Tentang Hari Tua

Rabu, 19 Januari 2011 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ragdi F. Daye
imuat di Majalah Sabili, edisi no. 11 th. XVIII 20 Januari 2011

Lelaki tua itu, Gaek Rusin, tidak datang shalat berjamaah ke masjid. Meski begitu, shaf depan paling tepi selalu kosong satu sebab orang-orang tetap berpikiran bahwa Gaek pasti datang, mungkin saja dia terlambat karena suatu halangan. Bila shaf pertama itu telah penuh—maksudnya kecuali satu tempat kosong untuk Gaek, dan biasanya amat jarang terjadi—orang-orang yang terlambat menjadi makmum lebih memilih membuat shaf baru daripada mengambil alih tempat yang telah disediakan untuk Gaek Rusin. Tetapi sampai imam mengucapkan salam, Gaek Rusin tak juga datang.

“Ada apa?” Seseorang bertanya.

“Mungkin Gaek sakit.” Sahut yang lain tidak yakin.

Beberapa orang yang lain menyangkal sebab masih melihat Gaek bekerja di ladang.

“Biasanya Gaek tak pernah absen.”

Orang-orang kampung yang baru selesai menunaikan shalat Isya berjamaah sama-sama heran dengan kenyataan itu. Biasanya Gaek Rusin adalah jamaah tetap yang selalu datang ke masjid bagaimanapun keadaannya; hujan, panas, mati lampu, air mati, atau badannya demam, batuk-batuk, pilek... Tubuh tuanya yang masih kuat karena selalu bekerja di ladang tak akan dilupakan orang. Bersarung bugis, baju gunting cina warna putih, dan kopiah hitam pudar di kepala. Gaek Rusin terpatah-patah bila bicara, tetapi bila bertahlil suaranya nyaring dan fasih, merintih sedih membuat orang-orang terhanyut dalam zikir.

“Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah! Laa ilaaha illallah!” Kepalanya akan bergoyang kiri-kanan yang akan diikuti anak-anak dengan tergelak-gelak riang.

Gaek Rusin tak datang-datang lagi ke masjid untuk sembahyang, tepatnya setelah Haji Karim meninggal dan dishalatkan setelah shalat Jumat. Gaek ikut menjadi makmum, namun Magribnya dia tak muncul, Isya juga tidak, Subuh esoknya pun tidak, juga Magrib esoknya, Isya esoknya, Subuh lusanya... beberapa hari kemudian Gaek Rusin ditemukan telah beku di ladang.

*

Tentu saja, Gaek Rusin tidak secara tiba-tiba saja mati dan tercampak di ladang. Sebelumnya dia telah sering bercerita banyak dengan istrinya yang bagi orang perasa akan dianggap sebagai isyarat kepergian. Istri Gaek memang ada mengira begitu, namun dia tak terlalu mempersoalkan, sebab baginya keajaiban apalagi yang paling masuk akal terjadi atas diri seseorang yang telah usang usia selain kematian?

“Aku telah menanam durian sebatang lagi.” Beritahu Gaek suatu malam sepulang dari masjid pada sang istri yang juga sudah tua. “Fauzi suka sekali buah durian. Kau ingat ketika dulu dia pernah mendemam dua hari dua malam gara-gara kebanyakan makan durian dengan ketan?” Gaek terkekeh-kekeh sampai tersedak. Giginya tanggal hampir semua.

“Iya, engkau terlalu memperturutkan maunya, sudah jelas dia habis makan rambutan banyak-banyak. Tak tahulah aku kalau dia sampai makan buah manggis pula, mungkin tak akan pernah dia menjadi pejabat...”

“Di dekat banda garosong telah kutanam empat batang alpukat, itu buat Azra.”

“Ohya? Dia memang berhantu benar pada alpukat, itu yang membuat otaknya pintar.”

“Tapi alpukat membuat mata mengantuk.”

“Tapi nyonya-nyonya sekarang dan anak-anak gadis menjadikannya lulur untuk kecantikan.”

“Kau dulu juga memakainya?”

Istri Gaek menepuk pipi lelaki tua itu yang sudah lisut.

“Untuk Zulkifli telah kutanam ampalam di dekat kolam. Dia suka sekali yang masam-masam.”

“Tapi ladang itu sudah penuh.”

“Biar saja.”

“Tapi durian, alpukat, dan palam-palam yang sebelumnya ditanam buahnya sudah melimpah tak termakan.”

“Biar saja.”

“Lalu untuk Imah?”

“Hahaha, dia anak perempuan. Kutanam batang surian untuknya.”

“Batang surian? Itu tak bisa dimakan.”

“Buat bantu-bantu kayu api dan pembuat kasau rumahnya.”

Istri Gaek Rusin tersenyum kecil. “Apa yang kautanam untukku?”

“Untukmu?”

“Ya.” Perempuan itu memilih-milih rimah nasi yang tercecer di lapik pandan. “Kunyit, sipadeh, langkuweh, serai, ruku-ruku, dan daun salam lagi untuk masak sambal buatmu?”

“Ya, ya, tentu. Kau sudah lama tak membuatkanku sampadeh limbek.. ceps...ceps.. ceps..” Gaek berdecap-decap. “Nanti akan kucoba menahan lukah di bawah titian, untung-untung masih ada ikan limbek di sana.”

“Jadi benar, hanya itu yang kautanam untukku?”

“Tentulah, Rubana Sayang, Anak Rang Kayo Gadang dari Parak Gadang.” Gaek Rusin terkekeh-kekeh. Istrinya merajuk. Cemberut. Gaek Rusin menyungkupkan kain lap tangan ke kepala istrinya, membuat perempuan gemuk keriput itu merentak-rentak dan Gaek tertawa makin riang. “Oho, tenang! Aku telah menyiapkan sepetak tanah di ladang. Telah kutanami sekelilingnya bunga tanjung dan batang-batang jarak serta puring emas. Untuk kita.”

Air mata istrinya seketika berderai. “Tapi Zulkifli tak pulang-pulang. Juga Fauzi dan Azra. Halimah pun tak pernah mencogok.”

Gaek Rusin kontan termenung.

“Kalau aku yang mati dulu, syukurlah, ada engkau yang akan mengurus. Tapi bila engkau yang dulu, siapa yang akan menyalatkan?”

*

Dan kemudian di wajah Gaek Rusin hanya ditemukan mendung. Tak terdengar lagi dia bertutur dengan bersemangat tentang kisah-kisah dalam Tambo atau pengalaman serunya di masa Bagolak. Gaek jadi sering tercenung. Bisu mematung. Setiap akan berangkat ke ladang, sikapnya seperti orang yang akan pergi tak kembali. Raut risau dan tertekan. Bila pulang dari ladang dia begitu jerih seperti baru selesai kerja rodi.

Puncaknya adalah Jumat itu sepulang mengantar jenazah Haji Karim ke pandam pekuburan. Mukanya pias berkabung. Dia tak ke ladang sore harinya. Hanya termenung di belakang rumah. Menatap kosong batang-batang jambu paraweh dan saus yang buahnya berjatuhan terbuang. Tak ada lagi anak-anak yang bergelayut berebut buah-buah ranum. Di seruas dahan jambu ada seutas tali sisa ayunan puluhan tahun silam.

Gaek Rusin terkenang lengking tawa anak-anaknya. Ayunan yang berkelebat. Bedil-bedil pelepah pisang. Semburan biji jambu paraweh. Ribut pertengkaran. Cekikik Halimah dan Azra mandi hujan. Fauzi yang suka bernyanyi dendang sambil memanjat dari cabang ke cabang. Zulkifli yang pernah diikatnya di pangkal batang saus karena ketahuan mencuri uang...

Istri Gaek Rusin telah berdiri di belakang lelaki tua itu dengan tak kalah murung. Gaek Rusin tahu tapi tetap menatap ke depan. “Tadi anak Haji Karim yang menjadi imam.”

Istrinya menghela napas. “Aku telah minta tolong pada Roby anak Si Tini untuk menulis surat pada Fauzi, Azra, dan Zulkifli, juga Halimah. Aku menyuruh mereka pulang.”

*

Bukankah telah belasan atau berpuluh kali mereka mengirim surat dengan bantuan anak-cucu tetangga? Hasilnya nihil. Jangankan batang hidung mereka, surat balasan pun tak tiba. Mereka telah pergi seperti batu jatuh ke lubuk. Hilang.

Setelah shalat Subuh yang begitu lama di lantai rumah disertai air mata, Gaek Rusin pamit pada istrinya pergi ke ladang. Istrinya memasukkan botol air minum ke dalam tas pandan rajutan beserta pisang rebus, tetapi Gaek menolak.

“Hari ini aku puasa,” Katanya.

Pagi remang-remang. Dua orang tua saling memandang.

“Jadi kau antarkan beras dan uang zakat kepada garin masjid?”

Istri Gaek Rusin mengangguk.

“Durian Fauzi yang dekat pagar telah berbunga kembali...”

Istri Gaek Rusin menekur.

“Di dahan ampalam telah bisa dipasang buaian...”

Istri Gaek Rusin menyusut ingusnya yang meleleh dari hidung.

“Ladang kita begitu subur dan indah.”

“Aku akan membuatkan sampadeh untukmu.” Istrinya berbalik ke dapur. “Janganlah pulang terlalu petang.”

*

Petang sebelum matahari hilang, seorang penjerat burung menemukan Gaek Rusin telah beku di dekat sebuah lubang di ladang yang dikelilingi anak bunga tanjung, batang jarak, dan puring-puring emas yang belum lama ditanam.[*]