Surat-sajak yang Mengantarmu Pulang
Rabu, 03 Maret 2010 by: Forum Lingkar PenaDimuat di Jurnal Nasional 21/02/2010
1.
KAU pernah bergidik mendengar ombak yang bergemuruh; pucat oleh raungan halilintar; berdegup-kencang karena bumi bergemerutupan; gemetar menyaksikan angin yang memuting. Ah, itu tak ada apa-apanya, Kawan! Adakah yang lebih hebat dari rindu?
Ingin kusimpan surat itu bersama kelopak-kelopak mawar yang menebar bau harum yang khas; bila kau mengubah kata ”Kawan” di sana dengan kata ”Sayang”. Oh, dapat kubayangkan langit yang tiba-tiba memerahmuda; sehelai selendang sutra berwarna lembayung akan melingkar di bahuku; rambut sepinggangku akan berkibar-kemilau... lalu, aku akan terbang ke langit kedua. Sekadar duduk-duduk sambil menunggu mendung tiba. Keadaan yang mengundang para bidadari untuk turun ke bumi dan mandi di salah satu lembahnya. Tentu saja gadis-gadis cahaya itu akan melewatiku, dan aku pun dengan sesegera bergabung bersama mereka. Akan kuceritakan tentang sebuah tempat yang sangat elok untuk melengkungkan pelangi. Lubuk Nio, sungai yang berasal dari aliran air di bantaran Talang Rejo, lereng Bukit Sulap.
Aku yakin mereka akan terbuai, lalu turun ke bumi bersamaku dengan selendang yang dikepak-kepak. Aku juga akan sangat bahagia ketika kau benar-benar menunaikan kebiasaanmu menunggu Magrib sambil memancing di salah satu tepiannya. Aku hafal sekali kau biasa melakukannya di bawah pohon kam; mungkin menunggu jodoh dari Tuhan. Tak salah bukan, bila sekali-sekali kau mencuci matamu: melihat tujuh bidadari mandi dengan seorang perempuan seperti aku (anggap sajalah aku teman baru mereka).
Yang kutahu kau masih membujang? Apakah kau lebih mementingkan persahabatan kita, hingga keinginan berkeluarga pun terus kau tunda? Mungkinkah itu demi seseorang berambut panjang di Kota Ampera ini?
2.
BILA daun itu tautan, aku akan memberikanmu pepohonan. Bila air itu pelipuran, aku akan menghadiahimu lautan. Bila rindu itu kemilauan, aku akan membawakanmu bebintang. Bila persahabatan itu diriku, tidak berlebihan, bukan, bila kupersembahkan hatiku?
Alim, Alim. Dari hati yang paling dalam, sangatlah ingin diri ini menyambangi kampungmu yang juga tanah kelahiranku itu; ranah tempat kita dulu berkeriapan memapas debu dengan mobil-mobilan papan di salah satu tanganmu, dan boneka pelepah pisang di pangkuanku.
Apalagi surat yang baru saja kuterima ini, untuk kesekiankalinya membuat perasaanku berkebat-kebit. Kau memang pemuja bukti-bukti; bahwa gejolak dapat dikirimkan melalui liukan tinta di atas kertas HVS mangkak 68 kilogram‘”yang kerap kaugunakan untuk mengukir sajak-sajakmu. (Ah, seharusnya kertas-kertas itu menjadi santapan printer saban kau menyudahi beberapa sajakmu). Kau memang sahabat yang baik (semoga lebih dari itu). Sahabat yang tahu bagaimana sebuah gejolak dapat disambungrasakan melalui tulisan aslimu. Aku tersanjung‘”walaupun tak selayaknya itu kurasai.
Oh, benarkah tak selayaknya kurasai galau ini.
Semua belum tuntas. Aku belum merampungkan masalah itu: perihal harta gono-gini dengan Bang Markus. Dia sangat baik sebenarnya, tapi... apakah hanya itu syarat sebuah bahtera dapat berlayar jauh hingga ke pulau impian? Aku tak menyalahkannya, Lim.
Penyair atau bukan, itu adalah pilihan hidup yang menyangkut kebahagiaan pribadinya. Tapi... apakah seseorang yang bukan penyair dimahfumkan untuk tidak menebar kehangatan pada tulang rusuk kirinya?
Bang Markus adalah es, yang bila pun mencair hanya menumpahkan rasa dingin pada kebersamaan kami. Apakah hal itu menjadi sah-sah saja seorang laki-laki lakukan pada istri yang belum memberikannya keturunan?
Kau tahu, Lim. Sebenarnya aku telah memeriksakan diriku‘”maksudku rahim dan kesuburanku‘”secara diam-diam pada seorang ahli kandungan. Kau tahu hasilnya? Aku tak mendera kekurangan satu apapun untuk berketurunan. Namun... haruskah ini kusampaikan pada suamiku itu? Sedingin-dingin ia, ketika merasa terpojok perihal kelelakiannya, ia pasti mengamuk juga.
Kau tahu bagaimana tumpukan salju‘”sepanjang Bukit Siguntang‘”di Alaska ternyata memakan korban tak sedikit saban tahunnya? Bila gunung salju itu bergemuruh, maka pohon-pohon cemara dan rerumahan akan rontok-penyok, atau sekawanan pemain ski akan tunggang-langgang menyelamatkan diri sebelum lengkingan panjang menjadi pembuka penguburan mereka di ranah putih nan dingin tak tepermanai itu.
Dapatkah kaubayangkan bagaimana aku menjalani semuanya? Bila tak menenggang bahwa pernikahan itu adalah permintaan terakhir ayah sebelum ia berjazirah ke liang gulita, aku.... Oh, tak sanggup kulanjutkan catatan sepi ini, Lim.
3.
TAHUKAH engkau, mengapa Tuhan menciptakan ruang-ruang kosong di antara jemari kita? Karena suatu saat, orang-orang yang tulus menyayangimu akan memenuhi ruang itu dengan memegang erat tanganmu. Selamanya.
Entah ini surat yang keberapa yang engkau peruntukkan untukku. Andai kau tahu apa yang aku rasakan dulu dan kini benar-benar berbeda adanya, maka... masihkah kau akan merangkai metafora-metafora demi sebuah makna yang maha: kita saling menyayangi. Aku malu sendiri dengan kata yang terakhir itu. Agak risih. Kita tak halal satu-sama lain. Oh Alim, suatu saat aku akan ke Lubuklinggau. Aku akan merajut kedekatan itu lagi. Bukankah kau sudah merindukan suaraku yang melagukan Seroja ketika cintamu ditolak Aisyah dulu?
”Kau harus berpandai-pandai menganyam permainan, Lim,” kataku waktu itu. Engkau diam saja. Kau masih kecewa karena cintamu bertepuk sebelah tangan.
”Kau juga, Lim, tak memilah yang sekufu dengan orang-orang macam kita. Putri semata wayang Haji Mansyur! Bila pun Aisyah mampu kau jerat perasaannya, bukankah kau tahu kalau gadis itu sangat penurut pada abahnya? Takkah kau dengar desas-desus bahwa ia akan dipinang (atau dijodohkan dengan) Mustafa Hasyim, pemuda lulusan Gontor itu?
Sejak itu aku sangat sering menasehatimu agar sering ke masjid; belajar mengaji, dan mengurangi begadang di pos ronda dekat Jalan Lakitan.
4.
JANGAN terlalu mengharap ada yang berubah; seperti yang kumau, seperti yang kaupinta, seperti doa-doa kita. Karena pasti sebelumnya: Kita pernah saling menyayangi apa adanya.
Alhamdulillah, semuanya terselesaikan dengan baik. Aku tak lagi satu rumah dengan Markus. Dia sudah haram bagiku, begitupun aku atasnya. Ah, tak penting itu, Lim. Yang terpenting adalah kita harus membuat garis putih. Kejelasan sebuah jalinan: persahabatan atau nantinya akan mengerucut pada ikatan halal.
Aku baru menonton TVRI Daerah tadi pagi. Hebat ya kampung kita sekarang: diulas di tivi. Bukan tentang bajing loncat, gerombolan penodong di jalan lintas Sumatera; bukan pula tentang tujah-tujahan, tikam-tikaman pisau antarpenduduk; atau perkara ricuh di acara kawinan... tapi tentang sesuatu yang bisa melengkungkan senyum di wajah tirusku. Bandara Silampari akan mulai beroperasi (lagi) dalam waktu dekat. Walaupun hanya pesawat mini (begitu aku menyebut burung besi yang hanya bermuatan maksimal 10 orang itu), tapi paling tidak, aku tidak harus menempuh perjalanan delapan jam yang melelahkan via kereta api, bukan? Ya, aku akan ke Lubuklinggau bulan depan, membawa rindu yang sebenar sungguh!
Oh tunggu dulu! Tidakkah ada sesuatu yang sedikit ganjil? Maksudku, apakah kau memang tak tahu tentang bandara itu, atau memang kau belum mengetahuinya, atau kau tak ingin aku tahu.... Bukankah kau yang tinggal di sana?
Oh sudikah seorang jejaka berteman lagi dengan janda layu sepertiku?
Ah, lupakanlah itu, Lim. Akulah yang salah, seharusnya aku tak terlalu menganggap perjalanan Palembang-Lubuklinggau sebagai sesuatu yang melelahkan. Aku malu dengan sebaris sajakmu itu: ”Adakah yang lebih hebat dari rindu?”
5.
DAUN jatuh. Disapu pagi yang masih mengantuk. Kupu-kupu bersayap pelangi mengintip kuncup yang mekar diam-diam. Besok, daun akan jatuh lagi (?), berserakan di daratan yang dilalui Musi.
Tanggapan apa yang mesti kuberikan atas kata-katamu yang berkaki, tangan, sayap, dan menari-nari itu?
Sajakmu masih tetap sama seperti dulu. Bukan isinya maksudku, namun keindahan dan kekhasan pemilihan kata-katanya. Sungguh, semua itu membuatku seolah bercinta dengan mantra yang hidup dengan tiba-tiba!
Ah Alim, Alim..., kapan kau akan menuruti apa yang kusarankan dulu: Belilah handphone; kita dapat bercakap dan menulis pesan‘”atau juga sajak‘”dengan lebih leluasa. Lebih murah dan lebih cepat sampai pula. Tapi (kau tahu) aku tak (akan) memaksamu. Mmm... ya, aku yakin engkau tak bisa berkompromi dengan hal ini, bukan?
Alam itu adalah piranti kehidupan yang dapat memungkinkan semuanya, katamu dulu. Seperti dongeng atau film-film ala Saur Sepuh, beburung pun dapat saja menyambung maksud, katamu lagi. Ah, kau sangat unik, Lim. Unik. Ya unik. Itu bukan bahasa lain dari kuno. Aku takkan menyematkan kata yang biasa orang lain sematkan pada pola pikir dan kebiasaanmu yang anti-teknologi itu (setidaknya pada handphone).
Singkat cerita, aku tahu, kau akan tetap menulis surat-sajak dengan tanganmu. Apakah karena kau tak ingin ber-handphone? Mungkin. Walaupun dapat saja: ternyata kau menentengnya saban waktu untuk bercekakak-cekikikan dengan karib-karibmu (dan aku tak mampu mengendus itu). Oh, maafkan aku, Lim. Aku hanya mencoba bermain-main dengan praduga. Ya, aku percaya kau masih tetap seperti apa yang kaugambarkan tentangmu lewat sebuah surat-sajak; seperti seharusnya aku menyimpul ketakbiasaan hidupmu.
6.
LAKI-LAKI itu mematung di kamar. Ibunya seolah tiada memedulikan. Bahkan mulut wanita‘”yang sudah layak disebut nenek‘”itu hanya menyemburkan kata-kata yang membakar perasaan anak semata wayangnya saja.
”Inilah akibat menarik simpati istri orang. Kaupikirkanlah. Bukan kau saja yang masai. Lihat! Untuk apa wanita itu berpisah dengan suaminya bila pangeran yang dinanti pun tidak kunjung menyambanginya; membelai rambut; atau mengecup kening langsatnya... Lihat kau sekarang! Gayamu tak laki-laki sekali!!!”
Puihh! Sejak kapan Mak mahir bersajak?!
”Mengapa kau masih berdiam di depan tivi! Mau menangis kau setelah menonton berita itu?! Pergi sana! Jemput dan menikahlah dengan perempuan di puing pesawat itu!” Nenek tua itu makin ketus. ”Takkah kau ingin melihatnya untuk yang terakhir? Ingatlah, belum tentu apa-apa yang kau kira setatar denganmu adalah dia yang akan bersamamu mengayuh biduk hingga ke ujung daratan! Ini karma untuk kau yang rela meninggalkan Maimun dalam keadaan hamil tua! Jangan-jangan janda kanji dari Palembang itu juga menganggapmu masih ting-ting!”
7.
DAUN jatuh. Disapu pagi yang masih mengantuk. Kupu-kupu bersayap pelangi masih mengintip kuncup yang mekar diam-diam. Hari ini daun jatuh (lagi), berserakan di daratan yang dilalui Musi.
Ya, ia memang menyerak di antara mayat-mayat lain yang ikut bergelimpangan di tanah lapang ini. O ya, lihat! Aku tak menangis. Hanya bermata kaca. Walaupun aku takkan mengiriminya surat-sajak lagi, tapi... aku yakin, di malam-malam yang sudah tegak sempurna: ketika orang-orang (termasuk aku di antaranya) sibuk bersetubuh dengan kelam yang berbunga, Tuhan akan menghadiahiku seorang perempuan mati yang merinduiku setengah mati.
Dari mana kau tahu? (tanyamu)
Dari catatan harian yang‘”aku yakin‘”ia himpun saban aku menghadiahinya surat-sajak: karena di sana ia seolah bercakap denganku.
Aku meninggalkan bandara. Membawa sebuah organizer-book yang entah bagaimana tak kurang sesuatu apa; tak lecet atau sobek barang secarik. Sangat berbeda dengan dia: tanpa ruh dan terkapar dengan bercak merah di sekujur tubuh.
Adakah yang lebih hebat dari rindu?
Oh, Tuhan baru saja menjawabnya.
Bandara makin ramai. Orang-orang berseragam oranye sibuk mengangkut mayat. Di negeri ini, kecelakaan pesawat seakan-akan sudah lumrah.... ***
/Lubuklinggau, 23 April 2009