Bau Bangkai

Minggu, 20 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen M. Irfan Hidayatullah
Dimuat di Pikiran Rakyat 13/12/2009



Seluruh penghuni rumah heboh dengan bau bangkai yang kucium. Padahal aku baru saja sampai rumah setelah hampir satu semester tidak pulang karena sibuk kuliah dan melakukan aktivitas kemahasiswaan lainnya, di antaranya demonstrasi. Tentu saja semua kaget, apalagi saat sekonyong-konyong aku mengajak semua orang di rumah untuk menghentikan segala aktivitas masing-masing selain mencari sumber bau bangkai itu. Ibu, adik-adikku, dan para pembantu kami yang berjumlah sekitar lima orang mendadak ikut heboh.

"Aku di ruang tamu, ibu di kamar, dan adik-adik di kamar masing-masing, Mang Jirin di lantai dua, Bi Munah di dapur, Mang Komar di taman belakang, Bi Asih di ruang tangah, dan Mang Koko di atap! Pokoknya hari ini harus ditemukan di mana sumber bau bangkai itu!" Aku memimpin pencarian. Dan mereka tak ada yang menolak. Kami pun menyebar ke tempat masing-masing untuk mencari sumber bau itu.

Tentu saja aku tahu mereka bingung, tetapi aku lebih bingung lagi karena bagaimana bisa bau bangkai yang menyengat itu tak mengganggu mereka. Kami belum sempat kangen-kangenan. Aku belum sempat memeluk ibu dan mencium tangannya. Adik-adikku juga belum sempat bersalaman dan mencium tanganku. Dan para pembantu yang sangat akrab denganku itu belum sempat bertegur sapa dan bercanda denganku. Bau bangkai di rumah kami mengalahkan itu semua. Namun, anehnya mereka tak mencium bau itu sama sekali.

Ayahku tentu sedang tidak ada. Walaupun hari ini hari Minggu, ia tetap tidak punya waktu untuk keluarga kecuali secara tiba-tiba ia mengajak kami berlibur ke suatu tempat yang tidak kami sangka-sangka. Semuanya disesuaikan dengan tampat pertemuan ayah dengan para kliennya. Ah, walaupun demikian ayah tetaplah pahlawan bagi kami karena dari keringatnyalah kami memiliki rumah besar dan nyaman dan bisa mendapatkan fasilitas hidup yang serba cukup bahkan mewah. Konon, bahkan tidak hanya kami yang ayah buat bahagia, tetapi ribuan orang. Ia mempekerjakan ribuan karyawan di perusahaannya yang memiliki cabang di hampir lima kota di negeri ini. Ah, ayah adalah sosok yang selalu kami rindukan. Ia seperti pahlawan yang fotonya sering ditempel di tembok-tembok sekolah dasar di negeri ini.

Begitu juga saat ini. Aku sedang memandangi fotonya yang tengah bersalaman dengan presiden pada suatu acara kenegaraan. Wajah ayah tidak tampak jelas karena ayah hampir membelakangi kamera. Hanya, kami betul-betul yakin bahwa itu adalah ayah. Itu betul-betul sosok ayah yang kami kenal. Posturnya, caranya membungkuk (ia memang sering membungkuk terutama pada orang yang jabatannya lebih tinggi, apalagi pada presiden), bentuk kepalanya yang lebih besar dari umumnya kepala, dan dari rambutnya yang sudah mulai kelabu. Ah, kami bangga sekali dengan foto ini, dan ibu (atas perintah ayah) selalu menyuruh Bi Asih merawat foto tersebut; membersihkannya dari debu dan mengilatkannya setiap hari. Foto itu memang hampir keramat bagi kami karena sepanjang keturunan, baik dari ayah maupun dari ibu, belum ada yang berkesempatan bersalaman dengan presiden. Betapa bangga kami. Bangga pada segala nikmat yang diberikan-Nya pada kami. Nikmat yang tidak semua orang mendapatkannya. Dan tentu saja, nikmat mempunyai ayah seperti ayah kami yang maju, kaya, dan berwibawa.

Tiba-tiba semua orang yang tengah mencari sumber bau itu sudah ada di belakangku dan semua fokus pada yang kulakukan. Ibu melihatku sambil geleng-geleng kepala, adik-adik berkacak pinggang, para pembantu pada bengong. Kini, aku tengah memegang foto itu dan mencium foto itu dari berbagai sisi dan sudutnya. Dan aku mau muntah. Bau bangkai ternyata bersumber dari foto itu. Dan sesuatu mendesak dari perutku menuju kerongkongan. Aku berlari ke kamar mandi, menyibak semua yang tengah melihat dengan aneh diriku lalu hampir semua isi perutku keluar di kamar mandi. Kepalaku serasa berputar. Rasa enek dari bau bangkai itu betul-betul tak bisa kutahan lagi. Bau bangkai yang baru kurasakan selama hidupku.

Setelah selesai dengan urusan perut, aku kembali ke ruang tamu dan foto itu. Aku melihat semua tengah membaui foto itu, seperti seekor kucing membaui benda yang disangkanya makanan. Namun, mereka saling pandang kemudian. Pandangan mata mereka begitu menyiratkan kepenasaran dan keanehan. Mereka geleng-geleng kepala. Lalu mata mereka melesatkan panah-panah ke arahku. Aku sekonyong-konyong lari ke kamar ayah dan ibu (lebih karena penciumanku menunjukkan bahwa ada sumber baru daripada karena panah pandangan mereka). Namun, bisa juga karena pandangan mereka yang memanah aku ingin segera membuktikan kebenaran tentang bau bangkai itu. Mereka mengejarku.

"Di sini bau bangkai itu semakin kuat, Bu! Ibu tidak menciumnya? Coba Ibu tengok lemari baju, pasti sumbernya di sana."

Tanpa menunggu tanggapan ibu, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju. Namun, sebelum ibu angkat bicara memarahiku, dari luar pagar rumah kami mendengar suara klakson mobil ayah yang biasa ia bunyikan setelah memasuki gerbang otomatis rumah kami. Aku pun segera berlari ke bawah dan siap menyambut kedatangan ayah. Semua terasa hiruk-pikuk. Ada suatu yang tidak tentu di rumah kami. Keheranan dan ketidaktahuan menjadi penguasa saat ini. Hanya aku yang merasakan bau itu dan mereka seakan melihatku sebagai orang gila.

Begitulah, ayah sekarang telah berdiri di hadapan kami. Akan tetapi, kami tak bicara sepatah kata pun. Semua senyap, membisu, dan saling menunggu. Beberapa detik, beberapa menit. Dan aku nggak tahan lagi untuk memulainya, tetapi aku enggak sanggup melihat ayah yang pulang dengan kuyu , tak seperti ayah kami sebelum ini. Ia kini hadir sebagai sosok baru yang seolah menyerahkan semua beban tubuhnya ke bumi. Nglumruk, lungrah, dan seperti akan pecah.

"Jangan katakan Ayah terlibat kasus itu, Yah!" ujarku. Ayah diam.

"Maafkan Ayah, Nak... maafkan Ayah...." ia berkata dengan tertunduk. Di matanya tergenang air. Akan tetapi semua senyap, kecuali perutku yang kembali mual dan mendesak untuk dikeluarkan.

Dan aku tak bisa menahannya. Isi perut itu terus-terusan seperti berdemo dan ingin eksis. Ia menjebol dinding pertahananku. Lalu... Brusss... semua sisa isi perutku menyembur tepat di wajah Ayah. Semua menjerit.***

Bumi Sentosa, 11 November 2009