Anak Perempuan Ayah

Senin, 18 April 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Aida Radar

Dimuat di Berita Pagi Palembang, Ahad 17 April 2011


“Ada apa dengan ayah?”

Demikian benakku tiada hentinya bertanya tentang sikap ayah yang lain dari biasa. Ayah yang tak lagi kurasa seperti ayahku yang dulu. Ia betul-betul berubah. Ketaksamaan sikap ayah yang mengganggu pikiranku ternyata tidak—atau mungkin belum, ditangkap orang-orang rumah lainnya. Mereka jelas tiada tahu menahu akan ke-lain-an sikap ayah yang menjadi kegelisahanku. Ibu saja yang orang paling terdekat ayah, yang kucoba cari alternatif jawaban padanya, hanya mengangkat bahu. Pun begitu dengan Jum, bibi yang telah hidup bersama keluarga kami membantu ibu dalam urusan dapur, juga tak lepas dari bidikan tanyaku yang di akhirnya juga setali tiga uang dengan ibu. Diangkat pula bahunya. Bahkan diikuti gelengan. Tidak tahu pangkat dua pastilah maksudnya.

Perasaan tidak kulihat perubahan dalam diri ayah. Dulu dan sekarang sama saja, tuh!

Ah! Adik lelakiku juga beri pendapat sama ketika kuminta pandangannya. Ugh! Jengkel aku padanya. Bagaimana ia bisa tahu keadaan rumah jika kerja hariannya cuma kelayapan saja?! Menginap di basecamp komunitas motornya hampir tiap malam. Jadi mana bisa perubahan sikap ayah terbaca olehnya. Ah, salah juga aku mau meminta pendapatnya.

“Ayah mengapa bersikap begitu terhadapku, ya?”

Lain apanya, Ria? Dari tadi kauterus curhat tentang sikap ayahmu yang berubah, tapi tidak kau katakan di mana bedanya? Bagaimana saya bisa berpendapat?

Oh astaga! Aku hampir lupa. Gerutuan Dini mengingatkanku kalau belum kuceritakan sebab musabab ayah kubilang berubah sikap. Baiklah, begini ceritanya :

Dulu, sewaktu masih melekat di tubuhku seragam putih biru dan putih abu-abu, hampir tidak pernah aku dilarang ayah keluar rumah. Ikut kegiatan ekskul sampai pulang menjelang maghrib, buat tugas di rumah teman di malam hari, bercuap-cuap dengan sahabat-sahabat hingga tak mengenal waktu, dan aktifitas di luar rumah lainnya; kulakoni tanpa ada batasan waktu yang ayah gariskan padaku. Selama masa itu, tiada ditolaknya izinku untuk berkeliaran di luar dan tidak hidup di dalam rumah. Aku benar-benar berjaya mengatur waktu untuk seabreg kegiatanku.

Namun kini berbeda sudah. Kebebasan masa eSeMPe dan eSeMA itu langsung ditarik kembali oleh ayah dari penguasaanku dan disembunyikannya dalam sebuah sangkar berbentuk ratusan susunan batako yang disisipi hingga dilapisi semen dan pasir 1:5. Yah, di rumah mungil kami itulah ayah kurasa mengungkungi setiap gerak-gerikku. Jangankan berkunjung ke rumah teman hingga tak mengenal waktu, duduk satu jam di rumah tetangga saja, ayah langsung menggunakan hak sangkarnya untuk menarikku pulang.

Dan yang tidak bisa kupahami dari sikap ayah itu, mengapa ia memberi kelonggaran keluar rumah padaku selama masa sekolah eSeMPe dan eSeMA tapi selalu menghalangiku melakukan itu akhir-akhir ini. Dan hal itu berlaku justru ketika aku baru saja pulang dari tempat studi di Makassar. Pasca berhasil menempatkan toga di kepala dan menggamit gelar Sarjana Pendidikan.

Kemarin ba’da sholat Isya, enam hari sesudah kepulanganku dari Makassar, aku berencana ke rumah Dini. Selama lima hari ini aku di rumah terus. Tidak ada yang bisa kukerjakan. Tes seleksi penerimaan pegawai negeri sipil—yang ayah ingin aku mengikutinya, masih akan berlangsung dua bulan lagi. Aku benar-benar suntuk melewati lima hari tanpa kesibukan-kesibukan seperti ketika masa kuliah dulu. Olehnya itu, aku ingin ke rumah Dini yang merupakan teman eSeMA-ku sekedar untuk berbagi cerita. Tentang apa saja untuk mengobati kebosananku di dalam rumah.

Aku berpamitan pergi ke rumah Dini pada ibu yang lagi nonton televisi bersama Jum. Waktu melewati ruang tamu, ayah sedang duduk di sana. Ia sedang membaca koran. Karena tak ingin mengganggu ayah, aku langsung menuju pintu.

“Ria pergi dulu ya, Yah. Assalamu’alaikum.”

“Mau kemana kamu malam-malam begini, Nak?”

Ayah memindahkan wajahnya yang sedari tadi menyeriusi koran dalam genggamannya di pintu keluar tempat aku berdiri dan hendak keluar. Mata di balik kacamata itu menatapiku penuh tajam dan (kurasa) penuh selidik.

“Ng... Anu, Yah. Ria mau ke rumah Dini.”

“Kamu mau ngapain di sana, Nak?”

“Nggak ngapa-ngapain, Yah. Ria hanya pengen ngobrol saja dengan Dini. Ria suntuk di rumah, Yah.”

“Tapi ini ‘kan sudah malam, Nak. Lagipula tidak ada hal penting yang mau kamu kerjakan di sana. Baiknya besok saja kamu ke rumah Dini. Nanti ayah yang akan mengantarmu biar kamu tidak pergi ke mana-mana. Begitu lebih baik, Nak.”

Aku mematung di tempat tanpa kata-kata. Tadinya aku berharap ayah melarangku pergi dengan suara menggelegar dan menghentak. Supaya kalimat-kalimat perlawanan yang telah kususun dalam kamar sebelumnya bisa kugunakan untuk mengritiki pengungkungan ini. Namun ayah tak melarangku dengan nada keras seperti itu. Ia melarangku pergi dengan kemampuannya yang belum akan pernah bisa aku kalahkan. Ia menjadi pemenang atasku dengan ketenangannya dalam berbicara.

Dalam kata-katanya tadi jelas tidak ada kalimat pelarangan langsung untukku. Tapi secara tersirat, terbaca jeli kalau ayah memang mau menggagalkan rencanaku ke rumah Dini. Kemudian, ayah kembali menyeriusi korannya. Sedangkan aku berjalan pelan kembali ke dalam kamar. Tanpa suara.

***

“Mungkin ayahmu khawatir dengan keselamatanmu makanya beliau bersikap begitu, Ri.”

“Khawatir dengan keselamatanku? Keselamatan dari bahaya apa, Din? Aku itu nggak berniat ngapa-ngapain kok di luar rumah. Mengapa ayah mesti khawatir?”

“Ya, mungkin saja ayahmu khawatir ada orang-orang jahat yang menjahatimu kalau kamu keluar rumah sendirian. Zaman sekarang ini ‘kan penjahat bergentayangan di mana-mana lho, Ri.”

“Ah, nggak masuk akal, Din. Aku ini sudah dewasa, Din. Sudah sarjana lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri, InsyaAllah. Dan kalau memang ayah khawatir dengan keselamatanku seperti dengan yang kaubilang, mengapa tidak dari dulu ayah bersikap begitu. Mengapa justru waktu eSeMPe dan eSeMA dulu, aku dilonggarkannya keluar rumah. Padahal seharusnya di masa-masa itulah ayah melarangku keluar rumah. Dan seharusnya, sekaranglah ayah memberiku kebebasan itu karena aku sudah dewasa dan sudah sarjana, Din.”

“Iya juga, ya. Wah! Aku tambah tidak paham dengan jalan pikiran ayahmu, Ri. Ayahku tidak pernah bersikap begitu padaku, sih. Jadi, aku nggak ngerti. ”

“Jangankan kamu, Din, aku saja nggak bisa paham.”

Aku dan Dini terdiam. Kemudian, aku meneguk jus apel yang disuguhkan Dini. Sudah dua jam aku di rumahnya, tepatnya di dalam kamarnya dan kami tak tidak mendapatkan jawaban apapun dari pertanyaanku. Segala sakwasangka kami dari tadi malah membuat kami tambah tidak yakin dan kembali bertanya-tanya dengan perubahan sikap ayah.

***

Aku dan Dini hendak keluar dan jalan-jalan di taman kota siang ini andaikan saja ibu Dini tidak mengetuk pintu kamar dan mengatakan pada kami bahwa ada ayah di luar. Ayahmu datang menjemputmu, Ria, kata ibu Dini.

“Apa?! Ayah datang menjemput?”

Ibu Dini mengangguk. Aku memandangi Dini. Seorang gadis dewasa dan sudah sarjana, dijemput ayahnya di siang bolong seperti ini dan disuruh segera pulang? Aku menemukan kalimat tanya itu di gurat ketakpercayaan Dini. Ah, kalau saat ini bisa kupandangai sendiri wajahku di cermin, mestinya akan aku dapati pula raut wajah Dini di wajahku. Seletah berpamitan pada ibu Dini, aku pun mengambil tasku lalu melangkah keluar kamar. Di depan rumah Dini, ayah sudah menungguku di atas motornya dengan sebuah senyum manis menenangkannya yang tak pernah bisa kulawan.

***

Suara dua orang yang tengah bercerita dan suara televisi dengan volume netral di ruang keluarga, membuat telingaku terjaga dan hingga akhirnya seluruh inderaku ikut terjaga pula. Aku melihat bekerku. Pukul 01.14 pagi yang tertera di sana. Siapa yang ngobrol dan nonton TV di tengah malam begini? Kutajamkan pendengaranku. Dan,

Oh! Itu suara ayah dan ibu.

Aku membuka pintu kamar dengan pelan. Sangat pelan. Derit pintunya bahkan tidak terdengar. Di depan televisi yang menyala aku melihat ibu dan ayah duduk bersebelahan di atas sofa sambil nonton. Posisi mereka membelakangiku karena kamarku tepat di depan televisi itu. Mata ayah tidak lepas dari layar televisi yang tengah menayangkan permainan bolakaki Liga Inggris. Ayah memang sangat hobi dengan sepak bola dan ibu rupanya menemani suaminya nonton permainan olahraga kesukaannya di malam yang telah melewati tengahnya ini. Ketika timing permainan sepakbola babak pertama selesai, ibu membuka suara lagi setelah tadi obrolan mereka sempat terhenti.

“Tadi sore Ria curhat sama ibu, Yah.”

“Curhat? Curhat tentang apa, Bu?”

“Katanya semenjak dia pulang dari Makassar, ayah selalu melarang-larang dia keluar rumah. Dia merasa ayah seperti mengungkunginya di dalam rumah. Mau pergi kemanapun selalu ayah tanyakan: mau pergi ke mana, Ria? Dan kalaupun ayah izinkan dia keluar rumah, palingan dua jam kemudian sudah harus pulang lagi. Bahkan ayah datang menjemputnya seperti tadi siang di rumah Dini.”

Oh, Ternyata keluhanku sore tadi, ibu sampaikan pada ayah malam ini. Aku penasaran apa jawaban ayah. Aku pun melihat reaksi ayah. Beliau hanya diam.

“Kemarin itu Ria nanya sama ibu, Jum, dan Fiqri tentang perubahan sikap ayah. Kami jawabnya ayah tidak berubah. Ayah yang sekarang, sama saja dengan ayah yang dulu. Tapi rupanya kami tidak menyadari itu karena sikap ayah memang tidak berubah pada kami bertiga. Ayah hanya berlaku lain pada Ria saja. Sebenarnya ada apa, Yah? Mengapa ayah melarang Ria keluar rumah? Padahal waktu eSeMPe dan eSeMA dulu, ayah tidak begitu. Ria ‘kan sudah sudah dewasa. Sarjana pula. ‘Kok ayah malah melarang-larang dia keluar rumah? Ada apa, Yah?”

Ayah masih diam sambil menunduk. Lama ayah dikepung laku itu, sampai sejurus kemudian iya berkata,

“Ria itu anak perempuan kita satu-satunya, Bu. Dia sekarang sudah sarjana. Sudah dewasa. Yah, ayah tahu itu. Namun, justru karena dia sudah dewasa dan sudah sarjana itulah ayah harus membatasi kebebasannya keluar rumah seperti dulu. Dia mesti lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, Bu. Harus! Selama masih ada kesempatan, Ria patut berada terus di rumah ini. Ibu tahu mengapa?”

Ibu menggeleng. Aku semakin penasaran. Ayah melanjutkan kalimatnya,

“Ria harus menghabiskan waktunya di rumah selama masih ada kesempatan. Karena kita tidak akan pernah tahu, Bu. Mungkin besok, mungkin lusa, mungkin minggu depan, dan mungkin tak akan lama lagi, seorang lelaki asing akan datang dan akan sesegera membawa anak perempuan kita satu-satunya itu keluar dari rumah ini. Anak perempuan kita satu-satunya itu mungkin akan sesegera menikah, kemudian menjadi istri orang dan meninggalkan kita, Bu.”

Ibu tercekat. Aku juga tercekat. Mata ayah memandang kosong ke arah televisi. Aku menemukan embun bergelantungan di matanya yang memandang kosong itu. Aku beku di belakang celah pintu.

Oh ayah... Begitukah rupanya perubahan sikapmu?

Dan embun di mata ayah akhirnya berpindah di mataku dan di mata ibu, yang tak lama kemudian langsung berubah menjadi rintik-rintik hujan yang terdengar berjatuhan di genteng rumah kami di luar sana.

***

: Untuk para Ayah di seluruh dunia.

Makassar-Kampus Unmuh Malang, di Agustus yang telah tua, 2010.