Tulang Belulang

Minggu, 27 November 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Mashdar Zainal
Dimuat di Surabaya Post, Ahad 20 November 2011

NAMAKU Mawarni. Aku dibunuh pada hari Senin tanggal 21 Desember tahun 1998, pukul enam petang, di sebuah rumah kecil di pinggiran perkebunan tebu milik ayahku. Ketika itu usiaku 18 tahun. Aku dibunuh setelah tubuhku ditelanjangi dan kegadisanku dilumat habis. Tubuhku dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam karung, lalu dikubur di dalam perkebunan itu. Malam itu juga. Sampai sekarang jasadku belum ditemukan. Bahkan orang tuaku masih belum percaya bahwa anaknya sudah tiada.

***

Pada minggu-minggu awal kematianku, rumahku tak henti-hentinya diselimuti kabut. Siang hari, ayah dan ibuku terus menyebarkan berita kehilangan ke desa-desa tetangga sampai ke ibu kota kecamatan. Malam harinya ibu menuntaskan tangis—sambil memandangi fotoku—di pangkuan ayah sampai tertidur. Ibu tak percaya bahwa anaknya sudah mati sebelum jasadnya jelas-jelas ditemukan. Sedangkan ayah—yang lebih dekat denganku, sudah mengikhlaskan semuanya. Beberapa kali aku menemui ayah lewat mimpi. Kutunjukan pada ayah, kelebat demi kelebat kejadian yang menimpaku. Kukabarkan pula padanya, bahwa mereka tak perlu lagi mencariku. Karena aku sudah pergi ke tempat yang sangat jauh. Tempat yang tak mungkin terjangkau oleh mereka.

Seringkali ayah menceritakan mimpi anehnya pada ibu, “Sudah tiga kali, Ma, aku memimpikan itu. Mimpi yang sama. Dia sudah pergi, Ma, dia sudah pergi. Kita harus mengikhlaskannya.” Hanya itu yang dikatakan ayah pada ibu. Ayah tak sampai mengatakan pada ibu, bahwa dalam mimpinya, seseorang dengan sosok ditelan remang telah memperkosaku dan mencincang-cincang tubuhku. Lalu menguburku bersama pekat malam.

“Itu kan cuma mimpi. Mimpi ya mimpi. Bunga tidur. Aku yakin dia masih hidup. Entah di mana.” Tukas ibu sambil setengah terisak. Dan ayah kembali terdiam.

***

Tak seorang pun akan menduga, bahwa pembunuhku adalah seorang pemuda yang sangat manis. Seorang kuli penjaga kebun yang dikenal warga sebagai pemuda yang santun dan pendiam. Yang kutahu, pemuda itu memang sangat ramah dan murah senyum. Ayah, mempekerjakan pemuda itu di kebunnya empat bulan sebelum ia membunuhku. Tak ada yang tahu dari mana pemuda itu berasal. Awalnya pemuda itu mendatangi Pak RT, ia mengaku sebagai seorang musafir yang kehabisan bekal. Kepada Pak RT ia memohon izin untuk tinggal beberapa hari di mushola desa. Ia juga berjanji akan merawat mushola dan mengumandangkan adzan bila waktu shalat tiba.
Beberapa hari tinggal di mushola, warga desa sudah langsung terpesona melihat perangai pemuda itu. Ia sangat rajin, suaranya ketika mengumandangkan adzan pun sangat merdu. Ia juga sangat santun pada warga dan anak-anak. Bahkan beberapa kali ia sempat mengajari anak-anak mengaji. Maka ketika pemuda itu hendak berpamitan pergi, warga desa berjibaku mencegahnya.
“Jangan pergi, Nak. Tetaplah tinggal di desa ini, kami butuh pemuda sepertimu.” Kata seorang warga desa.
“Iya. Sanak tetaplah tinggal di mushola dan mengajari anak-anak mengaji. Kalau tidak, kalau sanak mau, Sanak juga boleh tinggal di rumahku.” Kata yang lain.
“Iya. Terima kasih, terima kasih. Tapi saya harus pergi” balas pemuda itu.
“Tapi Sanak mau pergi ke mana?”
“Saya akan pergi ke kota. Saya butuh pekerjaan untuk menyambung hidup.”
“Oh, itu masalahnya. Tapi, pekerjaan kan bukan cuma ada di kota.”
“Apakah sanak mau bekerja di perkebunan suami saya.” Tawar ibuku ketika itu, “Kalau sanak mau, saya akan bilang ke suami saya.” Lanjutnya.
“Tapi saya tak punya banyak keahlian kecuali bekerja berat menjadi kuli.” Sanggah pemuda itu.
“Oh, kerjanya tidak berat, kok. Tidak butuh keahlian apa-apa. Cuma menjaga perkebunan. Di perkebunan kami ada rumah kecil yang sebenarnya tidak terlalu buruk untuk ditinggali. Kalau Sanak mau, Sanak bisa tinggal di sana. Pagi sampai siang Sanak bisa merawat perkebunan itu, mempesiang gulma dan mengatur irigasi. Malamnya Sanak bisa mengajari anak-anak mengaji di mushola.”
Setelah berpikir beberapa saat, pemuda itu mengiyakan. Mulailah ia tinggal di rumah kecil di pinggir perkebunan tebu milik ayah. Rumah itu di kelilingi tanaman melon dan cabai—milik ayah juga. Tepat lima belas meter di depan rumah kecil itu, terhampar perkebunan tebu seluas tiga hektar. Aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa riwayatku akan berakhir di perkebunan itu.

***
Sore itu, aku berangkat ke perkebunan tanpa sepengetahuan ayah. Aku hanya berpamitan mencari angin. Tanpa firasat apapun, sore itu aku mendekati rumah kecil itu, setelah memetik dua buah melon ranum, yang beberapa hari lagi hendak dipanen. Aku melihat pemuda itu mengawasiku dari balai-balai kecil di depan rumah itu. Dengan seulas senyum, pemuda itu menyapaku dan memintaku mampir.
“Singgahlah sebentar, aku punya sesuatu untukmu.”
“Iya, terima kasih. Lain kali saja. Hari sudah sore. Aku harus segera pulang.” Balasku.
“Benar kau takkan menyesal?” pemuda itu berusaha menarik perhatianku. Maka kuputuskan mendekatinya.
“Ada apa?”
“Masuklah, aku punya sesuatu. Kudengar kau suka mengoleksi perangko.”
Detik itu tak terpikirkan keanehan itu olehku, bagaimana mungkin ia bisa tahu aku seorang pengoleksi perangko. Rasanya tak mungkin ayah menceritakan hal sepele itu padanya.
“Lihatlah!” Ia menunjukan sebuah album berwarna unggu tua. Ia membolak-balik isi buku album itu. Puluhan perangko cantik dan unik terpajang di sana. Beberapa memang sama dengan koleksiku, tapi beberapa yang lain sangat unik, bahkan ada yang berbentuk bintang dan segi tiga.
“Wow, keren sekali.” Aku seperti tersihir. “Apa ini yang kau maksud dengan: ada sesuatu untukku.”
Ia mengangguk dan melemparkan senyum. Aku kembali membolak-balik buku album itu dengan girang. “Bagaimana aku berterima kasih.” Aku masih belum percaya, ia memberika album itu untukku.
Aku terus nyerocos, sementara ia bungkam tanpa suara. Beberapa saat kemudian, baru aku merasa ada yang aneh. Bagaimana mungkin ada orang yang mau menyerahkan barang koleksi yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun kepada orang yang belum lama ia kenal. Aku yakin butuh waktu yang sangat lama untuk mengumpulkan perangko-perangko itu. Aku mengalaminya sendiri.
Ketika aku masih asyik dengan buku album itu, ia melangkah dan mengunci pintu dari dalam. Detik itulah, perasaanku mulai tidak enak. Aku juga baru menyadari, bahwa tatapannya sangat aneh dan menjijikan.
“Oh, boleh aku pulang sekarang. Ayah akan marah padaku jika aku terlambat pulang.” Jelasku mulai gugup.
“Begitukah caramu berterima kasih?” kudengar nada sinis dan kejam dari suaranya.
“Aku sangat berterima kasih atas hadiah ini. Tapi, maaf. Aku harus segera pulang.”
“Siapa bilang kau bisa pulang semudah itu.” Pemuda itu mulai mendekatiku. Aku melangkah tergesa, mendekati pintu. Dan pemuda itu menahanku. Ia membungkam mulutuku dengan tangan berototnya sebelum aku sempat berteriak. Aku yakin, sesuatu yang buruk akan terjadi padaku. Aku meronta, tapi pemuda itu mencengkram tubuhku kuat-kuat. Saat itu, yang ada di kepalaku hanya rasa takut yang sangat. Tak ada yang lain.
Seperti sudah sangat terampil, pemuda itu menyumpal mulutku dengan sarung bantal dan mencengkram kedua tanganku. Aku menangis dan hanya menangis. Dengan suara tertahan aku berteriak. Jangan, kumohon jangan lakukan ini. Namun pemuda itu tak memedulikanku. Dengan beringas ia melucuti pakaianku satu persatu. Ia mulai berpeluh. Ia terengah-engah seperti kuda yang terus berlari dalam pacuan. Ia melenguh dan terus menari di atas tubuhku. Menindih tubuhku erat-erat dan menari lagi hingga akhirnya ia terkapar dengan peluh bercucuran di dahi dan leher.
Detik itu aku masih merasa sangat hidup. Namun tubuhku rasanya koyak-moyak tinggal sisa. Detik itu aku tak sempat berpikir apa yang akan terjadi padaku berikutnya. Aku hanya merasa, bahwa aku sudah sangat hancur. Pemuda itu melirikku dengan nafasnya yang masih tersengal. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari rebahnya dan mengambil sebuah parang yang tergeletak di bawah ranjang. Sampai di sini, aku sudah tahu apa yang terjadi padaku berikutnya. Parang itu berkilat, seperti tersenyum, senyum yang akhirnya menjadi seringai yang sangat menyeramkan.

***
Beberapa saat berikutnya aku sudah berdiri di sebuah ruang dengan lantai, dinding, dan atap yang semuanya berwarna putih. Sebuah ruang yang sangat lapang. Seperti terjadi dalam mimpi. Aku bisa melihat semuanya: bagaimana pemuda itu berjibaku dengan darah dan potongan-potongan tubuhku. Remang buta, pemuda itu membawa karung berlumuran darah dan sekop ke dalam perkebunan, jauh ke dalam sekali. Hampir tiga jam pemuda itu menggali. Galian seperti sumur kecil yang tidak terlalu dalam. Setelah menimbun karung menyedihkan itu, pemuda itu merapikan bekas galian dengan sangat sempurna.
Sementara di ruang yang lain, aku melihat ibu menagis tanpa suara. Sementara ayah dan beberapa orang keluar mencariku jauh selepas malam. Diantara orang-orang yang melakukan pencarian itu, kulihat sosok pemuda itu. Semua berkelebat di mataku: karung berdarah yang ditimbun di dalam perkebunan tebu, ibu yang terus menangis dan menyebut-nyebut namaku, ayah yang berjibaku dengan warga desa meneriakkan namaku di remang malam. Di sini baru kusadari sesuatu: aku tidak sedang bermimpi.
Aku terus memperhatikan semuanya. Teman-temanku yang sibuk membicarakan berita kehilanganku. Pemuda itu—yang tetap bersikap manis dan ramah pada siapapun. Ibu yang larut dalam kabut kesedihan. Juga ayah yang selalu berusaha tegar. Waktu terus merangkak. Hari dan bulan berlalu. Dan aku masih belum ditemukan. Seiring berjalannya waktu, semua mencair, kecuali kesedihan ibu, yang kian hari kian menggumpal.

***

Tahun demi tahun pun berlalu. Bisnis perkebunan ayah semakin maju. Ia membeli tanah beberapa hektar di pinggiran desa dan menanaminya dengan buah-buahan. Kulihat gumpal kesedihan di dada ibu sudah mulai menipis. Ia menyibukkan hari-harinya dengan usaha kue dan kripik yang dibuat dari buah-buahan yang ditanam di perkebunan ayah. Satu hal yang kusesali, pemuda itu kini jadi orang kepercayaan ayah. Rumah kecil tempatnya tinggal telah diperlebar dan dijadikan dua lantai. Pemuda itu itu kini telah menikah dan mempunyai satu anak. Semua ayah yang membiayai. Ayah sudah menganggap pemuda itu seperti anaknya sendiri.

***

Dua belas tahun setelah kematianku. Keadaan desa sudah berubah pesat. Sawah-sawah yang dulu menghijau kini mulai ditanami rumah-rumah. Perkebunan tebu yang telah bertahun-tahun ditanami tebu, oleh ayah takkan lagi ditanami tebu. Hasil dari perkebunan tebu sudah tidak seberapa, kata ayah. Di tempat itu ayah akan membangun ruko untuk disewakan. Ayah juga akan membangun sebuah market kecil untuk menampung usaha kue dan kripik buatan ibu yang sudah mulai punya nama.
Proyek ayah pun dimulai. Ayah menyewa tiga buldoser untuk meratakan tanah-tanah yang menggunduk bekas batang-batang tebu itu tengadah. Tanah mulai rata. Beberapa bagian ada yang sudah mulai digali untuk membuat pondasi. Para pekerja mulai menekuni tugasnya masing-masing.

Tiba-tiba seorang pekerja yang tengah sibuk merapikan galian berteriak, “Hei, di sini ada tulang belulang. Ada tengkorak kepala.”
Para pekerja menjadi riuh oleh temuan tulang belulang itu. Ayah yang mendengar kabar itu pun segera datang. Di antara kerumunan para pekerja, ayah memperhatikan tulang belulang itu, di mata ayah tengkorak kepala itu tampak cantik. Seperti wajah seseorang yang pernah ia kenal. Mimpi-mimpi yang mengusik tidurnya, dua belas tahun lalu, kembali berkelebat. Mata ayah mulai berkabut. ***

* Malang, Januari, 2011
* Cerpen ini terilhami dari novel karya Alice Sebold “The Lovely Bones”, yang pernah difilmkan dengan judul yang sama.