Di kampungku, Tana Toraja, aura kematian sering kali berembus seperti angin. Jika terlihat secarik kain putih melambai di halaman tongkonan, itu pertanda ada orang yang masih hidup meski sudah mati, ”to makula”. Di sini, kematian dirayakan dengan biaya yang tak sedikit.Inilah akibatnya.
Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah menanti upacara rambu solo yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak keluarga. Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau kami tengah mengupayakannya. Hingga hari ini.
Pagi tak lagi halimun. Kulihat Indo sedang sarapan dengan Ambe yang masih sakit, terbujur kaku di dalam peti mati itu. Nyawanya menjelma arwah, tapi tetap tinggal kendati tidak menyatu dengan jasad. Menderitakah ia menjadi bombo?
”Selamat pagi, Ambe. Aku mau berangkat.”
Cahaya matahari, yang bangkit menembus celah dinding di sumbung, menimpa tubuh Ambe yang susut dan pakaian kebesarannya tampak berdebu.
”Hati-hati, Anakku. Semoga dalle-mu hari ini berkah. Berkat dari langit.” Jawaban Indo seperti doa.
Sering kulihat rona wajahnya tak ada duka meski ia sudah lama berkabung. Mungkin karena itu hatinya tak lagi berkabut. Menjalani hari dengan bahagia walau keadaan seperti ini. Ia mengantar kepergianku sampai depan pintu. Aku tahu, ia selalu menaruh harap agar aku cepat dapat uang untuk upacara kematian Ambe. Letihkah Indo merawat Ambe?
Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan.
Aku pulang membawa hasil yang lebih dari biasanya walau aku tidak menjadi guide. Lumayan. Ukir-ukiran aku hampir habis dan beberapa lembar tenunan Indo laku. Dibeli oleh turis asing dan lokal yang lalu lalang. Sebenarnya masih siang meski sudah menjelang sore. Dan, aku mendapatkan kejutan kecil.
Margaretha Sua datang berkunjung. Dari Makale ke Rantepao menempuh jarak yang tak jauh. Ia perempuan mamasa dan sudah jadi pegawai. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Kami tidak sering bersama setelah ia pindah mengikuti orangtuanya. Kami duduk di kolong alang. Alih-alih melepas rindu, wajahnya malah mendung membawa kabar tak baik.
”Upta, dia ingin segera melamarku,” segan perempuan itu berucap. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat.
”Kau mau menerimanya?” Aku mengumpulkan perasaanku yang tadi berhamburan untuk mengatakan itu.
”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak.
”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya.
Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.”
Ia terlalu dirasuki cerita tantenya yang hidup selibat lantaran ditinggalkan kekasihnya yang tak mau menunggu. Upacara kematian bapaknya, kakek Margaretha Sua, tertunda lama. Kini perempuan di hadapanku takut berlomba dengan kematian neneknya.
”Maafkan aku.”
”Aku yang minta maaf.”
Margaretha Sua pergi, pelan-pelan mengabur dari penglihatanku ditelan tikungan jalan. Mungkin ia membawa luka atau lega? Ia seperti tidak setia.
Petang di ambang hari. Senja melumuri langit. Seketika bayangan gelap datang dari barat. Sementara aku tengah memandang di bukit utara itu yang dipenuhi tebing-tebing. Gunung-gunung batu yang di kakinya rimbun belukar rimba. Semak-semak raksasa yang tak habis untuk dikuak.
Mungkin Tuhan menjelma hutan hingga belantara itu dihuni arwah-arwah. Segala yang sudah mati hidup di sana seperti alam baka. Rindukah Ambe untuk ke sana sebagai tomembali puang? Bergabung dengan tau-tauyang asyik bertengger atau bernaung di pohon-pohon suaka ketika malam tiba bagai mengulang masa kanaknya. Seperti apakah kehidupan di puya?
Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk.
”Adalah larangan melakukan rambu tuka, apalagi rampanan kappa, apabila rambu solo belum diselenggarakan. Ambemu masih sakit. Rohnya masih terkatung-katung di alam sana.” Kata Indo seolah memegang kukuh wasiat Ambe. Tapi, aku menerka ini kemauannya.
”Kenapa? Apakah itu menyalahi aluk?” Aku tak tahu apa aku sedang menggugat adat yang aku yakini sendiri.
”Itu sama saja kau meminta hakmu tanpa menunaikan kewajibanmu sebagai anak.” Indo seolah berkata, tunjukkan baktimu.
”Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke puya, di kehidupan yang sesungguhnya,” jelasku punya maksud
”Iya, itu betul. Lantas?” kejar Indo mencium niatku.
”Kata Ambe carilah bekal, dalle buat mati. Biar kelak tidak menyusahkan keturunanmu. Seharusnya Ambe juga begitu.” Aku tertunduk sebab lancang, ada sesal yang hinggap. Aku tak berani melihat Indo yang mungkin tengah membelalakkan mata, tak menyangka.
”Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar cepat sampai.”
”Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.”
”Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.
”Aku lebih bangga kau merantau ke Papua. Di sana kau bisa dapat uang banyak ketimbang di sini. Atau kau mau mati di sana, terserah.” Indo bicara terus sebab aku seperti patung, kepala batu. Indo kenal sekali tabiatku, kalau ada mau diam tapi rusuh.
”Kau tidak bakal ada di dunia ini kalau tak ada Ambemu yang meminta kau dilahirkan.” Indo berkata tega. Napasnya panas. Kubayangkan, dulu mungkin ia hendak menggugurkan dan menguburkanku di pohon nangka, tapi dicegah oleh Ambe. Keberadaanku kau tampik, benarkah kabar itu?
”Matahari siang dan bulan malam tidak pernah bertemu. Kalau sampai itu terjadi, itu artinya kiamat! Kau boleh menikah, tapi bukan di tongkonan ini dan tanpa restu dariku,” cetusnya mengancam. Indo menarik kakinya pergi ke sumbung, kebiasaannya sesenggukan di sana. Meratapi Ambe dan nasib. Atau masa lalu yang berusaha ia tutup dan simpan.
Malam benar-benar rindang. Beberapa kerabat dan tetangga datang. Kami main kartu sampai suntuk. Aku menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Mereka membawa ballo. Sunyi dingin meruap.
”Upta Liman, itu bukan sepenuhnya bebanmu dan keputusan ada di tangan kakak-kakakmu yang telah abai di perantauan,” ujar Tato Randa bijak. Ia pamanku dari pihak Indo dan teman Ambe sebagai pemangku adat.
”Seperti bukan orang Toraja saja mereka itu. Mabuk di kampung orang sampai lupa kampung sendiri,” imbuh Urru, teman seprofesiku yang sudah oleng. Entah berapa gelas tuak ia tenggak.
”Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini,” lanjut Tato Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang kalian taruh?
”Kecuali kalau Indomu rela memutus hubungan dengan membayar nilai salah yang tak seberapa,” celetuk Tante Ully tak dinyana. Tanteku ini perempuan tua yang agak lain pikirannya. Ia melenggang setelah mendapat isyarat diam dari yang hadir selain aku, pergi menemani Indo di kamar. Matanya bicara padaku.
Kami kembali melanjutkan berembuk, tapi aku tidak berminat lagi. Mereka membujuk.
”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah.”
Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal. Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.
”Indomu sulit berdamai dengan masa lalunya. Dulu ia berbuat dosa dan mencari selamat. Orang-orang kampung tak jadi mengusirnya. Ketahuilah dari silsilah,” bisik Tante Ully sebelum pulang. Selain kakak-kakak tiriku, yang aku tahu Ambe pernah menikah dengan janda kaya punya satu anak yang tak pernah kulihat dan tidak kutahu keberadaannya.
Ambe dari manakah aku mulai merunut? Kini aku berbaring lelap di sebelahmu. Hendak menerima jawab.
”Kenapa Ambe menikahi Indo?” tanyaku seakan rohnya masih bersemayam dalam tubuh.
”Karena aku mencintai Indomu.”
Lama kutatap Ambe. Kuperhatikan saksama.
”Apakah Indo mencintai Ambe?”
Sebab ia terlalu lansia buat jadi Ambe.
”Tanyakan itu pada Indomu.”
Ia seolah tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Aku terjaga.
Pagiku dibuka dengan kedatangan tamu. Ribut, suara Indo ramai di halaman ketika aku menuruni tangga. Lelaki itu lagaknya seperti turis lokal dengan badan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut dan berantakan, menghalanginya masuk.
”Aku punya hak atas rumah tongkonan ini, aku ahli warisnya!” tuntutnya tanpa melepas kacamata riben di wajahnya.
”Kamu siapa?” aku maju di muka Indo.
”Aku anak dulu dari Indoku. Istri pertama Ambemu. Tongkonan ini akan kujual. Pembelinya sudah ada. Sertifikatnya masih atas namaku, belum ada balik nama.” Jelasnya beruntun.
”Rantedoping, ahli waris sudah berpindah tangan sejak kau pergi dan tak ada kabar. Biar nanti adat yang menentukan.” Indo bersikeras.
”Siapa ahli warisnya, kau?”
”Bukan. Upta Liman, anakmu.”
Baru kulihat airmata Indo menetes. Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo saat Indo hampir rebah pingsan. Kupeluk Indo yang begitu ringkih.
Toddopuli 2 STP 8
Catatan:
Ambe: ayah
Indo: ibu
Tongkonan: rumah adat orang Toraja
To makula: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit
Erong: peti mati
Rambu solo: upacara kematian khas Toraja
Bombo: roh yang menunggu upacara
Sumbung: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat
Dalle: rezeki
Alang: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan
Rambu tuka: upacara kegembiraan
Rampanan kappa: pesta pernikahan
Aluk: adat
Tomembali puang: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa
Tau-tau: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan
Puya: surga
Ballo: tuak
Tana bulaan: kaum bangsawan tertinggi
Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Jawa Pos, 26 Februari 2012
Anak yang baik adalah anak yang dapat memelihara hati ibunya.
Alun-alun Surga
Seorang wanita. Seorang ibu. Melahirkan. Membesarkan. Merawat. Apa yang sebenarnya ia lakukan kepada anaknya? Begini. Seorang anak. Anak satu-satunya. Anak perempuan. Anak manis. Gadis periang. Bermain dengan teman-teman. Sebayanya. Semua laki-laki. Ibu khawatir. Kita akan pindah, Nak. Anak mengangguk. Ah, anak yang baik. Kau tak takut kehilangan teman-teman? Anak menggeleng. Ah, anak yang baik. Mereka pergi. Mengembara. Ke desa. Ke desa. Desa demi desa. Teman demi teman. Kebaikan demi kebaikan. Keganjilan demi keganjilan. Kebaikan demi kebaikan. Keburukan demi keburukan. Kebaikan demi kebaikan. Keanehan demi keanehan. Kebaikan demi kebaikan. Stop! Kita tinggal di sini. Bermainlah. Ke alun-alun. Jumpai teman-teman. Kau sudah beroleh pelajaran dari pengembaraan, bukan? Anak tersenyum. Senyum yang merah. Senyum yang manis. Lalu mengangguk. Anggukan yang melegakan. Apa, Nak? Katakanlah. Anak menyerbu. Memeluknya. Lalu terisak. Pekebun yang baik takkan lelah membawa bibit ke mana-mana. Pada sepetak tanah. Yang subur menyuburkan. Pekebun yang baik takkan lelah melindungi bibit. Di bawah awan-gemawan. Yang suci mensucikan. Ibu tersenyum. Merenggangkan pelukan. Menatap mata Anak. Mata yang celik. Mata yang berbinar. Bagai ada kunang-kunang yang terperangkap. Di dalam matanya. Dan anak yang baik selalu percaya: Seorang ibu takkan menyiramnya dengan air keras. Ibu menyipitkan sebelah mata. Lalu tertawa. Anak juga tertawa. Pecah-rincah! Anak mencium punggung tangan Ibu. Pergi. Ke alun-alun desa. Ke alun-alun surga.
Ibu yang Adil
Raja datang. Ibu masih berbaring. Istirahat. Di tempat tidur. Raja mengetuk pintu. Ibu bilang: Aku lelah sekali. Aku tahu. Ibu penasihat kerajaan. Tapi kenapa Ibu seperti melecehkan raja? Kenapa, Nak? Kau tidak suka dengan sikap Ibu? Tidak, Bu. Ibu pasti punya alibi. Kenapa melakukan itu. Ibu tersenyum. Dan bilang: Lihat lagi. Rupanya raja belum puas. Diutus perdana menteri. Kali ini Ibu bangun. Membuka pintu kamar. Terkuak setengah. Aku masih lelah, kata Ibu. Kembalilah petang nanti. Akhirnya. Diutus seorang prajurit rendahan. Pukul lima petang. Ibu gegas bangun. Membuka pintu. Menuruni anak tangga. Mempersilakannya masuk. Menyuruh Anak membuatkan teh. Teh yang mahal. Teh bunga mawar. Prajurit kikuk. Prajurit menyeruput teh. Meminumnya. Sampai habis (entah karena nikmatnya teh—entah karena gugupnya jantung). Nah, Anakku. Setiap orang punya kedudukan. Setiap pohon punya ladang. Setiap hidup harus seimbang. Setiap perkara harus ditimbang. Tunjukkan: Kepada yang bergelimang hormat, ambillah sedikit kebanggaannya. Kepada yang dibelit kehinaan, suguhkan ia kehormatan. Walaupun hanya dengan bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar. Menuruni jenjang. Membuka pintu rumah. Mempersilakannya duduk. Menjamunya. Di ruang tamu. Dengan secangkir teh.
Apakah Orang-orang Akan Menjadi Kambing Berjamaah?
Orang-orang berkerumun. Ibu dan Anak mendekati. Ikut berkerumun. Seorang wanita tua. Berjubah bludru. Berkerudung ungu. Aku adalah penyanyi dari surga! Suaranya bergema. Menggetarkan. Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia bernyanyi. Orang-orang tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Ibu bertanya. Maaf, Penyanyi. Penyanyi dari surga. Suara apa yang paling susah kautiru? Ibu menanti jawaban. Orang-orang menanti jawaban. Orang-orang memeram penasaran. Suara al Kindi dan Mencius, jawab wanita itu. Orang-orang mengangguk-angguk. Ibu bertanya. Lagi. Wanita itu mendelik. Menantang. Lalu. Suara apa yang paling mudah ditiru? Wanita itu diam. Lalu terkekeh. Terbahak-bahak. Sungguh. Suaranya bergema. Menggetarkan. Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia bernyanyi. Orang-orang tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Suara wanita itu. Ia menjawab: Suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan! Orang-orang terperanjat. Tubuh mereka menggigil. Mereka takjub. Mereka ketakutan. Mereka terperangkap. Tapi tidak buat Ibu dan Anak. Ibu menggamit tangan Anak. Keluar dari kerumunan. Pergi. Meninggalkan kerumunan. Ibu, ujar Anak. Mengapa kita berlalu. Tidakkah kita ingin membuktikan kehebatannya? Seperti apa nian suaranya. Suara dari surga itu. Diam, Nak. Dia penipu! Bagaimana Ibu tahu? Kita belum pernah mendengarnya. Siapa tahu dia memang hebat. Penyanyi dari surga! Ibu menghentikan langkahnya. Menatap Anak. Belajarlah. Berkhidmatlah. Hayatilah hidup. Bila pun ia kumandangkan suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan, apakah akan kauiyakan? Apakah orang-orang akan menjadi kambing berjamaah? Kalian tidak memiliki bandingan! Anak diam. Ya, Bu. Wanita itu takkan dapat meniru al Kindi dan Mencius. Kita hidup bersamaan dengan pandai musik jagat raya dan orang nomor dua setelah Konfusius. Dia takkan bisa meniru. Tapi kupikir. Dia bukan penipu, Bu. Lalu apa, Nak? Dia itu Iblis. Kau juga tahu dari mana ia datang, bukan? Anak mengangguk. Dari neraka!
Jangan Pulang Hanya Karena Rindu
Lonceng. Berdentang. Berdetang-dentang. Nyaring. Cempreng. Seorang anak. Berlari. Melewati pasar. Lalu permukiman. Lalu kali-kali. Lalu jembatan. Jembatan-jembatan kecil. Ibu! Seorang ibu sedang menganyam. Daun-daun pandan kering. Bersalih-silang. Membuat terindak. Semacam caping. Pengganti payung. Ibu menoleh. Air mukanya lelah. Kau pulang cepat? Tidak, Bu. Sekolah yang cepat kelar. Kenapa? Ada rapat. Rapat guru. Kau berbohong? Tidak, Bu. Kau berbohong! Ibu menunjukkan sebuah terindak. Terindak setengah jadi. Kau lihat ini? Ia menunduk. Kau lihat ini?! Ia masih menunduk. Ibu meraih dagu Anak. Mengangkatnya. Mau tidak mau. Ia menatap terindak. Crashhh!!! Terindak bagai kertas yang disobek. Hancur. Berserakan. Daun-daun cokelat muda luruh. Kenapa kau pulang cepat? Ia meneguk liur. Ia masih menatap daun-daun pandan kering yang berserakan di ujung kakinya—kaki ibunya. Baiklah, Ibu. Kalau Ibu tak percaya. Dada Ibu megap-megap. Menahan buncah. Meredam marah. Aku tak peduli, kata Anak. Aku tak peduli. Pada lonceng. Suara lonceng. Dentangnya yang cempreng. Hari ini…. Ia terisak. Kenapa? Ibu membentak. Hari ini…. Lanjutkan! Suara Ibu makin keras. Hari ini…. Aku-aku-aku. Aku-aku-aku. Sangat merindukanmu Ibu. Di sekolah tadi. Aku berpikir. Bagaimana kalau Ibu tidak ada lagi. Aku-aku-aku. Merindui. Ibu. Aku tak butuh alasan untuk itu ‘kan, Bu? Ibu meninggalkannya. Menekuni daun-daun pandan yang kering. Menganyam lagi. Terindak. Terindak-terindak. Untuk berteduh. Kalau-kalau di surga nanti. Masih ada gerimis. Masih boleh menangis.
Kalau Lapar, Makanlah
Bila Lelah, Istirahatlah
Ibu. Ibu. Ibu, aku ingin bertanya. Ya, Nak. Aku punya tugas. Dari guru. Guru Agama. Ya. Kami dimintai pendapat. Pendapat sendiri. Kalau bisa bukan dari orang hebat. Bukan juga dari kitab suci. Ya. Apa itu, Nak? Apa. Apa. Apa. Apa hal sederhana. Hal yang dilakukan. Demi menjadi orang baik? Ibu tersenyum. Apa, Bu? Ibu masih tersenyum. Jadi ‘tersenyum’ jawabannya. Ibu menggeleng. Lalu? Lalu apa, Nak? Anak mencubit Ibu. Pinggang Ibu. Ibu menggeliat. Geli. Sedikit nyeri. Geli. Sedikit geli. Kalau lapar, makanlah. Bila lelah, istirahatlah. Anak mengerutkan kening. Bibir monyong. Telunjuk memilin rambut sebahu. Melirik Ibu. Ibu main-mainkah? Ibu menggeleng. Cepat sekali. Ibu main-main, ya? Ibu menyentuh bahu Anak. Anak diam. Ibu mengangkat tubuh Anak. Anak diam. Ibu mendudukkannya. Di atas kursi. Anak diam. Ada yang salah, Nak? Anak diam. Katakanlah. Orang-orang yang gelisah adalah orang-orang yang hidup. Anak diam. Lalu menghela. Dua kali hela. Bukankah itu yang dilakukan kebanyakan orang, Bu? Ibu menggeleng. Anak diam. Kebanyakan orang serakah, Nak. Anak diam. Ketika lapar, mereka memikirkan kereta kencana. Ketika istirahat, mereka mengimpikan mutumanikam dari utara. Mereka tidak makan. Mereka tidak istirahat. Mereka seolah ingin menunjukkan kuasa: Manusia mampu mengerjakan segala. Kau tahu, Nak. Mereka mengejar kerumunan bebek. Alih-alih menangkap semua. Alih-alih dapat banyak. Satu pun lepas genggaman. Anak diam. Diam. Diam saja.
Seratus Tahun Menjadi Ibu
Aku mengagumimu. Ibu. Ibuku. Tinggalkanlah daun-daun pandan itu. Ibu mengangguk. Menatap Anak. Baiklah. Ada apa, Nak? Berapa lama waktu yang kubutuhkan? Untuk apa, Nak? Untuk menjadi sepertimu Ibu. Ibu tertawa. Meraih daun-daun pandan. Ibu. Jangan bercanda, Nak. Ibu tengah membuat terindak. Bukan ketupat hari raya. Aku serius. Bu. Aku sungguh. Penuh. Penuh dan seluruh. Ah, bahasamu, Nak. Anak terkekeh. Baiklah. Lima belas tahun, bagaimana? Apa?! Terlalu banyak orang mati hanya karena terkesiap, Nak? Anak jadi malu. Wajahnya memerah. Bagaimana kalau aku belajar jauh lebih sungguh-sungguh, Bu? Sungguh? Iya, sungguh! Sungguh penuh dan seluruh? Ya, penuh dan seluruh. Baiklah. Tiga puluh tahun, cukup? Anak tertawa. Ibu, aku serius! Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Gemas. Melihat tingkah Anak. Nak, Nak, Anakku. Bila serius adalah daun… maka jawabku adalah kanopinya. Anak diam. Bila Ibu bermetafora. Pertanda ia menyebar hikmah. Baiklah, Bu. Demi Tuhan Yang Maha Segala. Ya, Nak. Demi Tuhan Yang Maha Segala. Kenapa? Ada apa? Kenapa Tuhan? Ibu. Aku bersumpah. Sumpah! Atas nama Ibu. Atas nama Tuhan, bila perlu. Berapa lamakah bila…. kuhabiskan waktuku untuk belajar. Untuk menjadimu. Ibu melotot. Seratus tahun! Anak terperenyak. Anakku, Ibu membelai rambutnya. Belajarlah dengan hati lapang. Belajarlah dengan kerendahan. Belajarlah dalam kebebasan. Orang-orang yang belajar dalam kekhawatiran takkan beroleh sesuatu apa. Kecuali lelah. Kecuali cemas. Kecuali harapan!
Aku Hanya Ingin Berdiri di Situ
Ibu melamun. Ibu rindu Ayah. Ibu banyak masalah. Ibu menikmati bulan. Ibu menikmati malam. Ibu ingin ke bulan. Ibu bersedih. Ibu gundah. Anak resah. Ia berlari. Memeluk Ibu. Dari belakang. Ia sudah besar. Tangannya bisa melingkari . Di pinggang. Pinggang Ibu. Ibu sedang melamun? Ibu menggeleng. Ibu rindu Ayah? Ibu menggeleng. Ibu banyak masalah? Ibu menggeleng. Ibu menikmati bulan? Ibu menggeleng. Ibu menikmati malam? Ibu menggeleng. Ibu ingin ke bulan? Ibu menggeleng. Ibu bersedih? Ibu menggeleng. Ibu gundah? Ibu menggeleng. Lalu. Lalu mengapa dari tadi ada di situ. Berpayung pohon duku. Melihat bulan. Memandang lepas. Ibu memberi tanda. Anak mendekat. Kau sudah pintar, Nak. Anak mendongak. Ke Ibu. Dagu Ibu. Tapi kau belum bisa menjadi jauhari. Memang tidak! Aku ingin jadi darwis. Darwis perempuan! Tidak! Kau belum bebas. Maksud Ibu? Kau belum lepas. Maksud Ibu? Makanya kau belum bisa mengepak. Anak diam. Dunia bukan cecabang pohon. Bukan meja berukir. Lalu, apakah ada alasan bagi angin untuk meriuhkan daun dan meniup debu-debu? Anak masih diam. Aku hanya ingin berdiri di sini. Di bawah pohon duku. Hanya itu. Tanpa alasan. Tanpa beban. Tanpa ikatan. Bebaskan pikiranmu, Nak. Lalu kautangkap cahayanya.
Pisau
Begini. Ke sini. Rebahkan kepalamu. Di pahaku. Di atas kain-kain. Katun-katun dari Asia. Aku hendak bercerita. Agar kau mawas. Agar kau tak khilaf. Jangan silap. Jangan gelap. Jangan lelap. Begini. Dengar ini. Ada cerita. Seorang ibu. Ibu yang kehilangan pisau. Pisau biasa. Tajam. Tidak terlalu tajam. Juga tidak tumpul. Ia curiga. Anak tetangga mencurinya. Ia mengamati. Terus mengamati. Tekun mengamati. Anak itu berjalan. Berjalan seperti pencuri. Dua minggu setelah itu. Ia menemukan pisaunya. Di tengah rimba. Ia terdiam. Ia menebas-nebas kerimunting. Ia pulang. Besoknya. Anak tetangganya itu berubah. Dilihatnya berubah. Jalannya berubah. Langkahnya berubah. Cara bicaranya berubah. Penampilannya berubah. Seperti anak-anak yang lain. Nah, Anakku. Bukankah manusia banyak yang seperti itu? Seperti ibu yang kehilangan pisau itu? Dongeng selesai. Anak mendengkur. Bagai gong yang bergemuruh. Meluruh. Menutup cerita.
Ia, Segala Puji Bermuara
Pujian sejati adalah kepercayaan yang diberi. Maka, sebelum kita menggali lubang. Sebagai jeda dalam sebuah kisah panjang. Kuganjalkan sebongkah pengaduan di antaranya. Antara kau dan aku. Anak dan Ibu. Gunung dan lembah. Sungai dan lubuk. Aku melahirkanmu. Kau memanggilku Ibu. Aku memanggilmu Anak. Dua beranak. Aku memercayaimu sebagai anak sebagaimana Tuhan memujiku dengan menganugerahimu. Dan aku sudah percaya. Kau tidak akan jauh-jauh. Kau hanya akan bermain. Di alun-alun. Tapi kutunggu. Kutunggu dan kutunggu. Tapi kucari. Kucari dan kucari. Kau tak kunjung menyambangi. Anakku. Begini saja. Aku yakin. Kau akan-dan-pasti datang. Menyongsongku di siang yang lekat. Aku merinduimu, Bu, serumu kelak. Sungguh. Ah, pasti begitu. Hmm, Tuhan. Kau memang menurunkanku. Kau memang meniupkan anak ke dunia. Tapi aku… seorang ibu. Mengandung. Melahirkan. Membesarkan. Merawat. Apakah masih perlu dijawab: Apa yang sebenarnya kulakukan kepada anakku? Aku lebih mengetahui. Paling mengetahui. Mungkin. Mungkin juga daripada-Mu. Maka, Kau tak perlu menculiknya. Karena aku telah memuji-Mu. Dengan memercayai-Mu. Untuk memeliharanya. Di sana. Di alun-alun. Alun-alun surga. Ambillah. Ambillah anakku!
Ibu yang baik adalah ibu yang memercayai Tuhan memelihara anaknya. (*)
Lubuklinggau, 10-11 Oktober 2011
Catatan:
Anak Ibu (1) dimuat Koran Tempo (Mei, 2009), dan Anak Ibu (2) dimuat Jawa Pos (Februari, 2011)
SEBELUM daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.
Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
***
Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.
Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek mengadah ke atas. Aku pun menirukannya.
“Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.
Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakkan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.
“Nek,” aku menjawil lengan nenek.
“Ya?”
“Apakah daun-daun kering yang berserakkan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”
“Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”
“Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”
“Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”
“Nek,”
“Ya?”
“Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”
“Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
Kepalaku kembali menengadah, “Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”
“Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”
“Apakah mereka akan segera gugur.”
“Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”
“Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?”
“Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”
Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.
“Nek,”
“Ya?”
“Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”
“Ya. Benar, memang kenapa?”
“Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”
“Ya. Tentu saja.”
“Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”
Nenek mengernyitkan dahi, “Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”
Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.
***
Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ‘penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan, bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.
Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorangpun berhak tahu atas rahasia itu.
Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, “Nenekmu sudah pergi”.
Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.
***
Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.
Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.
***
Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.
Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.
***
Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mall dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis, kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil diluar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.
Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.
Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.
“Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. “Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu persatu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.
“Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga, jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya…,” ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.
Terbayang dalam kepalaku, bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar, bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.
Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.
“Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga. (*)
.
.
Malang, 5 Juli 2011
Cerpen Desi Puspitasari
Dimuat di Koran Tempo, 20 November 2011
BEL yang digantung di pintu berkelinting.
“Menjelang musim dingin yang beku!”
Katja Heinenmann menaikkan kacamata tuanya. Ia melihat Klaus, salah satu profesor tua sekaligus pelanggannya yang setia, melepas mantel. Laki-laki itu baru pulang dari kampus tempatnya mengajar.
“Kopi susu, ya? Seperti biasanya.” Klaus menampilkan senyum lebar di antara wajah lelahnya.
“Aku juga punya kentang tumbuk dan sosis hangat.”
Klaus berpikir sejenak. “Bratwurst saja.”
Katja memang sudah tua dan tidak gesit lagi, tapi tidak perlu waktu lama baginya untuk menyiapkan pesanan. Sambil membawa nampan berisi makanan, ia keluar dari dapur dan menuju satu pojok favorit para pelanggan kedainya. Pojok dengan ukuran lumayan luas dengan rak buku raksasa dan dialasi karpet tebal. Ada juga beberapa meja kecil dan bangku bagi yang membutuhkan.
Klaus bersandar santai dengan buku tebal dalam genggamannya. Buku biografi Albrecht Dürer, pelukis Jerman abad ke-16 yang memadukan gaya ghotik Jerman abad ke15 dengan gagasan-gagasan Renaissance yang berkembang di Italia. “Penting untuk menjaga keseimbangan otakku, Frau. Mempelajari teknik membuat pesawat terbang canggih dan membaca perihal kesenian sekaligus.”
Klaus mengangguk ketika Katja meletakkan pesanannya. “Danke.” Secangkir kopi susu panas dan sepiring sosis hangat. “Bitte.” Katja berlalu. Klaus kembali sibuk dengan buku bacaannya.
Jalanan sepi. Lembaran daun kering terlunta-lunta tertiup angin September. Ranting tua pepohonan bergoyang sepi. Ini awal musim dingin yang menyedihkan. Bukan bagi dunia. Karena Jerman tak lagi suram semenjak proses reunifikasi tahun 1990 lalu. Tapi menyedihkan, setidaknya bagi Katja. Seperti ada melankoli yang berbeda.
Ini pasti karena usia. Oh, masa tua, keluh Katja sambil menyeduh secangkir teh mint bagi dirinya sendiri. Kalau saja ia masih 20 atau 40 tahun setidaknya akan cukup banyak alasan baginya untuk menghabiskan waktu dengan melakukan seabreg aktivitas. Sekarang apa yang bisa dilakukannya? Ketika usia telah menginjak angka 70 dan seluruh anggota keluarga telah pergi satu persatu? Suaminya telah meninggal. Kedua anaknya berpencar ke kota yang berbeda-beda. Saat-saat seperti ini ia selalu merasa kesepian. Musim dingin sendirian. Lalu musim semi yang dilanjutkan dengan musim panas. Pesta Biergarten.
Jantung Katja tiba-tiba terasa nyeri ketika ide biergarten iseng mampir di pikirannya. Pesta yang berhasil mengumpulkan ribuan orang untuk minum bir bersama-sama. Sekitar 1300 ahli bir didatangkan, dan 160 liter bir siap sedia untuk dihabiskan.
“Anda tidak minum bir?” tanya Katja muda heran. Ia menatap laki-laki berwajah Asia di hadapannya.
“Nein.” Laki-laki itu menolehkan kepala. “Sebenarnya aku mencari air mineral kalau ada.”
“Kalau hanya untuk mencari air mineral, kenapa repot-repot datang ke sini?” Katja mengeraskan volume suara, mengalahkan suara riuh rendah di sekitar mereka. Ia mencondongkan tubuh.
“Aku hanya ingin merasakan suasananya,” jawab laki-laki itu sambil tersenyum. “Dan sekarang rasanya aku sudah cukup tahu. Mari.” Ia berpamitan dan meninggalkan kerumunan manusia yang memenuhi deretan meja dan kursi.
Katja menenggak sisa birnya. Lalu melompat cepat menyusul laki-laki asing itu. Ia masih muda dan merdeka, dan tidak pernah merasa bersalah ketika ingin melakukan apa yang dia mau. Yang diikuti sedang membelok ke salah satu minimarket dan tak lama keluar dengan sebotol air mineral. Laki-laki itu sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan. Katja berhenti dan merasa tidak tahu sebenarnya apa yang hendak dilakukannya. Ia hampir saja berbalik pergi ketika laki-laki itu memanggilnya. “Ternyata Anda lagi. Kebetulan sekali.”
Katja memutuskan untuk tidak jadi pergi. “Ada yang ingin kutanyakan.”
“Bitte.”
“Kenapa Anda tidak mencoba bir? Sekadar menghilangkan rasa haus? Sekadar memenuhi rasa penasaran?”
“Karena aku tidak dianjurkan untuk minum alkohol.”
“Anda muslim?” tanya Katja memastikan. Ia punya beberapa teman dari India, Turki, dan Malaysia yang selalu mengatakan alasan yang sama.
Laki-laki itu mengangguk.
Itu artinya tidak ada alasan lain sedikit pun bagi Katja untuk bisa menggoyahkan keyakinan makhluk asing tersebut. “Apa Anda tidak kepingin tahu bagaimana rasa bir?”
Laki-laki itu diam sebentar. “Tolong katakan padaku bagaimana rasanya.”
Katja mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat kenikmatan minuman yang masih tersisa di tenggorokan. “Ya. Sedikit pahit. Setidaknya kau akan bergidik karena rasa pahit. Sedikit manis. Kau bisa mencecap sisa-sisanya yang tertinggal di lidah. Dan rasa seperti terbakar di tenggorokan. Lalu tubuhmu akan terasa hangat. Rasanya seperti menyebar perlahan-lahan di dalam tubuh.”
“Sekarang aku sudah tahu rasanya minum bir,” kata laki-laki itu pelan.
Katja terdiam. Cara yang bagus untuk menjawab. Namun membosankan.
Bel yang dipasang di pintu kembali berkelinting. Katja tua menghentikan lamunannya. Ia bergegas keluar dapur. Suami istri Henkel duduk di kursi sambil menggosok-gosok telapak tangan mereka yang dingin. “Nekad sekali,” sapa Katja.
Pak Henkel menoleh. “Begitulah. Istriku yang sudah tua, namun keras kepala ini sudah sangat kepingin mampir.”
“Aku ingin sup sapi. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tidak makan sup resep orang tuamu.” Bu Henkel mencoba membela diri. “Dua rindfleischsuppe dan dua cokelat panas.”
“Mudah-mudahan sop dan cokelat itu bisa menolak penyakit masuk angin,”gerutu Pak Henkel.
Katja baru saja menuang sup resep orang tuanya ketika bel pintu kembali berkelinting. Ia keluar dari dapur sambil membawa semangkuk sup. Langkahnya terhenti ketika melihat laki-laki yang beberapa bulan lalu ditemuinya di pesta bir.
“Hai.” Laki-laki itu pun seperti kaget. Ia lalu tersenyum demi melihat Katja.
“Selamat datang!” seru ibu Katja dari balik meja kasir.
Katja muda tersadar. Ia mengantarkan sup pesanan pelanggan kedai sebelum mampir ke meja laki-laki itu.
“Mau pesan apa?”
“Di sini tersedia menu kotellete?”
“Kebetulan tidak.” Katja mengerutkan kening. “Kau bisa memesan cokelat, kopi, atau sup daging sapi.”
Laki-laki itu memesan secangkir kopi panas. Ketika Katja kembali membawa pesanan, laki-laki itu sudah tenggelam dalam pekerjaan menulisnya. Beberapa buku tebal tertumpuk memenuhi meja. Sebagian terbuka di halaman tertentu. “Sibuk sekali,” komentar Katja yang bingung harus meletakkan cangkir di sebelah mana.
Laki-laki itu mendongakkan kepala. Buru-buru ia menggeser buku, memberi tempat. “Aku sedang mengerjakan tugas akhir. Beasiswaku akan dihentikan beberapa bulan lagi. Kalau aku tidak bersegera, wah….”
“Aku tidak akan mengganggumu.” Katja meletakkan cangkir kopi.
“Aku tidak merasa terganggu.” Laki-laki itu tersenyum. “Frau, buku apa saja yang ada di rak itu?”
Katja menoleh ke arah yang ditunjuk. “Cuma sekadar rak tua. Beberapa roman milik ibuku, dan tumpukan koran harian yang lama dan baru. Anda bisa membaca koran hari ini.”
“Ah, nein.” Laki-laki itu menggeleng. “Aku hanya kepikiran sesuatu. Seandainya anda menambahkan beberapa buku lagi dan menghamparkan karpet tebal. Itu akan menjadi pojok yang menyenangkan.”
Katja terdiam beberapa saat. “Akan kupertimbangkan.”
Katja tua meletakkan dua mangkuk sup dan cokelat di antara pasangan Henkel. Ia kembali disergap rasa muram ketika kembali ke dapur. Melalui jendela ia memandang jalanan di luar. Begitu sepi. Begitu menyedihkan. Mungkin beberapa hari lagi jalanan itu akan segera mati ketika hujan deras turun berhari-hari.
Hati Katja tertusuk perasaan ngilu.
Bel di pintu berkelinting.
Katja muda melongokkan kepala keluar dapur. Siapa yang nekat menembus hujan deras seperti ini? Laki-laki berkulit eksotis itu menggigil kedinginan ketika melepas mantel tebalnya. Ia menyimpan payung yang basah di kotak penyimpanan di belakang pintu.
“Selamat datang,” seru ibu Katja. “Cokelat panas, ya? Aku takut Anda terserang influenza.”
“Ja, Frau. Danke,” jawab laki-laki itu dengan suara sengau.
“Nekat sekali,” komentar Katja ketika akhirnya meletakkan secangkir cokelat dan semangkuk sup panas. Sup itu bonus.
“Entahlah.” Ia mengangkat bahu. “Aku hanya ingin kemari sebelum besok pulang ke rumah.”
“Pulang?” Itu berarti tidak ada lagi kunjungan menjelang sore hingga malam. Dua cangkir kopi panas, semangkuk sup, dan tekun mengerjakan tugas akhir. Dengan cara yang tidak dapat dijelaskan, hati Katja merasa kehilangan.
“Aku telah lulus ujian.”
Katja mengangguk.
“Dan kupikir, kedai kopi ini turut berjasa membantuku menyelesaikan tugas akhir. Itulah kenapa aku memaksa diriku kembali lagi ke sini.”
Katja terdiam. Ia kembali masuk ke dalam dapur. Semacam perasaan kehilangan itu mampir di hatinya. Secara tidak sadar perlahan-lahan dalam diam ia menikmati kehadiran laki-laki berkulit sawo matang selama dua bulan terakhir. Wajahnya yang serius ketika menulis, membaca buku, atau mencoret-coret bagian penting dalam bukunya.
Katja tidak keluar dari dalam dapur ketika laki-laki itu membayar pesanan.
“Ah, Indonesia!?” seru ibu Katja. “Pasti di sana tidak ada sup sapi seenak buatan di sini!”
Laki-laki itu tertawa sopan. Lalu berpamitan.
Melalui kaca jendela dapur yang sedikit buram, Katja melihat laki-laki itu menembus hujan di bawah payung yang digenggamnya erat-erat. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan. Kecipak air di sepanjang trotoar sudah pasti membasahi sepatunya.
Katja mendesah pelan. Indonesia. Negara carut marut itu ternyata masih menyisakan satu sosok yang bisa-bisanya membuat hatinya merasa kehilangan.
“Menjelang musim dingin yang beku ya, Frau,” kata Klaus sambil membayar pesanan.
“Ja, Profesor. Entah kenapa selalu saja terasa menyedihkan.” (*)
.
.
.
Catatan
Heute Herbst: musim gugur kali ini.
Kotellete: babi.
Rindfleischsuppe: sup daging sapi.
Dimuat di Majalah Ta’dib, Edisi 45/Th.IX/November 2011
Laila - yang hampir setahun murung, melamun, dan mengurung diri - tiba-tiba berubah serta menjadi perbincangan orang banyak. Menurut cerita dari mulut ke mulut, ia sembuh lantaran meminum air zam-zam yang dibawa pulang oleh pamannya setelah menunaikan ibadah haji. Katanya lagi, entah benar atau tidak, air itu telah diberi bacaan oleh seorang syaikh di Arab Saudi.
Laila yang dulu tak tampak lagi. Sinar matanya yang semula sayu, kini musnah. Bola matanya memancarkan rona keemasan. Tajam dan tegar. Dengan pakaian warna putih yang selalu melekat di badan, ia menjelma sosok agung serta mampu mengkhilafkan banyak orang.
Perubahan pada diri Laila tidak berhenti sampai disitu. Ia juga meninggalkan pekerjaannya sebagai seniman patung. Karya-karyanya memang telah bertebaran hingga ke manca negara dan dikoleksi jutaan umat. Tak heran, Laila adalah alumni institut kesenian ternama. Satu persatu patung yang telah ia buat dan menempati ruang pamer di rumahnya berubah menjadi abu. Bahkan sebuah patung besar yang telah ditawar jutaan oleh penggemar seni pun tak luput dari kehancuran. Banyak sekali yang menyayangkan tindakan Laila.
Orang tuanya sendiri bingung, apalagi orang-orang yang selama ini memuja karyanya dan menganggap karya Laila sebagai seni tinggi. Sehingga bermunculanlah orang-orang dari seluruh media menanyakan kenapa ia menghancurkan sendiri karyanya. “Alangkah sayangnya. Beberapa karya agung harus musnah. Bukankah mengundurkan diri dari dunia seni tidak harus diikuti dengan menghancurkan karya sediri?” Begitu kata kebanyakan pengamat seni yang dimuat di berbagai media massa.
Laila menjawab, “saya tidak ingin orang-orang menjadi musyrik. Memuja patung adalah perbuatan syirik walaupun kita tidak bersujud dihadapannya. Dengan ini juga saya memerintahkan kepada kolektor di seluruh dunia yang masih menyimpan patung karya saya untuk memusnahkannya. Patung tidak akan memberikan kedamaian dan keselamatan pada umat manusia. Selamanya mereka bisu. Saya tidak ingin seperti itu. Kini saatnya saya akan membuka suara untuk menyampaikan suatu kebenaran.”
Setelah itu Laila menjadi sangat terkenal. Apalagi setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai utusan Tuhan. Juru Selamat baru. Seluruh media cetak dan elektronik tak henti-henti memuat berita tentang dirinya. Berbagai respon bermunculan. Ada yang mengakui kebenaran kata-katanya, namun tidak sedikit yang menghujatnya. Di antara orang-orang yang menolak pengakuan itu menganggap Laila sudah gila. Sehingga dirinya kini lebih dikenal dengan sebutan Laila Majenun.
Sebenarnya cerita awalnya sederhana. Laila yang menikmati hidup sebagai seniman kaya raya dan terkenal tiba-tiba merasakan kehampaan. Apa yang dia ciptakan adalah sebuah salinan dari karyaNya. Ia hanya meniru. Kejenuhan serta kelelahan menyeruak. Batinnya bergolak. Tak pernah reda, hingga proses kreatifnya seketika mandek.
Lalu muncul pertanyaan untuk apa sebenarnya hidup ini? Ia mulai mencari jawaban. Akibat pencariannya selama beberapa tahun, lambat laun Laila memandang dunia hanya sebagai tempat mampir saja, dan hidup manusia dirasakan sebagai senda gurau belaka. Ia sama sekali tak tertarik lagi dengan pekerjaannya. Ia ingin mencari sesuatu dibalik yang kasat mata. Suatu kebenaran yang dianggapnya masih tersembunyi. Sebuah ‘Diri’, yang tak hanya menciptakan materi untuk patung-patungnya, tapi Pencipta yang telah menciptakan dirinya.
Dalam pencarian itu ia mengalami berbagai peristiwa yang akhirnya membuat fisiknya lemah. Badannya tidak mampu menopang jiwanya yang haus akan ‘kebenaran yang sesungguhnya’. Pertanyaan dalam dirinya belum terjawab. Perlahan-lahan tubuh itu semakin lemah, sedangkan pikirannya melayang-layang mencari pijakan. Hingga akhirnya air zam-zam itu yang kabarnya mampu menyembuhkannya. Banyak yang menyebutnya mukjizat. Cuma sayangnya ia bersikap sangat aneh, begitu kata kebanyakan orang. Namun tak sedikit yang kagum pada Laila.
Sebagian besar orang yang kagum pada Laila mulai menyebar berita yang bermacam-macam. Ia dikatakan memiliki kesaktian. Beritanya cepat menyebar ketika ia mampu menyembuhkan penyakit. Mereka juga percaya bahwa ia adalah utusan Tuhan atau juru selamat atas kebobrokan moral yang sedang melanda negeri ini dan mengakibatkan munculnya bencana dimana-mana. Pengikutnya sangat yakin bahwa Laila mampu memberikan jalan keluar dari setiap masalah. Ia telah dianggap seperti wali atau orang suci.
Kabar makin cepat menjalar. Secepat angin dan kedipan mata. Maka datanglah orang-orang yang putus asa dalam menghadapi hidup, terutama orang-orang yang merasa hatinya gersang dan mereka yang tidak sembuh-sembuh didera penyakit. Setiap ada kesembuhan akan menjadi berita yang berpindah bak kilat. Makin lama makin banyak orang yang menemui Laila, sehingga ia mengubah ruang pamernya yang sekarang kosong menjadi tempat pengobatan.
Bukan cuma itu, setiap malam Jum’at ia mengundang orang-orang untuk berkumpul dan mendengarkan wejangannya. Mereka harus berpakaian serba putih dan selama 24 jam sebelumnya hanya boleh makan nasi putih serta minum air putih. Laila berkata, “hati kita harus putih dan bersih, maka dari itu semua yang melekat di tubuh kita harus berwarna putih, dan yang masuk ke tubuh kita juga harus makanan yang putih serta murni. Kemurnian adalah sumber dari segala pencerahan.”
Dengan ajarannya, Laila semakin terkenal. Tapi ia makin menunjukkan berbagai keanehan. Salah satu keanehan adalah setahun kemudian perut Laila kelihatan membesar. Para jemaat di perkumpulannya mulai bertanya-tanya: Apakah Laila hamil? Satu dua orang mulai tidak percaya dengan ajaran Laila. Mereka mulai meninggalkannya karena menganggap guru mereka telah hamil di luar nikah, dan itu adalah perbuatan dosa yang tidak boleh dilakukan oleh orang suci yang telah tercerahkan.
Menyadari itu, Laila dengan cepat menceritakan kisah Maryam yang mengandung Nabi Isa. Dengan daya pikat bicaranya yang luar biasa ia berkata, “manusia kini sudah semakin keluar dari jalur kodratnya. Mereka tak lagi menyembah Sang Pencipta, tetapi benda-benda fana. Maka itu Tuhan akan kembali membimbing manusia dengan mendatangkan juru selamat yang akan lahir dari rahim saya. Karena saya memiliki jiwa yang murni dengan hati suci. Tidakkah kalian lihat Nabi Isa yang lahir dari seorang perawan suci? Tuhan, dengan kuasanya, telah menjadikan saya seperti Maryam. Saya jelas sekali mendengar bisikan-Nya setiap malam yang disampaikan oleh malaikat Jibril, Sang Ruhul Kudus.”
Banyak yang kemudian masih tetap mengikuti Laila walau kini jumlahnya berkurang. Bagi mereka yang percaya, Laila benar-benar akan melahirkan seorang juru selamat baru. Anggapan ini datang dari mereka yang telah sangat muak akan perilaku manusia yang telah berubah bagai hewan. Malah kata mereka hewan kini lebih berharga dari manusia. Lihatlah anjing-anjing yang tinggal di rumah mewah. Mereka lebih disayang dari pada gelandangan dan orang-orang miskin. Bau anjing-anjing itu bahkan jauh lebih wangi. Derajat manusia telah jatuh di bawah anjing.
Laila kemudian melahirkan bayi perempuan.
“Mengapa bayi guru perempuan?” Tanya salah seorang pengikut saat mereka berkumpul. Kini jumlahnya tinggal puluhan.
“Seorang juru selamat tidak harus laki-laki. Bahwa yang menjadi pemimpin haruslah laki-laki adalah gagasan yang selalu didengungkan oleh jiwa-jiwa kerdil yang haus akan kekuasaan. Sebenarnya mereka hanya takut tersingkir. Mereka tidak mampu bersaing.”
“Tapi selama ini yang dikirim Tuhan selalu laki-laki. Lihatlah orang-orang suci yang berada di seluruh kitab-kitab?”
Laila diam. Warna keemasan matanya mengarah ke seluruh pengikutnya. Mereka semua tertunduk. Sebentar lagi guru mereka akan mengeluarkan untaian mutiara dari mulutnya.
“Lihatlah diri saya. Bukankah saya juga adalah perempuan, dan saya selama ini telah memurnikan hati kalian. Sehingga kalian tidak hidup dalam kesengsaraan duniawi. Hidup kalian menjadi tenteram bukan. Coba seandainya kalian masih memikirkan harta dunia? Pasti hidup kalian semakin gersang dan mata batin kalian semakin tertutup. Lagi pula, orang-orang suci yang namanya tercantum dalam kitab-kitab itu juga lahir dari rahim perempuan.”
Para pengikutnya mengangguk. Mereka menyadari alangkah indahnya berada di dekat Laila. Mereka tak lagi gelisah dengan segala harta dunia yang selama ini mereka cari dengan susah payah, lalu ditumpuk, diiringi ketakutan akan kehilangan. Sebelumnya mereka merasa bagai budak yang selalu dipaksa untuk memenuhi kebutuhan nafsu perut, bawah dan atas perut.
Laila melanjutkan kata-katanya, “jika kalian meneliti seluruh kitab-kitab suci yang ada di dunia, kalian akan mengetahui bahwa ada simbol-simbol tersembunyi yang mengatakan akan datang seorang juru selamat yang berjenis kelamin sama dengan ibunya.” Orang-orang yang berada di ruangan itu kembali mengangguk. Bahkan ada beberapa yang menitikkan air mata, lalu mengangkat tangan mereka dan bersujud di depan Laila.
Dengan gencar media kembali meliput kegiatan Laila dan pengikutnya. Beberapa orang merasa penasaran. Mereka menyusup ke dalam jemaat itu selama beberapa minggu, kemudian melaporkan kepada atasan mereka semua kegiatan yang dilakukan dengan membawa buku-buku yang sudah ditulis oleh Laila. Buku-buku tulisan Laila memang sudah diedarkan dan sangat laris. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja telah dicetak ulang beberapa kali.
Beberapa minggu kemudian ada pengumuman resmi yang mengatakan bahwa ajaran Laila sesat. Laila yang selama ini mengaku dibimbing oleh Jibril ditolak oleh orang-orang itu. Mereka mengatakan iblislah yang telah membimbing Laila dan membutakan mata serta hatinya. Ia hanya diberi ilusi dan seolah-olah ia adalah juru selamat utusan Tuhan. Kembali kata-kata ‘Laila Majenun’ menjadi sangat terkenal. Dan ia diminta segera bertobat, kembali ke jalan lurus sesuai dengan ajaran murni yang penafsirannya telah disepakati bersama.
Reaksi orang-orang bermacam-macam. Ada yang mendukung dengan alasan hak asasi manusia, ada juga yang menolak. Seorang intelektual bahkan ada yang membelanya dengan mengatakan bahwa banyak pengikut Laila yang berubah menjadi baik. “Bukankah itu tidak melanggar prinsip-prinsip agama manapun?” Kata intelektual itu. Ia lalu melanjutkan kata-katanya, “biarkan mereka menyembah Sang Pencipta dengan cara mereka sendiri, selama itu tidak merugikan siapa pun. Semua manusia yang baik dan menyembah Tuhan pasti akan masuk surga. Terserah bagaimana mereka melakukannya.”
Namun, jumlah orang yang mencelanya jauh lebih banyak. Bahkan akhirnya ada sekelompok orang yang tidak sabaran mendatangi Laila dan pengikutnya saat mereka sedang berkumpul. Orang-orang yang tidak setuju itu membakar rumah Laila sambil meneriakkan ucapan Tuhan Maha Besar, seolah-olah Tuhan merestui tindakan mereka. Untung kedua orang tua Laila telah lebih dahulu mengungsi ke kampung halaman. Mereka juga takut dan bingung dengan perubahan pada diri anaknya dan reaksi orang-orang.
Tapi Laila tidak pernah patah semangat. Ia selalu menghibur pengikutnya dengan menceritakan kisah nabi-nabi dan orang-orang suci yang selalu mendapat halangan dan rintangan saat menyebarkan kebenaran di muka bumi.
“Kita harus maklum.” Kata Laila. “Mereka adalah orang-orang bodoh. Orang-orang yang tak mampu melihat kebenaran karena hati mereka tertutup oleh debu-debu duniawi. Kalau saja mereka mau melihat dengan mata batin? Sayang, mereka hanya mampu melihat wujud kasar.”
Laila berkata sambil menggendong anaknya yang tertidur. Kini kemana-mana ia membawa anak itu yang katanya akan dipersiapkan untuk menjadi juru selamat baru. Selanjutnya ia mengatakan bahwa anak itu akan dibimbing oleh Jibril untuk membawa generasi berikutnya menuju kekekalan yang indah nan abadi.
Melihat kemarahan dari banyak orang dan selalu dikejar-kejar, pelan-pelan Laila mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Bahkan salah seorang bersaksi di televisi bahwa ia seperti tersihir oleh kharisma Laila. Sehingga ia menganggap Laila benar-benar sebagai penyelamat manusia dan utusan Tuhan yang hadir di akhir zaman.
Dari ratusan akhirnya kini pengikut Laila hanya tinggal puluhan.
“Inilah saatnya.” Kata Laila.
“Saatnya untuk apa guru?”
“Saatnya untuk menemui Dia.”
“Sang Pencipta?”
“Ya.” Kata Laila. Suaranya sangat tenang. “Kalianlah orang-orang yang terpilih. Kalian akan bahagia selama-lamanya. Nanti akan datang lagi generasi baru yang akan dipimpin oleh anak saya. Lalu anak saya akan melahirkan seorang anak lagi. Begitu seterusnya. Karena di setiap generasi akan muncul juru selamat dan pembimbing baru. Merekalah yang akan menjaga rambu-rambu, tapi sayangnya kebanyakan manusia tidak mengerti. Padahal tanda-tandanya bertebaran dimana-mana. Seluruh kitab suci mencatatnya.”
Laila lalu meninggalkan anaknya yang tertidur di sebuah pondok kecil beberapa ratus meter dari pondok mereka yang terpencil. Di pondok itu ia dan belasan pengikutnya telah membungkus diri dengan pakaian serba putih. Lelaki dan perempuan telah mencukur seluruh rambut yang tumbuh di tubuh mereka.
“Jangan lupa minum air putih.” Perintah Laila. “Air itu akan membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih ada di tubuh kalian.” Mereka mengikuti apa pun perintah Laila.
Laila dan pengikutnya membentuk lingkaran. Tangan mereka saling mengapit. Lalu terdengar suara-suara senada. Tak lama kemudian mereka kelihatan berada di ambang ketidaksadaran. Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya lingkaran itu berputar bagai sebuah roda.
Tiba-tiba muncul titik-titik api yang lambat laun melahap pondok itu. Mereka tak peduli. Mereka terus saja berputar sambil melantunkan syair-syair yang menyayat. Syair-syair penjemputan guna menyongsong keabadian yang tenteram di dunia lain. Dunia kekal yang bebas dari hujatan dan belitan nafsu.
Kini mereka telah terkepung api. Suara-suara itu terus melengking, lalu perlahan melemah, sampai akhirnya tidak terdengar sama sekali. Kini yang tinggal hanya batang-batang kayu dan sisa-sisa tubuh berwarna hitam dan beraroma sate.
Tempat yang jauh dari pemukiman itu kini tak lagi menyuarakan apa-apa, tidak juga nyanyian binatang. Beberapa jam lagi matahari akan muncul. Tapi di sebuah pondok kecil ada cahaya keemasan. Seorang anak kecil telah membuka matanya. Ia tidak menangis. Mata itu bersinar keemasan. Mirip sekali dengan mata Laila.
Subscribe to NewsLetter
Get the latest updates via EmailService provided by FeedBurner
Arsip
Label
- FLP Aceh (14)
- FLP Amerika (2)
- FLP Bandung (8)
- FLP Depok (41)
- FLP DKI (27)
- FLP Lampung (1)
- FLP Lampung Timur (3)
- FLP Lubuklinggau (58)
- FLP Padang (4)
- FLP Pekalongan (2)
- FLP Sumbar (12)
- K: Batam Pos (5)
- K: Berita Pagi (2)
- K: Femina (1)
- K: Jawa Pos (14)
- K: Jurnal Bogor (6)
- K: Kedaulatan Rakyat (1)
- K: Kompas (8)
- K: Lampung Post (9)
- K: Media Indonesia (4)
- K: Nova (2)
- K: Padang Ekspres (3)
- K: Pikiran Rakyat (5)
- K: Republika (35)
- K: Riau Pos (5)
- K: Seputar Indonesia (2)
- K: Sriwijaya Post (1)
- K: Suara Karya (10)
- K: Suara Merdeka (9)
- K: Suara Pembaruan (22)
- K: Surabaya Post (12)
- K: The Jakarta Post (7)
- K: Tribun Jakarta (1)
- M: Gong (1)
- M: Sabili (3)