Nenek Kakao

Minggu, 13 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Pembaruan 06/12/2009


Pernakah kalian melihat para hakim resam mukanya dan berair matanya, ketika salah satu dari mereka dengan suara tersendat-sendat membacakan putusan atas seorang terdakwa?

Di sebuah negeri, hal itu pernah terjadi. Tepatnya, baru saja terjadi.

Tapi, jangan takluk pada pengantar cerita ini. Di negeri itu, para pengadil yang masih menganggap hati adalah jantung (yang bila mati seonggok daging merah itu, maka matilah dirinya, sekujur tubuh dan jiwanya) hanya segelintir. Mungkin beberapa hakim itu saja—atau juga beberapa polisi di kampung Entah Berantah.

*

Adalah Nenek Kakao—begitu orang-orang kampung kini memanggilnya (bagai menamainya); seorang perempuan 55 tahun yang kala itu teduduk layu di hadapan para pengadil. Tangannya beberapa kali mengarimukkan ujung baju kurung lusuhnya atau meremas tangan satunya lagi. Wajahnya benyai. Mulutnya tak sekali-dua komat-kamit, mengharap Tuhan menghadiahkan keberuntungan atas dirinya.

Nenek Kakao hanya seorang buruh di sebuah ladang jagung di kampungnya. Saban hari ia mencabuti rumput yang mengitari batang, membuang pelepah-pelepah yang sudah menguning, atau pada waktu-waktu tertentu; menaburkan semacam serbuk putih yang dipercayai (ia tahu dari majikannya) dapat membuat jagung besar-besar bonggolnya ketika panen tiba.

Hari-hari Nenek Kakao adalah kejadian-kejadian yang terulang dengan sendirinya. Bakda solat subuh, menyiapkan singkong rebus dan kopi setengah pahit buat suaminya. Lalu ke ladang dengan sebilah arit di tangan. Bila hari agak tinggi, ia akan pulang; menyiapkan makan siang (lagi-lagi buat suaminya). Bakda zuhur, gegas ke pondok di ladang; menyelonjorkan kaki karena letih yang mengerubung badan. Barulah jelang asar, Nenek Kakao pulang. Selalu begitu.

Ya, bagi Nenek Kakao, hidup adalah itu-itu saja. Solat lima waktu, ke ladang jagung, menanak dan memasak, mengurus suami.... Ia tak pernah menyeling hidup dengan berhibur atau menyeruput berita di hadapan TV. Paling hanya sekilas tahu bahwa ada berita yang selayaknya dibincangkan di kedai simpang. Ia hanya sempat mendengar kabar tentang orang-orang kaya yang katanya mencuri uang republik sampai berjuta-juta, bahkan lebih banyak dari itu. O, ada uang yang lebih banyak dari juta-juta? Nenek Kakao tak hendak menyuat tanya. Gigi-giginya kerap bergemerutup bila kabar-berita itu singgah di gendang telinga. Bukan, Nenek Kakao bukan kesal (apalagi iri) pada keserakahan mereka. Namun, sungguh, tak paham ia bagaimana manusia dapat bertabiat serupa itu. Takkah mereka takut dengan Munkar dan Nakir yang sudah menanti di kerajaan kubur? Takkah mereka merinding membayangkan Malik yang menyeretnya ke belanga yang menyala-saga? Oh, setidaknya di dunia; di mana nak mereka simpan uang yang bilangannya lebih dari juta-juta itu? Apakah mereka mengidap penyakit yang lebih garang dari ta’un hingga biaya berobat pun harus dengan segunung rupiah? Yaaa Rahman, dengan uang yang berlimpah itu, sangat mahfum bila mereka dicurigai, dikuntit orang-orang yang amanahnya meluruskan yang berkelok dan menanyakan yang ganjil. Ya, Pak Polisi dan Pak Hakim sangatlah hebat penciumannya!

Namun kegelisahan Nenek Kakao bagai tak bermuara bila ia dapati kabar yang lebih menyesakkan. Orang-orang itu belum dipenjara Pak Polisi! Pak Hakim belum mengetuk palu bahwa mereka berdosa! O, mana Pak Presiden? Apa orang-orang serakah itu Dajjal dari Khurasan? Atau mereka Ya’juj dan Ma’juj yang telah merobohkan Tembok Zulkarnain? Kepala Nenek Kakao bagai terpelintir. Bumi terlampau cepat bergasing rupanya!

*

Hari itu, Nenek Kakao tak khusyuk solat subuhnya. Masih terbayang olehnya pembicaraan Mak Gaik, Wak Lukik, Bi Jum, dan Mang Sur, di kedai Nek Sangkut. Mereka membincangkan kakao yang sedang naik harganya. Mereka acap mencuri kakao dari perkebunan milik sebuah perusahaan besar di utara kampung.

”Tak apalah. Kita hanya mengambil dua-tiga keranjang. Tiadalah orang-orang kaya itu memerkarakannya, Jum!”

”Ya, lagi pula, tanah yang dipakai untuk berkebun ini kan tanah kampung kita, Kik!”

”Kita jua tak saban musim mencuri, bukan? Hanya karena harga kakao sedang naik. Itu saja, Sur!”

”O ya Gaik, kau ajaklah Minah ni bergabung. Macam mana kau, tetangga sendiri ditinggal, Gaik!”

Maka, Mak Gaik pun menceramahi Nenek Kakao.

”Oi Minah! Tak lelah kau berkawan dengan miang-miang pelepah jagung tu! Cobalah sekali-kali kau menyusup ke kebun kakao! Ambil saja barang satu keranjang, kau bentang terpal di Pasarpucuk. Kau hamparkan saja di sana. Sebelum abis Duha, pasti kau menenteng dua kilo beras ke rumah!”

Nenek Kakao masih bingung. Entahlah, ia tahu itu haram. Tapi, tak kuasa bibirnya menyuat bantah.

”Ya Minah!” Kali ini Nek Sangkut turut serta. ”Bila takut kau menyusup. Kau bersiasat saja di kandang kawat. Jadi tukang awas. Bila ada Mandor Lisau atau Mandor Buing, kau berilah tanda! Macam mana, hah?”

Nenek Kakao pun masih diam. Ternyata Nek Sangkut jua maling. Atau orang-orang kampung sudah jadi maling semua? Ohh.... Ia putuskan meninggalkan kedai Ia risau. Ohhh... tak kuasa ia menggambarkan seperti apa risau itu. Yang terang, terbayang olehnya, suaminya yang mengidap kaki gajah. Terbayang olehnya anak-anak tetangga yang selalu numpang makan di gubuknya. Terbayang olehnya betapa nikmatnya sekali-kali makan gulai ikan sungai, atau sekadar sambal tomat campur teri goreng.... sekali-kali ditinggalkanlah cabe giling dan garam, tak apa-apa kan? Batinnya berhibur. Ya, ingatan Nenek Kakao tak sampai pada anak-anaknya yang jauh merantau. Meninggalkan (kini, pasti sudah melupakan) ia dan suaminya di gubuk yang berlapik tanah....

”Oi Minah, kami tunggu kelam subuh di bawah pohon pinang, di hulu kebun!”

*

Jantungnya bagai hendak melompat dari ceruk dada. Keringatnya berjuntai-juntai. Beberapa kali dibetulkannya gulungan kain di pinggang. Lamat-lamat ia mengatur langkah. Sudah hampir terang pagi itu, baru tiga buah kakao yang dipetiknya. Sementara teman-temannya yang lain, ada yang hampir beroleh dua keranjang. Mereka memetik kakao seolah batang-batang rendah itu adalah kepunyaan mereka. Nenek Kakao makin gemetar. Tumitnya serasa lunglai. Kesemutan tiba-tiba. Oh, lupa ia bila darah rendahnya kerap kumat bila berdiri terlampau lama....

”Mandor Buinggggggggggg!!!!!!”

”Lisauuuuuuuuu!!!”

”Lariiiiiiii!!!!!!”

Tubuh Nenek Kakao menggigil hebat. Ia bagai patung yang mengonggok di tengah kebun. Hanya membelalak, menatap teman-temannya yang menyelinap-tiarap di bawah kandang kawat, sebelum lenyap di balik semak-semak rimba. Kini, tak ada lagi Mak Gaik, Wak Lukik, Bi Jum, Mang Sur, Nek Sangkut, dan teman-temannya yang lain. Hanya dua orang berbadan tegap, berwajah beringas, berdiri di hadapannya. Mata mereka merah menyala. Bagai hendak melumatnya bulat-bulat. Bagai hendak merajamnya kuat-kuat. Bagai hendak mengaum, ”ternyata kau tali-pukangnya, hah?!”

Tiga buah kakao di tangan Nenek Kakao jatuh ke daun-daun basah yang menyelimuti tanah kebun. Dua orang mandor itu memungutnya. Dan bagai orang-orangan sawah, mereka menyeret Nenek Kakao ke pos jaga. Ke hadapan bos kebun kakao!

*

”Maafkan kami, Minah! Bukan maksud meninggalkan kau, tapi kau saja yang tak sigap!” Mak Gaik memberi isyarat pada teman-temannya agar membantunya berdalih.

”Ya, Minah! Kami pula tak menyangka bila mandor-mandor bengal itu melaporkan kau ke polisi di kecamatan,” imbuh Wak Lukik.

”Sudahlah,” Minah mengeluarkan beberapa guci dan piring tua dari lemari kayu tak berukir di sudut gubuknya. ”Tak usah kalian ributkan lagi. Aku minta tolong kalian bawa barang-barang ini ke los keramik di pasar. Tolong jual. Tak ada ongkos aku nak ke kecamatan. Harus bersidang aku di sana. Entah esok-esok, mungkin sudah di penjara pula aku menanak dan memasak....”

Teman-temannya tak banyak bicara. Mereka membawa satu-satu barang itu. Tak lama, mereka sudah pulang membawa beberapa puluh ribu ke hadapan Nenek Kakao.

”Sebenarnya semua jumlahnya enampuluh ribu, Minah! Tapi, kami ambil sepuluh ribu untuk ongkos dan beli ketan. Tak ada ganjal perut kami pagi tadi, Minah.”

Minah langsung menyerobot uang itu. ”Tolong kabarkan pada Mang Lihin, aku tak ke ladang....”

”Ya,” potong Bi Jum. ”tentulah maklum majikanmu itu, Nah. Kabar kau yang diperkarakan ke polisi sudah mengembara ke mana-mana....”

*

Perempuan tua itu teduduk layu di hadapan para pengadil. Tangannya beberapa kali mengarimukkan ujung baju kurung lusuhnya atau meremas tangan satunya lagi. Wajahnya benyai. Mulutnya tak sekali-dua komat-kamit, mengharap Tuhan menghadiahkan keberuntungan atas dirinya. Bukan, bukan karena takut dijerujikan. Ia tak nyaman dengan sidang yang berulang-ulang. Mendengarkan seorang laki-laki—yang belakangan ia tahu kalau namanya Jaksa (nama yang aneh!)—mengungkit-ungkit tiga buah kakao yang dicurinya. Jaksa bahkan membesar-besarkannya menjadi tiga kilo! Oh, sungguh, tak paham Nenek Kakao dengan semua yang didengarnya, semua yang berlaku di hadapannya. Cepatlah khatam sidang-menyidang ini, rutuknya. Tak ada lagi barang di rumah yang akan dijual untuk ongkos ke gedung ini! Siapa pula nanti yang mengurus suamiku! Sudah hampir dua bulan ini, kerjaku bolak-balik kampung-kecamatan saja!

”....menjatuhkan hukuman kepada terdakwa atas nama Minah satu setengah bulan penjara...!” kata-kata hakim yang bermuka resam dan mata berair itu, sedikit tersendat. Memang, mereka adalah si kerah putih yang masih sebenar marun daging jantungnya. Tapi, apalah daya, hukum harus ditegak. Tak ada pilah-pilih salak!

Dan dipukullah palu hakim beberapa kali ke meja kayu. Takzimnya, Nenek Kakao nak bertanya perihal sebuah kabar-berita yang ia dengar akhir-akhir ini. Tentang orang-orang kaya yang mencuri uang republik sampai lewat bilangan juta-juta, yang tak jua dipenjara. Tapi ia takut kalau kabar itu tak sahih. Jangan-jangan orang-orang kedai saja yang berlahar mulutnya, batinnya. Resahnya pula bagai terobati, bila terkenang Aliman dan Mursal, dua bujang tanggung dekat rumahnya yang sampai kini masih dikurung karena mencuri ayam kampung Bi Murni, dan menggoda Halimah, anak gadis Haji Jami’at..... ***

Lubuklinggau, 22 November 2009
Bakda berita divonisnya Nek Minah satu setengah bulan penjara hanya karena mencuri tiga buah kakao di perkebunan kakao di kampungnya, daerah Banyumas.