Menggambar Ayah
Selasa, 16 Maret 2010 by: Forum Lingkar PenaCerpen Alimuddin
Dimuat di Serambi Indonesia, 14 maret 2010
SILAM, buah pikiranku selalu ingati Ibu berwejang:
‘Jika rindu, gambar Ayah di pasir pesisir.. Biar rindu itulah berkelana...’
Pada mula aku geleng kepala. Kuajuk Ibu bohong demiku tiada terus rengek. Sehari di laut, aku tahu Ibu tak diciptakan Tuhan demi bohong. Kubawa Dek Nong serta. Di rumah, Dek Nong tak reda rusak kerja Ibu. Aku pikir, Ayahku di suatu tempat dan belum ingin pulang. Tapi Dek Nong kata, Ayah sudah di surga. Adik itu menangis.
Pada suatu matahari petang, kawan-kawan serta gambar Ayah. Kutahan tangis sambil hapus gambar-gambar itu. Itu Ayahku!
Tapi Ibu kata,”Biar saja...Biar saja Agam.”
Lalu aku tak pernah menangis lagi bila teman-teman melukis Ayah.
Kini aku belasan usia, Masyik sudah lelah suruhku ke sikula. Di sikula aku tidak boleh gambar-gambar. Aku telah jadi anak laot.
Pertama gambar Ayah. Ombak datang tiga kali ke daratan, Ayah sudah hidup di pasir.
Aku rindu Ibu. Tapi menggambar Ibu dengan pakai telekung buatku goyang-goyangkan kepala. Kemudian Dek Nong. Rambut adik itu kriwil-kriwil. Aku ingat-ingat senyum Dek Nong dan mulai menggambar.
Lepas itu, aku duduk di sela gambar. Berkisah dengan Ayah, Ibu, Dek Nong. Aku tertawa. Aku berlari ke dalam laut yang punya banyak ombak. Teman-temanku masih menggambar. Lukis mereka adalah Ayah, Mak dan adik-adik.
Cut Mala lukis Ayah, Ibu dan adik bayi. Kasyi melukis Ayah dan adik. Mita lukis paling banyak gambar, Ayah, Ibu, dua kakak perempuan, satu adik laki-laki. Putra hanya melukis Ayah saja.
Kemudian teman-teman susulku ke dalam laut. Kami berdiri ramai dan tantang matahari. Cut Mala berteriak, laut kembalikan Ibuku...Ombak memburu kami seperti bengis. Kami tergulung. Dalam ombak aku menangis.