BLT

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Seputar Indonesia 09/11/2008



KALAU ada orang yang bangga menjadi miskin, mungkin sayalah orangnya. Bagaimana tidak, sejak pemerintah menjanjikan akan memberikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT),saya mengikutsertakan keluarga saya sebagai keluarga yang patut disumbang.

Dan kiranya saya memang patut diperhatikan pemerintah.Tidak punya pekerjaan tetap, punya istri dua,anak lima,yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Saya sudah berusaha banting tulang sekuat tenaga. Terkadang menjadi sopir tembak. Serabutan di bengkel mobil. Atau menjadi kuli angkut di pasar.Tetapi, penghasilan yang saya dapat begitu-begitu saja.

Hanya bisa untuk makan dan membayar utang. Makanya saya bersyukur mendengar kabar pemerintah akan memberikan sumbangan langsung tunai pada rakyat miskin.Dan saya menyatakan bahwa keluarga saya miskin. Saya membutuhkan kartu kemiskinan itu. Ketika orang-orang dari kelurahan berencana datang untuk memeriksa keadaan rumah saya dari istri pertama, terpaksa saya menyuruh istri menyembunyikan pesawat televisi 14 inci miliknya di kolong tempat tidur.

Tak lupa pula melarang salah satu anak saya yang biasa bermain sepeda. Semua baju yang bagus-bagus tak boleh ada di dalam lemari. Dispenser, rice cooker, kulkas, harus dienyahkan untuk sementara. Pokoknya, di mata aparatur pemerintah kami harus terlihat miskin.

Begitu pula di rumah istri kedua saya.Saat pemeriksaan,istri saya yang masih bekerja di sebuah pasar swalayan saya larang bekerja. Saya meminta istri saya izin dulu pada perusahaan, untuk sementara di rumah menunggui si kecil. Sepeda motor hasil kreditan kami titipkan di rumah seorang kerabat dekat.

Harapan saya, saat orang dari kelurahan memeriksa rumah kami, tak ada barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Sebelum pemeriksaan berlangsung, anak tertua saya, anak dari istri pertama,protes pada saya.“Pak,kalau cuma main playstation masak nggak boleh?” “Nggak boleh! Kamu sehari saja nggakmain PS bisa,kan?”

“Memangnya kenapa harus disembunyikan, sih, Pak?” dia malah balik bertanya. Karena dia memang belum tahu kalau orang yang datang memeriksa rumah kami adalah petugas dari kelurahan yang memastikan apakah kami benar-benar miskin atau tidak. “Nak, tolonglah bapak sehari ini saja.Kamu nggak main PS sehari saja nggak akan disebut pecundang.Besok dan lain waktu, kamu bisa main sepuasnya kok?” Anak saya tertua itu akhirnya mau mengerti.Tetapi malah ibunya yang tiba-tiba tidak terima.

“Kita nggak pantas mendapatkan sumbangan pemerintah,Pak.Kan kita masih mampu...” katanya, seraya menggendong Tika, anak kami yang paling kecil. “Bukan soal mampu atau tidak,Bu. Saya hanya ingin mendapatkan uang dari pemerintah. Daripada uang itu mereka makan sendiri, kan lebih baik kita juga ikut menikmati.”

“Maksud Bapak apa, toh? Bukankah masih banyak orang lain yang lebih membutuhkannya?” “Bu, dengar ya. Ibu tahu kan Pak Dirjo?” “Pak Dirjo yang mengaku adiknya Pak Lurah itu,kan?Yatahu,dong!” “Nah,Pak Dirjo saja dapat kok Bu. Kalau orang seperti Pak Dirjo saja dapat bantuan langsung tunai,kenapa kita tidak?”

“Pak Dirjo kan lain,Pak. Mungkin dia memang sedang butuh uang.Lagipula, berapa besar sih pemberian pemerintah itu. Nggak sebanding sama omongan orang-orang nanti, Pak. Kalau mereka tahu kita juga dapat...” “Apa pedulinya sama orang lain, Bu.Memangnya mereka peduli kalau kita miskin atau nggak? Lagipula, lumayan kalau cair,Bu.Dalam dua bulan ini, kita dapat enam ratus ribu.

Di zaman serba sulit seperti ini, orang macam kita mencari satu rupiah saja susah. Kalaupun uang itu tidak kita ambil,apa Ibu tahu uang itu dikemanakan?” “Yadisimpan pemerintah,Pak.” “Disimpan di mana? Apa Ibu tahu?” “Ibu ndak tahu! Itu kan urusan pemerintah!” “Ibu mau tahu uang rakyat itu ditaruh di mana?” “Apa Bapak tahu?” “Justru karena saya juga nggak tahu,makanya saya berusaha mendapatkan sumbangan itu!” Setelah itu istri saya diam.Pada akhirnya ia setuju saya berencana mengambil bantuan langsung tunai yang diberikan pemerintah. ***

Ternyata pemeriksaan seperti yang dibicarakan banyak orang tak pernah terjadi.Tak ada orang dari kelurahan atau instansi pemerintah manapun yang memeriksa kedua rumah saya. Yang saya temui justru Pak Jalil,orang dari kelurahan yang menangani proyek bantuan langsung tunai di kampung saya.Pak Jalil bilang,bahwa saya dijamin mendapatkan bantuan itu.

“Yang penting ada pelicinnya...”ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Saya tentu saja menyetujui usul Pak Jalil.Saya menuruti kemauannya, sebab yang lainnya juga katanya begitu.Setelah mendapat kartu untuk mengambil uang bantuan langsung tunai di kantor pos nanti,saya berjanji akan memberikan sepuluh persen pada Pak Jalil. Tetapi bukan sesuatu yang mudah mengambil uang bantuan pemerintah di kantor pos.

Saya dengar Pak Dirjo ditanyai ini itu oleh petugas.Rupanya ada saja petugas kantor pos yang bersikap sinis saat Pak Dirjo mengambil uangnya. “Masak orang seperti Bapak dapat juga?” tanya seorang petugas di kantor pos, saat Pak Dirjo mencairkan dana bantuan langsung tunai miliknya.

Pak Dirjo cuma senyum,karena ia tidak bisa mengelak. Mendengar cerita Pak Dirjo yang entah dari mana datangnya itu, saya pun mempersiapkan diri bagaimana agar petugas kantor pos tidak curiga pada saya nantinya.Saya harus mengubah penampilan agar saya terlihat benar-benar miskin. Sebab,menurut ketentuan resmi pemerintah, yang berhak mendapatkan dana bantuan langsung tunai adalah rakyat yang benar-benar miskin.

Warga yang memiliki televisi, tidak masuk ke dalam kategori rakyat miskin. Kalau ternyata saya tetap mendapatkan kartu untuk mengambil dana bantuan langsung tunai itu, bukan semata-mata karena saya miskin. Melainkan karena saya sudah berjanji pada Pak Jalil,oknum pemerintah kelas cere itu, akan memberikan bagian untuknya. ***

Pada hari pencairan dana di kantor pos, saya sudah siap pagi-pagi sekali. Tadinya, saya ingin pakai sepeda motor istri muda saya. Tetapi saya urungkan karena khawatir akan banyak cibiran dari orang-orang yang ikut mengambil dana itu,menganggap saya sebagai rakyat yang tidak berperikemanusiaan, karena ikut-ikutan mengambil bagian yang bukan haknya.

Untuk itulah saya cukup berjalan kaki,dilanjutkan naik angkutan kota, lalu berjalan sekitar seratus meter untuk memasuki pintu kantor pos. Saya berjalan dengan langkah gontai. Saya lupa bagaimana cara orang yang benar-benar miskin berjalan. Mungkin lebih gontai dari orang kaya.Atau lebih tidak bersemangat daripada orang putus asa. Dan yang terpenting adalah penampilan.

Sebelum berangkat, saya cari baju saya yang paling kumal,tidak menarik, kalau perlu yang ada tambalannya.Tapi, saya tidak punya. Maka saya robek satu kemeja yang sudah tua dan agak lusuh, lalu segera saya kenakan. Saya sengaja tidak mandi lebih dulu, agar terlihat benarbenar kumuh.

Alhasil, setelah tiba di kantor pos, semua dugaan saya meleset soal orang miskin! Ternyata tidak semua orang miskin kumal seperti saya. Karena saat saya tiba di halaman parkir kantor pos, halaman tersebut dipenuhi sepeda motor. Mereka adalah orangorang yang hendak mengambil dana bantuan langsung tunai seperti saya. Namun begitu, lebih banyak perempuan tua dan ibu-ibu serta lelaki paruh baya.

Saya tidak tahu apakah sepeda motor yang terparkir di halaman kantor pos ini milik mereka,atau mungkin cuma ojek. Saat memasuki pintu kantor pos, antrean sudah lumayan panjang. Oh, begitu melimpahkah orang miskin di kampung saya? Orang-orang saling berdesakan.Bahkan di antara mereka ada yang sempat ribut omongan. Saya berusaha mengalah.

Saya pikir, saya dan kedua istri serta anak-anak saya masih memiliki persediaan cukup uang untuk tiga hari ke depan.Jadi,tak perlu bernafsu mencairkan dana ini, apalagi sampai bertengkar dengan sesama pengantre. Saya menghindar ke salah satu sudut. Saya perhatikan orang-orang sesama pengantre. Seorang ibu mengeluarkan kaca rias dari dalam dompetnya, lalu memoles bibirnya dengan sebuah gincu murahan.

Ada seorang lelaki paruh baya, saya kira seumuran dengan saya, mengeluarkan telepon genggam dari kantung celana. Saya dekati lelaki itu, tapi tidak bermaksud memancing perhatiannya. Saya mendengar lelaki itu bicara. “Bu, antre banget nih! Dulu kenapa nggak pakai KTP Ibu saja. Di sini bau apek, lagi! Ya, sudah. Saya antre.Tapi, kayaknya lama. Kalau kamu mau ke mal,kamu berangkat saja sama anakanak duluan.Nanti saya menyusul!”

Lelaki setengah baya itu menutup telepon selulernya. Bicaranya memang sedikit keras. Mungkin ia sengaja bicara keras-keras agar orang di sekitarnya mengetahui bila ia bicara melalui ponsel. Berikutnya,ada satu dua pengantre lain yang juga mengeluarkan telepon seluler. Bahkan ada yang sempat mengabadikan orang-orang yang antre dengan ponsel kamera. Tiba-tiba saya merasa muak melihat tingkah mereka.Apalagi gelang emas salah seorang perempuan paruh baya yang berdiri di tengah-tengah antrean. Saya jadi ragu, apakah saya sedang berada di tengah-tengah antrean orang-orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan pemerintah?

Saya tidak percaya bila saya berada di sebuah kantor pos, tengah menunggu antrean pencairan dana kemiskinan. Saya merasa malu berada di antara mereka. Saya ingin menghujat mereka, seperti menghujat diri saya sendiri.Saya tak habis pikir, siapakah orang yang disebut miskin? Saya lihat di televisi, banyak sekali korban bencana alam yang membutuhkan dana kemanusiaan.

Sementara saya seperti merengek-rengek, mengantre sumbangan pemerintah. Untuk menghilangkan rasa malu, saya keluarkan surat pengambilan pencairan dana itu,lalu langsung saya robek-robek. Saya membuangnya ke tong sampah, di atas tumpukan tisu, kaleng bekas fresh drink,dan juga kulit jeruk mandarin. Semua itu sampah dari para pengantre. ***

Hari berikutnya, saat Pak Jalil menagih jatah, saya katakan padanya kalau saya tidak mengambil dana BLT. Namun, dia tidak percaya. Dia yakin kalau saya mengambil dana itu di kantor pos. Sehingga dia tetap minta bagian sepuluh persen. Saya kasihan padanya, maka saya berikan sepuluh persen dari jumlah uang yang seharusnya saya dapat kemarin. Saya menatap kepergian Pak Jalil, oknum pemerintah kelas cere itu,sampai ketika tubuhnya tertelan sebuah sedan mengkilat.

Saya tidak peduli orang pemerintahan macam Pak Jalil telah menggunakan kesempatan ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya serahkan saja pada Tuhan. Saya yakin kelak Tuhan akan menghukum orang-orang zalim sepertinya.Sebab saya percaya Tuhan Maha Adil.Namun saya khawatir, apakah orang seperti Pak Jalil mempercayai Tuhan?***