Sesungguhnya Saya Sedang Kasmaran
Minggu, 08 Agustus 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Karya, Sabtu, 7 Agustus 2010
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran! Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Menahan hawa nafsu.
Mereka harus belajar tak makan-minum seharian. Memaknai bahwa rumahtangga sejatinya bangunan kerontang. Ia bukanlah supermarket yang bernama kebahagiaan. Ia adalah gudang makanan yang kosong dari persediaan. Mereka bukan harus mengambil darinya, namun justru mengisinya, untuk dibawa ke kapal asmara yang sudah ditaut di pelabuhan cinta. Mereka makan ketika dibutuhkan, mereka minum ketika haus saja. Makan pun taklah boleh terlampau banyak.
Tak elok kekenyangan. Alih-alih membuat badan bertenaga, alih-alih menambah semangat bekerja; namun justru membuat rasa malas kian betah. Minum pun jangan sampai membuat perut kembung. Alih-alih menghilangkan haus, namun justru menyebabkan sakit perut. Ya, makanlah sebelum lapar, dan minumlah sewajarnya. Maka, rumahtangga akan dirasai sebagai bahtera yang lunas berlayar bila sesiapa yang ada di dalamnya mampu mengatur persediaan makanan dengan baik, mampu menggunakannya secara tak berlimpah.
* * *
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran!
Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Menahan hawa nafsu.
Mereka harus belajar tak melampiaskan amarah seharian. Memaknai rumahtangga sejatinya kebahagiaan yang diciptakan. Mereka harus sabar menenggang segala salah, silap, dan dosa, yang sangat mungkin dilakukan oleh masing-masing pihak, lalu melukai masing-masing pula, lalu bersemayamlah tungku kebencian yang awalnya adalah kesal-kesal manja, lalu tanpa disadari masing-masing menyiramnya dengan minyak kecemburuan, lalu mereduplah api asmara karena dilumat bara asmara yang menyala-nyala (benci menjadi dengki, cemburu menjadi ragu). Bila tak segera dimatikan, maka rumah kebahagiaan hanya tinggal impian. Bila tak ingin menghadapinya, keselarasan berumahtangga bagai jempol dalam isapan. Maka, bila mencintai, cintailah sekadarnya. Bila membenci, bencilah sekadarnya.
* * *
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran! Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Memaknai waktu mengolah amanah.
Mereka harus belajar tak membuang waktu percuma di malam punai. Memaknai bahwa berumahtangga sejatinya tentang kecakapan mengolah amanah. Maka, mereka bertadarus. Mengaji bersama-sama. Menyelesaikan juz demi juz. Mengkhatamkan Al Qur'an. Semuanya tak hanya dianggap sebagai lelaku jamaah. Lebih dari itu, mereka memaknainya sebagai tanggungjawab yang menyenangkan. Bila kehidupan rumahtangga sudah diserakkan oleh onak dan duri, mereka memungutnya. Bersama-sama.
Ya, percintaan adalah kitab suci dengan halaman tak berbatas. Mereka mesti membacanya bila ingin merayu Tuhan agar Dia senantiasa melimpahkan karomah. Mereka akan selalu mengkajinya demi melunaskan penasaran; kapan juz 30 berlabuh?.
Selalu. Sampai bila-bila. Karena mereka tak tahu, di mana surat Al Ikhlas bersemayam demi melafalkan kalimat bahwa Ia Mahabenar dengan Segala Firman. Mereka akan tahu bila tiba-tiba Israil tersenyum dan bilang, "maaf, sudah saatnya kalian pulang" dengan santun dan suara yang halus. Ketika itu mereka tiba-tiba berada di lembar terakhir mushaf. Mereka tutup Al Quran. Tadarusan tunai.
* * *
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran! Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Mengeja cinta dengan berbagi.
Mereka harus belajar tak membuang waktu percuma seharian. Memaknai bahwa berumahtangga sejatinya tentang memberi. Mereka bayar zakat. Mereka perbanyak sedekah. Tentu mereka tahu, betapa masih banyak anak-anak jalanan, janda-janda fakir, dan orang-orang papa, yang terlantar, yang kehadirannya bagai disengaja Tuhan untuk melihat apakah mereka bersedia memberi atau tidak sama sekali. Maka, berumahtangga bukan hanya usaha menggunungkan kebahagiaan. Namun juga usaha mengikisnya perlahan-lahan. Memberikan sebagian kesemringahan agar yang lain jua merasakan nikmatnya kehidupan. Gunung takkan menjadi lembah bakda meletus, bukan? Kebahagiaan takkan sirna ketika berbagi, bukan?
* * *
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran!
Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Memaknai waktu sebagai lembaran obituari.
Mereka harus belajar mengingati diri. Bahwa hidup akan bermuara pada pilihan yang dimaklumatkan jauh-jauh hari. Jannah atau jahim. Surga atau neraka. Mereka mengunjungi rumah-rumah mungil yang ditandai papan atau batu kembar. Di sana, di peraduan anggota keluarga mereka (atau juga teman dekat mereka) yang telah menyatu dengan tanah, dengan semua peritabiat yang sedikit-banyak diketahui, mereka akan mengira-ngira; ketika Munkar-Nakir menanyainya tentang Tuhan, rasul, agama, kitab suci, kitab suci, apakah ia kuasa menjawabnya, atau justru gada-bara akan menghantam kepalanya! Maka, rumahtangga adalah titi untuk menggapai impian hakiki itu. Salah-salah melewatinya, akan terjerengkang di sungai api.
Ah, lupakanlah itu! Mereka memejamkan mata sejenak. Salah satu dari mereka pun melafalkan serentetan kata keramat yang telah dihafal mati-matian sebelum ketib, penghulu hadir di hadapan mereka berdua. Oh, bukankah sebuah kebahagiaan tak terkias ketika mendapati iman telah genap (hanya) dari sebuah pernikahan yang akan menunaskan keberkahan demi keberkahan dalam istana yang bernama keluarga? "Bagaimana saksi-saksi?" "Sah?" "Sah!"
* * *
Beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda lebaran! Mungkin lebih tepatnya kukatakan, beruntunglah orang-orang yang akan menikah bakda Ramadhan! Mereka akan menikah setelah melalui satu bulan penuh cabaran. Memperlakukan waktu sebagai amalan.
Mereka harus belajar tak membuang waktu percuma di malam punai. Memaknai bahwa rumahtangga sejatinya tentang kecakapan mengolah kemesraan. Mereka bertarawih di malam-malam yang senantiasa penuh berkah. Beribadah bersama-sama. Menikmati semuanya. Sebagaimana mereka mesti meyakini, mereka adalah pasangan yang akan bersama dalam waktu yang lama, sangat lama, selama-lamanya. Maka, bila merasa jenuh mengunjungi masjid kampung, mereka bersafari ke rumah Tuhan-rumah Tuhan yang lain di kampung tetangga. Bila mereka merasa bosan dengan kebersamaan yang berlaku selama ini, maka pergilah mereka ke tempat-tempat yang indah. Tempat-tempat di mana berbotol-botol air cinta siap dibawa pulang. Sesampai di rumah, mereka siram pohon-pohon kemesraan yang hampir layu dan mati.
Mereka pun menunggu sembari selalu menyiraminya. Berdua saja. Sambil tersenyum dan bercubit-cubitan mesra. Sampai akhirnya pohon-pohon itu berbuah. Biji-bijinya jatuh satu per satu. Bertunas-tunas. Tanpa mereka sadari ada yang berbeda setelah sekian lama:
"Ah, anak-anak kita sudah besar, ya!" ***