Cerai

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Suara Pembaruan 20/07/2008



Malam ini seperti di neraka. Meskipun aku belum tahu bagaimana neraka itu, katanya, neraka itu sangat panas apinya. Sangat berat siksaannya. Orang yang masuk ke dalam neraka, katanya, tubuhnya disetrika. Lalu tubuh itu kembali seperti semula, lalu disetrika lagi, lalu dibuat seperti semula lagi, disetrika lagi, dan seterusnya begitu.

Kenapa kubilang malam ini seperti di neraka. Sebab sore tadi istriku kembali marah-marah. Dia bilang, dia tidak kuat hidup denganku. Dia katakan, dia menyesal menikah denganku. Dia ingin seperti istri-istri tetangga, yang hidupnya tidak kembang kempis seperti yang kami rasakan saat ini. Oleh karena itulah, istriku minta cerai!

"Mumpung belum dikaruniai anak, kita cerai saja!"

"Mamah! Mamah kok, ngomong begitu? Jangan sembarangan ngomong minta cerai, mah!"

"Sebodo! Pokoknya, Mamah minta cerai!" Begitulah istriku. Hal itulah yang membuat malam ini bagai di neraka. Panas. Membara. Seperti ada setrika yang menjilati sekujur tubuhku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab aku tak mungkin mengabulkan permintaan istriku. Karena aku masih mencintainya.

"Dengar ya, mah..."

"Jangan panggil aku mamah lagi!"

"Lalu?"

"Panggil yang lain saja asal bukan mamah. Aku juga nggak mau panggil kamu papah lagi!"

"Kan kita udah sepakat. Kalau kita akan panggil papah-mamah. Jangan begitu, dong?"

"Beli mobil dulu, baru panggil aku mamah. Beli rumah di Kompleks Kelapa Gading dulu, baru aku akan panggil kamu papah!"

"Memangnya ngontrak kayak kita nggak boleh panggil papah-mamah? Papah-mamah kan milik semua orang, tanpa harus membedakan status? Temenku yang tukang becak juga di rumahnya panggil papah-mamah. Meskipun panggil papah-mamah, mereka sampai sekarang tidak diperiksa KPK? Hehehe..."

"Paah!! Eh...?!"

Ternyata dia memanggil aku papah lagi?

"Eh, bang!" istriku me- ralat, "Itulah salah satu yang kubenci dari kamu! Kamu selalu bicara semaunya!"

"Hidup jangan terlalu serius, mpok! Nanti cepet tua, stress!"

"Beginilah kalau hidup nggak serius! Hidup kita jadi kembang kempis! Coba dulu aku nggak kawin sama penulis karbitan macam kamu! Mungkin aku sudah tinggal di perumahan Pondok Indah! Atau seenggak-enggaknya di Serpong Damai!"

"Sabar, mpok, sabar..."

"Itu lagi, itu lagi! Sabar! Setiap kali aku minta apa- apa, selalu kamu bilang sabar. Setiap kali aku ingin itu, kamu jawab dengan sabar! Memangnya ada apa, yang bisa dibeli dengan sabar? Buang air kecil di terminal bus aja bayarnya seribu perak. Coba sekali-sekali bilang sabar ke penunggunya... Bisa digampar!"

"Astaghfirullah... nyebut, mpok... nyebut..."

Istriku waktu itu diam. Tapi napasnya masih terdengar cepat. Sepertinya ia masih ingin menumpahkan uneg-unegnya.

"Sekarang begini saja," ia melanjutkan, "Malam ini aku mau pulang ke rumah orangtuaku. Untuk sementara kita rahasiakan dulu rencana perceraian kita. Abang baru boleh jemput aku, kalau abang udah punya uang!"

"Tapi mah..."

"Sudah kubilang, jangan panggil mamah lagi!"

"Iya deh..."

Setelah berkata begitu, istriku bergegas ke rumah orangtuanya. Kini tinggal aku sendiri di rumah. Aku bingung harus berbuat apa. Menulis tentu aku tak bisa. Aku tak mampu mengarang bila pikiranku tersiksa begini. Meskipun mengarang adalah pekerjaanku, aku heran mengapa tak bisa mengarang bila jiwaku sedang tak tenang.

Sebenarnya, aku benci sekali hidup seperti sekarang ini. Kalau punya keahlian lain, aku lebih baik tidak mengarang. Menjadi pengarang sepertiku ini sangat tidak dihargai. Aku sudah menulis di semua media, sudah mengarang empat buah buku cerita, dan dijuluki teman- temanku sebagai salah satu sastrawan besar negeri ini. Tapi yang kudapatkan apa? Kepuasan memang ada. Tapi materi yang kudapatkan nol besar.

Barangkali karena pengeluaran keluargaku, terutama istriku, yang tidak seimbang? Atau mungkin aku harus berhenti mengarang? Sebab mengarang buku sastra sepertiku itu, menurut penerbitnya, penjualannya sangat seret sekali di pasaran. Mereka bilang, meskipun negeri ini berpenduduk sangat besar, masih belum suka pergi ke toko buku. Apalagi membaca buku sastra?

Karena mumet di rumah, akhirnya aku keluar. Aku pergi ke Taman Ismail Marzuki (TIM), siapa tahu bertemu kawan yang bisa diajak ngobrol. Kadang-kadang, mengobrol bisa melupakan kesemrawutan di rumah, dan bisa memberi semacam pencerahan batin. Meskipun ketika sampai di rumah lagi, bertemu dengan wajah asem istri lagi, semuanya kembali seperti semula.

Di TIM, aku bertemu dengan seorang kawan yang pernah belajar menulis padaku. Namanya Dodi. Kami bertemu di dekat warung tenda, dan Dodi menawarkan aku untuk makan. Aku senang sekali diajak makan, sebab hari ini istriku tidak masak. Dari siang hingga sore, aku hanya melahap kemarahannya.

Setelah makan, kami ngobrol di depan planetarium.

"Abang kayaknya suntuk banget?"

"Biasa Dod, namanya orang hidup, selalu saja ada masalah. Apalagi abang kan sudah beristri. Hidup sendiri saja terkadang kita harus menghadapi masalah. Apalagi hidup dengan dua orang, hidup bersama-sama, yang mulutnya dua, pikirannya dua, perasaannya dua. Jadi kalau timbul konflik, ya wajar-wajar saja."

"Masalahnya apa, bang?"

"Istriku minta cerai!"

Dodi melongo mendengar kata cerai.

"Kenapa? Kamu kok bengong begitu mendengar kata cerai? Jangan-jangan, setiap ada artis cerai kamu begitu?"

"Abang kan bukan artis?"

Aku geleng-geleng kepala.

"Jadi cuma artis yang boleh bercerai?"

"Sebenarnya artis itu mungkin satu persen saja dari sembilan puluh sembilan persen orang Indonesia yang cerai, bang. Cuma, kalau artis kan selalu diberitakan media, sedangkan orang kayak kita nggak. Bener, kan?"

"Iya, sih. Kasihan juga jadi artis. Untung abang bukan artis. Kalau artis, mungkin abang sudah habis-habisan dikejar-kejar kamera! Hahaha!"

Kami berdua tertawa.

"Kamu sekarang kerja di mana? Masih suka nulis? Kayaknya hidup kamu sejahtera. Pasti kamu sudah nggak mengarang lagi? Dan... kamu ngapain malam-malam begini ada di sini?"

"Kebetulan saya tadi habis dari Senen, terus mampir di sini. Biasa, bisnis kecil-kecilan. Dan sekarang ini, saya udah nggak coba-coba lagi mengarang. Mungkin saya nggak bakat. Saya nggak pernah bisa mengarang meski pernah belajar sama abang."

"Sekarang pekerjaan kamu apa?"

"Saya buka usaha, bang. Membuka toko garmen. Yah, mumpung dimodali orangtua."

"Hebat! Aku juga ingin cari usaha. Biar istriku nggak marah-marah terus."

"Lho, tulisan abang kan udah banyak! Buku-buku abang juga udah terbit kan?"

"Iya. Tapi berapa sih honor tulisan abang? Lagipula, royalti buku-buku abang seret sekali!"

"Mending abang bantu-bantu saya aja, jangan cuma mengandalkan dari menulis. Menulis kan bisa dikerjakan kapan saja. Setelah abang dapet duit, abang bisa menulis sepuas abang. Daripada menulis terus, tapi ekonomi keluarga tidak memuaskan?"

"Pikiran lu maju juga, Dod. Untung lu nggak bisa mengarang. Kalau bisa, elu bakalan kayak abang."

Keesokan harinya aku menemui Dodi di tokonya. Dodi menyambut kedatanganku dengan suka cita. Di tokonya, semua anak buahnya diperkenalkan padaku. Ia menyebut-nyebutku sebagai pengarang hebat.

"Nah, mulai besok, mungkin abang sudah bisa bekerja di sini. Menurut abang, apa yang bisa abang kerjakan di toko ini?"

Aku kebingungan. Apa yang bisa kukerjakan selain mengarang? Aku ini memang benar-benar laki-laki payah. Pantas kalau istriku minta cerai.

"Aku hanya bisa mengarang, selain itu tak ada."

"Wah, abang benar-benar seorang yang setia pada keahliannya. Selama ini abang hanya mengarang, sehingga tak ada keahlian lain yang bisa abang kerjakan. Baiklah kalau begitu. Abang bekerja di toko saya, dan pekerjaan abang mengarang."

"Apa bisa?!"

"Bisa. Sangat bisa. Yang saya butuhkan adalah, cerita tentang toko ini, tentang barang dagangannya, jenisnya, kualitasnya, dan sebagainya."

"Dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel?"

"Haha, abang becanda aja. Maksud saya, abang bisa kan, membuat brosur?"

"Brosur? Kalau cuma brosur, abang bisa. Abang kan pernah jadi wartawan. Ya sudah, akan abang kerjakan."

Keesokannya aku sudah mulai bekerja di toko Dodi. Sesuai pekerjaan yang diembankannya kepadaku, aku pun menunjukkan kebolehanku membuat tulisan. Hanya saja, kali ini tulisanku tidak asal karang. Tidak seperti membuat cerita yang keluar dari imajinasi. Aku mencatat bahan-bahannya dari kata- kata Dodi, tentang barang- barang yang ada di tokonya, sekalian kuramu dengan kata-kata indah yang bisa menarik orang untuk datang membeli. Dengan begitu, toko yang dikelola Dodi menjadi besar.

Dan terbukti, sejak itu toko Dodi diserbu langganan. Kami membuka cabang di mana-mana. Segala isi brosur tentang toko-tokonya diserahkan padaku. Bahkan pada akhirnya, aku dipercaya menggantikan tugas-tugasnya, karena Dodi sering bepergian keluar negeri untuk melebarkan sayap usahanya.

Istriku senang dan tidak lagi marah-marah. Apalagi minta cerai. Sepertinya ia sudah melupakan ucapan sakral itu. Kami hidup seperti tetangga-tetangga lainnya. Punya mobil, rumah yang bagus, hanya saja, aku menjadi karyawan seorang kawan lama dan tidak jadi seorang pengarang. "Kita sudah hidup seperti tetangga-tetangga kita, terus apalagi yang kau mau mpok?"

"Jangan panggil aku mpok lagi, ah!"

"Maunya apa?"

"Kita harus panggil papah-mamah lagi!" Aku menghela nafas panjang..

"Kenapa? Kamu keberatan, pah?" Aku menghela napas lagi.

"Kok dari tadi cuma menghela nafas ?"

"Aku nggak bisa hidup seperti ini terus, mm... mpok!"

"Sudah kubilang panggil aku mamaaah! Papah ini gimana, sih?"

"Ya, mah. Aku nggak bisa hidup seperti ini terus."

"Maumu apa?"

"Aku ingin mengarang lagi."

"Kalau begitu, kamu berhenti kerja saja. Toh kita sudah cukup sejahtera."

"Bener, nih?"

"Ya."

Satu bulan kemudian aku berhenti bekerja. Meskipun Dodi memaksaku untuk terus bekerja, aku tidak peduli. Aku percaya, rezeki di tangan Tuhan. Seperti juga saat aku membantu mengembangkan tokonya, kalau bukan karena Tuhan, tidak akan begini jadinya. Dan kalau nantinya Tuhan menjadikan aku miskin lagi, aku menerimanya.

Setelah berhenti bekerja, hidupku kembali seperti dulu lagi. Aku akan tinggal di rumah, mengarang sepuasnya. Tapi kini dalam keadaan yang ber- beda. Aku tak lagi hidup dikejar-kejar pemilik kontrakkan, dan tak lagi diceramahi istriku.

0Namun, ternyata aku tak bisa lagi mengarang. Aku merasa kesulitan merangkai kata. Pada kenyataannya aku hanya bisa membuat brosur. Ya Tuhan, kenapa aku sulit sekali membuat karangan? Setiap kali menulis, selalu macet di tengah jalan! ***

Pamulang, 2008