Arafah Bak Padang Masyhar

Minggu, 05 Desember 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Pipiet Senja
Dimuat di Republika, 28 November 2010

Setelah tiga hari tiga malam berada di Makkah, rombongan haji pun disiapkan untuk menuju Arafah. Sejak saat ini, catatanku agak eror. Kadang kuisi, tapi lebih banyak blank-nya. Sebab, aku lebih fokus kepada kesehatan dan pelaksanaan rukun-rukun hajinya. Hampir tak ada kesempatan untuk menulis berbagai peristiwa yang kulakoni. Jadi, aku berusaha keras untuk mencatatnya di memori otakku saja.

"Inilah prosesi haji yang sesungguhnya.

Alhamdulillah, musim haji ini adalah Haji Akbar, pahalanya ratusan kali lipat dari haji biasa."

"Sesungguhnya, rukun-rukun haji itu terdiri dari ihram, wukuf, thawaf ifadah, sai, tahalul atau bercukur, dan tertib." "Inilah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan. Bila salah satu tidak terlaksana, ibadah hajinya tidak sah."

Saat itu tepat 8 Dzulhijjah. Kendaraan mulai bergerak meninggalkan Makkah menuju Mina, lalu dilanjutkan ke Arafah, tempat jamaah melakukan wukuf. Arafah terletak di luar Kota Makkah, sekitar dua mil. Jamaah pria kembali mengenakan baju ihram. Ibu-ibu berbusana serba putih. Larangan berihram pun dikenakan dan berkali-kali diingatkan oleh para muthowif.

Jamaah haji yang diangkut oleh bis dua--kami menyebutnya rombongan Sofitel--agaknya lebih dahulu tiba di tenda Mina. Mereka bisa leluasa mencari tempat atau sudut yang diinginkan, bahkan dapat mengangkat koper kecilnya masing-masing. Rombongan Intercontinental harus rela mendapatkan sudut-sudut yang tersisa. Aku bahkan tak mendapatkan sudut yang bisa bergerak leluasa, selain sebidang lajur sekadar untuk bisa meringkuk, tanpa alas yang empuk selain hamparan selimut di antara deretan kasur. Nah loh, bisa dibayangkan tidak, Saudara? Intinya, ini sisi yang sesungguhnya tidak nyaman sama sekali.

Tak mengapa, tidak hanya diriku sendiri, ada dindaku Sari dan Euis Muharom menemani. Lagi pula, banyak juga jamaah yang tetap memelihara rasa kepeduliannya untuk berbagi dalam hal apa pun. Mungkin ini yang terbaik dan inilah rezekiku. Demikian Allah SWT menjamu diriku. Segera kuperbanyak zikir dan berdoa, ku bergegas ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan kudirikan shalat sunah taubat. Sungguh, aku merasa takut sekali akan azab-Nya.

Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu yang lemah ini dari azab dan siksa-Mu. Sembunyikanlah segala aib dan dosaku. Demikian kutasbihkan dalam hati. Sekitar pukul sembilan malam, kurasa semua jamaah Cordova telah memasuki tenda. Di sini mulailah aku menyaksikan sifat aslinya, sejatinya karakter manusia, dan topengtopeng pun berlepasan sudah.

"Pssst, ingatlah jangan bergunjing, Saudariku. Kita sedang berihram."

"Alah, Teteh ini ngapain sih paspes-paspes mulu dari tadi. Dikasih tahu sekali juga gue paham!" "Ini punya siapa sih gede banget tasnya? Dikata kemping sebulan!" "Woooi, mana tisu basahnya?" "Sini ada, men! Jangan malu-malu deh, entar malah jadi malu-maluin!" Kulihat dindaku Ennike terperangah hebat, menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam perlahan, "Ya Allah, Teteh, kenapa pake cay-coy, man-men segala tuh bahasa?" "Iya Dinda, prokem aming," tak terasa mulutku pun terkuak tiba-tiba. Begitu menyadari, buru-buru aku mengucap istighfar. Aku tak berhak mencela, sebab seperti itu pulalah bahasaku jika sedang bergaul ria dengan putriku. Mungkin saja, mereka melakukan hal itu sebagai penghilang stres. Prosesi haji ini memang sungguh menguras pikiran, lahir batin, jiwa, dan raga.

Jika mental kita labil, niscaya bisa dipastikan bakal stres.

"Selama menjadi dokter haji, banyak sekali kutemukan jamaah yang mendadak gila," kata dokter Erry, dokter rombongan yang jelita dan sangat modis itu.

"Hah? Mendadak gila bagaimana, Bu Dokter?" "Yah, stres hebat, gila dalam tanda kutip!" `Kepala Suku' memberi tahu bahwa rombongan akan bergerak kembali pada pukul dua belas malam.

Mendengar hal ini, suara-suara mendadak berhenti total, kemudian semuanya berusaha untuk merehatkan badan.

Dendang batuk pun mulai terdengar secara serempak bagaikan paduan suara ajaib tengah malam di Maktab 110, pertendaan Mina.

"Gimana nggak, bikin batuk. Lha wong tendanya selama setahun ditutup. Musim haji baru dibuka kembali, mungkin gak sempat dibersihin," seseorang menjelaskan tanpa diminta. Kucermati memang ada banyak kotoran berupa debu dan seperti kapas-kapas kecil beterbangan dari arah kipas angin. Jangankan bagi ibu-ibu sepuh, semuanya tak terkecuali terserang batuk dan beberapa sesak napas. Kurasa, asmaku pun bisa kumat.

Ustaz Satori sering bergurau tentang batuk ini, "Semuanya dipastikan terserang batuk, kecuali unta."

Selama berhaji, bukan hal yang aneh dan patut dicemaskan secara berlebihan apabila jamaah terserang batuk. Di sinilah kembali muncul jurig songong itu.

"Alhamdulillah, sampai saat ini aku sehat-sehat saja, bahkan batuk pun cuma sedikit," sahutku ketika beberapa pengurus meluangkan waktu mendatangiku dan mereka menanyakan kondisi kesehatanku.

Pada tengah malam, rasanya hanya sekejap bisa rehat. Ternyata kami disiapkan untuk berangkat lagi.

Suasananya sungguh terasa heboh, kisruh, dan luar biasa crowded.

"Kalau tidak lebih awal jalan, khawatir lalu lintasnya terlalu padat dan kita terhambat sampai di Arafah.

Targetnya kita bisa shalat Subuh di tenda Arafah," terang seorang muthawif menyikapi suara-suara protes.

Di tengah cuaca yang sangat dingin serasa menyengat pori-pori kulit, kami bergegas kembali menuju kendaraan. Meskipun bajuku sudah dirangkap sampai tiga-empat, tetap saja masih terasa dingin.

Tambahan anginnya lumayan kencang, meskipun bukan puting beliung. Cuaca di kawasan Mina tidak bisa diprediksi, awalnya cerah dan panas mendadak banjir bandang datang.

Air bah pun tanpa ampun melumat seluruh kawasan tenda, bekas mabit sebagian jamaah Indonesia.

Beruntung tidak harus menanti lama, kedua bis pun muncul. Serta merta kami bergegas menaikinya. Kusadari batukku dan rasa gatal di tenggorokan semakin meningkat dan mulai serasa menyiksa pula. Kepala berdenyaran, telinga berdenging tak keruan, ditambah agak demam, air mata bercucuran nyaris tanpa henti. Entah air mata apa pula ini. Walaupun telah menelan obat batuk pemberian dokter Erry sepanjang perjalanan menuju Arafah, batukku kian gencar saja. Suasana lalu lintas tengah malam itu ternyata sungguh padat. Kendaraan berbagai jenis campur-baur dengan orang-orang yang berjalan kaki. Manusia entah kaya atau miskin, semuanya saja sudah tak peduli bagaimana pun caranya mereka lebih suka bermalam di kawasan antara Mina dan Arafah.

"Bagaimana kita mengambil batu-batuannya, Ustaz?" tanyaku kepada muthawif Fauzi saat teringat tentang Muzdalifah.

"Tenang sajalah, Bu Pipiet. Kita sudah menyiapkannya," sahutnya meyakinkan.

Aku belum mengerti, lalu kutanya kembali, "Maksudmu, kalian akan mengambilkannya untuk jamaah. Begitukah Ustaz?" Fauzi hanya mengangguk sambil tersenyum.

Dini hari kami tiba di kawasan Arafah. Tenda-tenda telah didirikan dengan berbagai panji dan bendera travel dari Indonesia. Rombongan kami memiliki tenda yang dikhususkan untuk wukuf dan sebuah mushola yang nyaman dengan penyejuk ruangannya.

Akhirnya, banyak juga jamaah dari travel lain yang ikut bergabung mengikuti program wukufnya rombongan kami, di bawah pimpinan Ustaz Satori.

"Subhanallah, tendanya indah sekali, yang paling depan itu, ya," komentarku saat melihat tenda sebuah travel Indonesia yang tarifnya termahal.

Kutahu hal ini ketika bertemu dengan salah seorang jamaahnya, seorang ibu muda di Masjidil Haram. Ia mengaku berhaji bersama suami dan dua orang anaknya. "Berapa?" tanyaku ingin tahu.

Jamaah travel yang terkenal sering membawa para artis, seleb, dan elite politik itu menjawab dengan ringannya, "Hanya 110 juta saja kok, Bu."

"Apa? Berempat totalnya jadi 440 juta, ya?" seruku tertahan. Ia mengangguk mantap. Dengan naifnya aku malah bilang lagi, "Maaf yah, Bu. Kira-kira sebanyak apa tuh uang hampir setengah milyar begitu?" Pastinya, aku tampak bloon banget. "Kalau ditambah lain-lainnya buat persiapan walimatus safar dan oleh-oleh, semua lebih dari 900 juta, Bu." Tukasnya.

Mataku niscaya melotot hebat. Mulutku membentuk, "Oooo!" Panjang sekali. Kemudian kulanjutkan, "Begitu yah, hampir satu M! Bisa buat sekolah anak miskin segitu mah, Bu."

"Ah, Ibu ini ada-ada saja!" sahutnya sambil tertawa renyah. "Masing-masing kan sudah ditetapkan rezekinya oleh Sang Khalik." Nah, siapa bilang bangsa kita miskin? Itu sungguh tidak benar. Setidaknya, bagi para jamaah ONH Plus, kecuali diriku ini yang diberangkatkan gratis, tentunya.

Tenda untuk jamaah kami pun bagus dan nyaman di areal Arafah ini. Beberapa saat kami bisa rehat, melempangkan punggung. Tapi, banyak juga yang langsung bergelimpangan tidur di kasur busanya masing-masing.

Baru saja kurebahkan tubuhku, tiba-tiba kusadari bahwa aku tak mampu bersuara lagi. Beberapa kali aku berusaha keras memperdengarkan suaraku, tapi tidak bisa! Bahkan, aku sampai sengaja berteriak-teriak hingga keringat membasahi sekujur tubuhku.

Lenyap, benar-benar suaraku menghilang, ya Rabb?

Beberapa jenak aku pun hanya bisa bengong, tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan tatapan hampa kulayangkan mata ke deretan para jamaah. Mereka sedang tertidur lelap. Aku merasa sangat sedih sendirian di Arafah dan tanpa suara.

Seketika berbagai gambaran menakutkan bermunculan di benakku. Dalam sepuluh tahun terakhir, selain menjadi penulis lepas aku pun sering diundang untuk workshop dan seminar kepenulisan. Tanpa suara aku takkan pernah bisa menjadi pembicara lagi, menularkan virus menulis ke seantero negeri. Waduh, ini sungguh gawat! Aku lalu bangkit dengan rasa pedih tak teperi, terhuyung-huyung kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Ya, aku harus segera mengadukan ikhwalku ini langsung kepada Sang Pemilik Suara. Suasana di kamar mandi masih sepi, tak ada orang selainku yang akan mengambil air wudhu dengan sangat khidmat. Meleleh air mata penyesalan dan rasa bersalah atas dosa di masa silam. Segala khilaf melembayang di tampuk mataku.

Aku kembali ke tenda, mendirikan shalat taubat, dilanjutkan dengan tahajud, dan berzikir secara terusmenerus. Sehingga, kurasa ada semacam aliran hangat ke dalam dadaku menyemburat terus ke leher. Aku terus tertunduk dalam bisu yang suwung. Ketika seorang jamaah di sebelah menanyakan jam, seketika mulutku terbuka untuk menyahut. Suaraku muncul, meskipun sangat parau dan niscaya terdengar buruk sekali. Tak mengapa, yang penting suaraku telah kembali.

Alhamdulillah, ya Rabb, sungguh Engkau Maha Pengasih! Aku berlari kembali ke kamar mandi. Kali ini untuk buang air kecil. Tak disangka, begitu keluar dari areal kamar mandi, ndilalah, (lagi) aku nyasar. Beberapa saat aku hanya mondar-mandir, bolak-balik mencari tenda Cordova. Otakku kembali nge-blank, tak tahu peta dan arah, ampyuuun! "Teteh, kulihat dari tadi bolak-balik saja di situ, lagi ngapain sendirian?" Mas Ton, suami dinda Ennike, tibatiba menghampiriku.

"Iya nih, Mas Ton. Pssst, jangan bilang-bilang, aku ini sebetulnya lagi tersasar," jawabku dengan suara yang masih timbul tenggelam, perpaduan antara sakit tenggorokan dan kecemasan tak bisa kembali ke rombongan.

"Ya Allah, Teteh aya-aya wae atuh! Ayo kutunjukkan jalannya!" Mas Ton menahan tawanya. Ternyata jalan itu pula yang sejak tadi ada dua-tiga kalinya kutempuh, bolak-balik tak keruan. Kulihat panji-panji dan terutama bangunan mushalanya yang indah itu.

"Jangan bilang-bilang, yah. Malu ah!" pesanku kepada bapak dua orang anak itu dengan nada berseloroh. Pada kenyataannya, mulutku sendirilah yang menggelontorkan soal sasar-menyasar ini kepada beberapa sahabat jamaah. ***