Cerita Yang Mencintai Yun Karena Yin

Senin, 23 Agustus 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas

Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu, 22 Agustus 2010

YUN membuka pintu. Yang berdiri di sana dengan senyum cerah. Di tangan kanannya, dua bungkus lontong tahu dijinjing dalam kantung plastik berwarna merah pias. Yun segera menyambut sarapan pagi itu. Membawanya masuk. Yang membuntuti. Setelah berbincang sekenanya, Yun segera ke belakang. Yang menunggu di meja makan.Tak lama, Yun sudah membawa dua piring lontong tahu, secangkir teh setengah manis, dan secangkir kopi pahit, dalam tatakan melamin. Yang meniup-niup kecil permukaan air kopi sebelum menyeruputnya. Terdengar suara derup-derup dari bibir hitam yang berkerut-merut itu.

"Bagaimana, Bang?" Yun baru memegang telinga cangkir teh yang masih mengepulkan awan-awan halus. "Pas rasanya?" Satu teguk teh berselancar di kerongkongannya.

"Hmmm...." Mata Yang berbinar. "Seperti biasa. Pahitnya mantap, Dik!" Ia seruput lagi kopi itu.

Yun semringah. "Ayo Bang, kita makan. Tak enak kalau sudah dingin."Disodorinya sepiring lontong tahu di atas meja, dua kilan dari wajah Yang.

Yang menyambutnya. Mulai melahapnya.

Suasana sarapan sangat hangat. Mereka menyelinginya dengan membincangkan banyak hal. Tentang rencana berbulan madu kembali ke luar kota (maklum, sudah enam tahun kawin tapi belum punya anak), tentang piknik akhir pekan ke lereng Bukit Sulap, tentang Yun yang akan segera berhenti bekerja sebagai pembantu di kediaman lurah, atau sekadar menderai canda kecil yang akan membuat para tetangga iri.... ai, sangat intim. Sangat mesra. Sangat indah.

Yang juga sudah berjanji bahwa ini adalah hari terakhir Yun mencuci, menyetrika, menyapu, atau (bisa saja) memasak sekalipun. Yang sudah mencarikannya pembantu.

"Namanya Yin, Dik. Dia lima tahun lebih muda dari kau. Jangan pula kaupikir aku akan tergiur olehnya. Kautahu, sekujur tubuhnya bebercak putih karena kulit yang mengelupas. Kabarnya, ia pernah hampir mati terbakar di rumah majikannya yang lama. Jadi, mana mungkin aku silap dengan gadis buruk rupa.Pembantu pula!" Yang tertawa sambil menggelengkan kepala.

Yun mencubit pinggang Yang. "Ya, ya, ya, percaya aku, Bang!"

Yang nyengir. "Lagipula siapa yang dapat mengalahkan kecantikanmu, Dik."Yang menyentil kuncup dagu Yun.

Yun tersipu. Matanya berkedip-kedip. "O ya, Abang juga mau berhenti minum, kan?" Dibenahinya kerah kemeja lusuh Yang.

"Tak mungkinlah, Sayang."

Daging kening Yun bersilipat. "Kok...?" Yun mendongak. Menatap mata Yang yang masih semringah.

"Tak mungkinlah, Sayang." Dielusnya rambut Yun yang tergerai. "Bila berhenti minum, keringlah kerongkongan. Matilah Abang....!" Yang ngakak. Pun Yun.

"Apalagi melahap sambal cong racikanmu. Hmmm..., tak tahan pedasnya! Tentulah harus minum Abang, Dik!" Yang mengitari Yun. Ia peluk Yun dari belakang. Segera Yun gamit kedua tangan suaminya yang kini melingkar di pinggangnya itu. "Iya, Dik. Takkan Abang mabuk-mabukan lagi...."

Perasaan Yun riang nian. Air mukanya merah buah ceri. Adakah yang lebih menenteramkan selain memiliki pujaan hati yang memenuhi semua pinta? Dan ketentraman itu makin terasa karena sebelum hari ini, Yang adalah laki-laki yang kasar.Suami yang kasar.

....

Sebenarnya Yang laki-laki yang baik, suami yang bertanggungjawab. Demikian kerap Yun membela Yang ketika para tetangga kedapatan menggunjing suaminya itu. Pembelaan itu bukan tanpa alibi. Yanglah yang menyelamatkannya dari gerombolan berandal yang hendak memerkosanya beberapa tahun silam. Walaupun bakda itu Yang menolak dikatakan berjasa atas masih terjaganya kehormatan Yun.

"Kukira kau wanita itu. Ternyata hanya mirip," ujar Yang setengah berteriak ketika Yun mengucapkan terimakasih kepadanya.

Yun tak bertanya lebih jauh siapa wanita yang Yang maksud. Sebagai gadis tanpa karib yang menyeberang pulau; lari dari rumah karena tak ingin dijodohkan, Yun merasa Yang adalah laki-laki yang lebih layak menjadi pelindung dibanding Midin, juragan sapi yang sudah beristeri tiga, yang disodori orangtuanya.

Yun bersikeras meminta Yang mengajak ke kediamannya. Yang tak hirau. Namun,akhirnya luluh pula ketika Yun menceritakan semuanya.

"Aku cuma preman. Tak malu kau berkawan denganku?"

Yun menggeleng.

"Maksudku, walaupun preman, aku tinggal di kampung orang beradat. Jadi, kaupaham, kan, maksudku?"

Entah, keberanian dari mana yang menyambangi, Yun tiba-tiba mengatakan (mungkin "menawarkan" lebih tepatnya) hal itu. Yang terkesiap. Namun, siapa yang kuasa menolak gadis cantikserupa kekasih yang baru saja pergi?

Demikianlah asalmula rumahtangga Yun-Yang. Maka, dimaklumkanlah bila Yun kerap bersitegang dengan sesiapa yang, menurutnya, sok tahu tentang Yang. Bahkan, Yun lebih kerap berkoar pada diri sendiri, melawan hati kecilnya yang seolah tak lelah membingar: "Sudahlah, Yun. Apalagi yang kauharap? Takkah lebamdi sekujur tubuh sudah cukup membuatmu sulit melupakan kebejatan Yang?!"

Lalu, apakah utang budidapat membuat seseorang menjadi setia-buta? Yun memang seperti tak peduli tabiat buram Yang: kerap mabuk-mabukan di Pasarpucuk, memukul-menendang tubuhnya, main serong (kabar yang paling santer: dengan Yin). Tentang Yin, saking tak pedulinya, Yun tak pernah tahu seperti apa nian perempuan itu.Dan hari ini, terjawablah semua. Yun senang tak kepalang. Yang baru saja bilang kalau Yin bukanlah gadis yang layak dirisaukan. Ya, Yun paham sampai keputih-tulang kalau selera suaminya cukup tinggi terhadap wanita.

Diam-diam, Yun kerap memerhatikan lekuk tubuhnya di cermin. Memang, ia tak seramping ketika baru menikah dulu. Daging lengan, pinggang, dan lehernya, sudah mulai menggelambir. Namun, satu hal yang tak terbantahkan. Pendar-pendar kecantikan di wajahnya belum pudar. Lesung pipit masih tertitik di sebelah pipi. Rambutnya masih hitam tergerai; saban Ahad masih rajin ia keramasi dengan lendir lidah buaya dan sari jeruk nipis. Dadanya masih membusung; tak banyakmengendur seperti wanita yang sudah kawin kebanyakan. Jadi, manalah mungkin pembantu buruk rupa itu akan membuat Yang takluk!

"Dik, Abang bawa hadiah untukmu. " Yang memberikan dua kantung plastik besar pakaian. Entah dari mana ia mendapatkan itu. Perasaan Yun, ketika masuk rumah tadi, Yang tak membawa apa-apa selain dua bungkus lontong tahu. Namun tanya itu segera menguap ketika menyadari apa yang diberikan Yang kepadanya.

"Pakaian sebanyak ini sengaja Abang beli untuk kau, Sayang," ujar Yang demi memerhatikan Yun yang terperangah gembira dengan pemberiannya.

Yun masih terperangah ketika Yang mengatakan bahwa memang sepatutnya ia menyenangkan isterinya hari itu.

"Hari ini kau genap 30 tahun, kan, Dik?" Yang menatap mata Yun yangberbinar-binar.

"Ya Tuhan, seumur hidup, baru kali ini hari lahirku dirayakan, Bang!" MataYun berkaca-kaca. Bahagia-raya. Serasa tak percaya atas perlakuan istimewa yang ditujukan kepadanya.

Saking senangnya, Yun membuka kantung plastik itu serta merta. Merobeknya di beberapa bagian. Membuyarkan isinya. Pakaian-pakaian itu tumpah-ruah, menggunung di atas tikar dekat setrikaan. Baru saja ia hendak menyentuh sebuah rok merk terkenal, pintu diketuk seperti terburu-buru. Yun terkesiap. Bukan oleh suara daun pintu yang digedor dengan serampangan. Namun karena mendapati pakaian-pakaian baru hadiah itu telah menjelma menjadi tumpukan pakaian kering yang baru saja diangkatnya dari tali jemuran belakang. Matanya menyapu sekeliling. Bibirnya gemetar. Tubuhnya menggigil. Oh, gunungan pakaian yang belum disetrika, rumah yang belum disapu, makan siang yang belum dimasak, kamar yang belum dirapikan.... Yun dicengkeram ketakutan yang sangat.

Gegas ia ke belakang. Mengambil sesuatu dari dapur. Menyimpannya di balikpinggang. Menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu.

Krek!

* * *

BARU seperempat daun pintu dikuak, Yun terperenyak. Yang menggandeng seorang wanita yang tampaknya beberapa tahun lebih muda darinya. Oh, Yun tak perlu ragu untuk menyimpulkan kalau ia adalah Yin (walaupun tak ditemukan bakat-bakat bekas terbakar di beberapa bagian tubuhnya, apalagi wajahnya; oh,wanita itu sangat cantik, sangat mirip dengannya!).

Baru saja Yun hendak bertanya tentang wanita itu, botol bir murahan ditangan kiri Yang menghantam kepalanya. Oh, biru-hitamlah kini wajahnya—padahal belum hilang bakat ungu di pelipis karena digampar Yang dua hari yang lalu.

"Apa saja kerjamu malam tadi, hah?!" Yang membelalak. Kepala Yin masih menggelayut di sebelah bahunya. "Hendak kawin pula kau dengan Lurah Rojak?!" Bau sepat alkohol menghambur ke wajah Yun.

Malam tadi Yun memang tak sempat pulang dari rumah Lurah Rojak, majikannya di utara kampung. Sekitar 20 kilometer dari kediamannya. Pasalnya, hujan merajam tak alang kepalang, pohon-pohon teleng bagai habis menenggak berderum-derum bir, belum lagi rumah-rumah penduduk yang suram karena gardu di simpang pos ronda di sambar petir.... Selain keadaan alam yang tak memungkinkan untuk pulang, Yun pula tak singkuh menginap karena isteri majikannya ada di rumah.

Yun belum sempat berkata-kata ketika Yang menendang tumpukan pakaian yang belum sempat ia setrika.

"Pakaian-pakaian ini kautumpuk saja!" Yang menggamit Yin ke arah kamar. Tak lama, Yang muncul dari dalam kamar. "Kenapa tak kaurapikan ranjang tu, hah?!"

Gigi-gigi Yun bergemutukan. Dadanya turun naik.

"Atau kau tahu kalau Yin tidur denganku di sana malam tadi?!" Yang terbahak-bahak sembari menunjuk ke arah kamar. Yin tampak merapikan seprei dan baju-celana yang berserakan di sana.

Yun meraba belakang pinggangnya (sementara Yang meneriakinya agar segera memasak mie instan untuk dia dan Yin). Yun berkomat-kamit seolah melafal doa. Bagai meminta Tuhan memaklumi apa-apa yang akan dilakukannya.

"Kenapa? Kau tak senang?" Yang mendekatkan wajahnya ke wajah Yun. "Memangnya kau saja yang boleh tidur dengan laki-laki lain di ujung kampung..." Suara Yang tercekat. Bola matanyabagai mau meloncat.

Yin berteriak histeris. Terburu-buru ia menuju pintu depan. Sayang,langkahnya disenggal kaki kiri Yun. Yin terjerembab. Kepalanya terbentur lantai semen yang tak rata. Berdarah. Tubuhnya hanya sempat beberapa detik menggeliat, sebelum kedua kaki Yun menginjak-hantam lehernya. Yin kaku seketika. Tepat di samping tubuh Yang yang berdarah-darah.

Yun terbahak. Tawanya menggelegar. Membahana. Bagai mempersilakan orang-orang kampung mendatangi kediamannya. Menyaksikan keperkasaannya atas kuasa Yin dan Yang. Atas penindasan yang kapalan ia reguk....

* * *

YUN menyerahkan diri ke kantor polisi di kecamatan. Orang-orang kampung mengiringinya. Bukan, bukan meminta pihak berwajib menghukum wanita itu seberat-beratnya (sebagaimana tuntutan terhadap kasusserupa). Mereka hanya ingin membentang simpati.

Bukan salah dia, Pak Polisi. Kalau menjadi Yun, kami pun akan memelintir leher Yin dan menancapkan pisau ke ulu hati Yang!!! (*)

Lubuklinggau, 19 s.d. 24 Februari 2010