya kumpulkan untuk biaya bersalin kelak.

Belakangan ia membawa banyak teman pria ke gubuk kami. Saya menjerit ketika salah satu pria ingin menjamah tubuh saya. Tapi, anehnya, suami saya malah terbahak. Ketika pria itu puas, saya melihat suami saya diberinya segepok uang. Berulang kali itu terjadi, dan saya tidak berdaya untuk melawannya.

Lama-lama saya melihat, Abang Indonesia makin banyak uang. Dan saya, istri yang diobjekkannya, sama sekali tidak mendapat bagian. Suatu hari saya minggat dengan membawa sebungkus pakaian. Beruntung, seorang nenek menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya setelah saya berjalan jauh. Akhirnya saya bisa menghirup udara lega.

Tiga hari setelah itu, kelegaan saya bertukar dengan ketakutan. Orang sekampung mengepung rumah baru saya. Mereka berteriak-teriak bahwa saya adalah perempuan lacur. Dan, saya tercengang begitu menemukan sosok Abang Indonesia berada di antara orang-orang kampung itu.

Saya diarak keliling kampung, diiringi cacian-cacian pedas. Dan, tiba-tiba, Abang Indonesia, bertindak sebagai pahlawan bagi saya. Ia membebaskan saya dari arak-arak itu. Ia membawa saya pulang. Tapi, sesampai di rumah, sekujur tubuh saya malah remuk-redam dihantami tangan kekarnya. Lalu, sosok-sosok laki-laki asing satu demi satu kembali datang menjamah tubuh saya, dan lagi-lagi suami saya mendapatkan bergepok-gepok uang dari mereka.

Saya tertekan dan terus mencari celah untuk kabur lagi, ke mana saja. Tapi, Abang Indonesia terus menjaga saya dengan ketatnya. Tampaknya ia tidak ingin kehilangan saya lagi, istrinya, sekaligus mesin uangnya. Saya hanya bisa berharap, kelak ia benar-benar akan mencintai saya sebagai istrinya, bukan sekadar sebagai mesin uangnya.***