Takut
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Ragdi F. Daye
Dimuat di Media Indonesia 21/01/2007
KAU menemukannya hari Jumat pagi pukul delapan. Diam. Matanya sedih memandang. Bibirnya yang pucat, terkuak sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Kau menangis. Tubuhnya yang dingin berselimut kain batik kauguncang-guncang. Air matamu jatuh ke mukanya. Tapi dia tetap tak bersuara.
Hanya matanya yang terbuka, seperti sedang bicara.
***
Kau membanting pintu taksi dan berlari ke gerbang yang sudah tertutup pagarnya. Dia mengejarmu setelah melemparkan uang ke tangan si sopir yang belum sempat menuntaskan umpatan karena kalian begitu ribut selama perjalanan. Dia mencekal tanganmu. Kau menepisnya dengan kasar lalu membuka pintu pagar.
"Dengarkan aku dulu, Fem!" Serunya berkali-kali.
Hatimu sakit, lebih-lebih karena malam itu dia belum juga memberikan sebuah jawaban yang kauharapkan. Kau merasa dipermainkan oleh dia yang sungguh-sungguh ingin kaucintai. Tetapi apa yang kaudapat? Hanya seringai tipis di bibir bengkok yang membuat kerongkonganmu seperti ditumbuhi duri-duri yang gatal menyakitkan.
Kau benar-benar ingin menangis. Sore sebelum kalian berangkat ke kafe, di depan cermin dandan di kamar, kau telah meyakinkan diri akan melakukan tindakan paling nekat sekali pun untuk menggerakkan lidahnya mengucapkan apa yang ingin kaudengar.
"Kalau kau inginkan keikhlasan tubuhku, akan kurelakan tanpa sedu-sedan." Begitu tekadmu sambil menyamarkan kerutan-kerutan di bawah mata. Sengaja kau tampil secantik mungkin mengingat November sudah akan berakhir; itu artinya tahun baru tinggal sebulan lagi dan kau dengan memalukan akan menjadi nona tua tiga puluh lima tahun.
Di mana letak kejelekanmu sehingga tak kunjung ada seorang laki-laki yang benar-benar bertambat? Mereka hanya sekadar mampir sebagai teman dekat. Kencan yang hanya menyia-nyiakan waktu dan hasrat. Apa kekuranganmu? Ibumu bilang kau cantik sekali. Begitu pula kata bapak dan adik-adikmu yang semuanya sudah menikah.
Mereka mafhum benar perjuanganmu, diet keras yang membuatmu nyaris berkamar di dalam tanah; ikut senam aerobik, lulur di spa dan mandi sauna, kau juga masih menggunakan krim yang disarankan temanmu untuk memperbesar dan memperkencang payudara agar mata para lelaki terjerat lekat ke tubuhmu. Kau juga rajin merawat organ kewanitaanmu dengan terapi air daun sirih. Tetapi tak juga ada laki-laki yang datang menemui orang tuamu untuk meminang.
Sanak saudara curiga ada orang jahat yang mengguna-gunaimu sehingga kau terhalang jodoh. Kau pun dimandikan dengan air bunga rampai di depan rumah. Tujuh tahun yang lalu. Tetapi tetap saja nihil. Kau masih sendirian. Kadang kewalahan menahan rasa frustrasi yang menyeretmu ke ruang makan untuk melampiaskan segala nelangsa dengan memakan semua yang kausuka. Akibatnya kau pun jadi pontang-panting diet lagi. Dan hampir setiap pagi keluargamu akan menemukanmu bangun dengan mata sembab bekas menangis.
Dan kau menemukannya satu setengah tahun lalu. Laki-laki pemurung yang sering kehilangan kata-kata. Tetapi dia sopan, dengan tatapan mata yang baik seperti balita tanpa tabungan dosa.
***
"Jadi, apa lagi yang harus ditunggu?" Desakmu di kafe kemarin malam. Sudah satu jam kalian duduk dengan perbincangan yang berputar-putar. "Kau punya pekerjaan yang mapan. Aku juga. Usia kita juga sudah matang. Keluargaku mendukung. Aku sudah siap lahir batin. Apalagi yang ditunggu?"
"Beri aku waktu." Laki-laki itu tampak resah. Butiran-butiran keringat memercik di keningnya. Ingin sekali kau mengulurkan tangan untuk menyekanya dengan saputangan, tapi dadamu sudah terlanjur gerah. Hidangan di depan kalian tinggal dingin habis diaduk-aduk.
"Ini kali keempat kau mengundurnya."
"Aku belum siap."
"Belum siap? Belum siap apa, Sayang? Kau hanya perlu datang ke rumahku, meminta pada kedua orang tuaku. Lalu kita memanggil penghulu, akad nikah, syukuran kalau memang kau tak suka keramaian. Tidak susah bukan? Kau tak perlu menyiapkan uang satu miliar untuk menemui orang tuaku."
"Bukan begitu. Aku hanya cemas." Laki-laki itu kembali mengalihkan pandang. Matanya tampak gelisah. "Ah, kau belum akan mengerti."
Kautatap mukanya yang lembut itu dengan kesal. Sebab apalagi yang memberatkannya membuat keputusan kalau bukan keraguan? Kau merasa dipermainkan, dipojokkan karena posisimu yang lemah sebagai pihak yang berharap.
"Kau malu karena aku lebih tua darimu?" Kaucetuskan pertanyaan itu untuk kesekian puluh kalinya. "Kau malu nanti ditertawakan orang karena menyunting perawan tua?"
"Bukan. Bukan itu. Kumohon sabarlah. Beri aku waktu untuk menenangkan diriku." Tangannya dengan gugup meraih tanganmu. Tangan itu keras dan dingin. "Apakah aku sudah menceritakan masa kecilku padamu?"
Kau merengut. Padanya kau pernah mengaku bahwa kau tak peduli pada masa lalu, yang kaubutuhkan adalah masa depan.
"Kita belum benar-benar saling memahami. Terlebih, kau belum benar-benar tahu siapa aku."
"Apakah kau bekas tahanan atau mantan pembunuh bayaran bagiku persetan. Kita dapat lebih mendekatkan diri setelah pernikahan, bukan? Itu kalau kau benar-benar serius."
"Tentu saja aku serius, tapi tak semudah itu. Kau belum benar-benar mengenalku. Aku tak ingin kau menyesal nanti."
"Mengenal bagaimana lagi? Sudah hampir dua tahun kita berhubungan. Masih belum cukup?"
"Coba lihat mataku."
Tapi kau sudah kehabisan kesabaran. Kau bosan mengalami adegan yang berulang-ulang. Kausambar tas kecilmu. Berdiri meninggalkan meja dengan marah. ?Apakah aku harus melihatmu telanjang dulu dan kau pun melihatku telanjang, baru perkenalan itu cukup??
Kau berlari keluar.
Di meja, tangannya yang kejang telah meremas gelas hingga pecah. Dia pun kemudian berlari menyusulmu.
***
"Baiklah, mungkin sebaiknya kita berpisah." Kau menghentikan langkah di depan rumah. Hujan bulan November malam itu tak turun. Keluargamu sudah tidur. Hanya lampu teras yang masih menyala. Taksi kuning dengan AC rusak itu telah melaju mencari penumpang baru. ?Aku tak akan mati bila tak kaunikahi!? Kau meradang kehilangan romantisme. Egomu sebagai perempuan membuatmu melontarkan makian yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan hati nuranimu.
Dia tertegun beberapa saat lalu merentangkan tangan hendak merangkulmu. Kau buru-buru mengambil jarak.
"Menjadi perawan tua memang sakit, tetapi menjadi pengemis jauh lebih sakit!"
"Aku berjanji akan menikahimu!"
"Sejak setahun lalu kauucapkan itu tanpa bukti!"
"Aku belum..."
"Belum mau sebelum mengenalku luar dalam? Kawinlah dengan pelacur!" Kau memang telah berniat menyerahkan dirimu bulat-bulat padanya kalau itu yang dia jadikan syarat. Tetapi kegeramanmu akibat sikap tak konsistennya membuatmu memilih seteru. Rasanya tak berguna kau punya pasangan yang plin-plan.
Dia berdiri kaku di depanmu. Giginya bergemeletuk tetapi kau tak mendengar. Di balik dadanya yang ingin kaujadikan tempat menyandarkan kepala itu, hatinya menggelegak marah karena merasa terhina.
"Aku memang lebih muda tiga tahun darimu, tapi jangan kaukira aku tak punya komitmen! Sekali aku berkata iya, tak akan pernah kuganti tidak."
"Lalu apa yang telah kaujanjikan empat kali itu?"
"Aku tak pernah membatalkannya, bukan? Aku hanya minta ditunda. Tak bisakah kau mengerti agak sedikit?"
"Pengertian apalagi yang harus kuberikan? Kalau kau memang tak sudi, ya, kita akhiri saja. Aku bisa mencari laki-laki lain yang bisa dipegang kata-katanya, dan kau bisa mencari perempuan lain yang bisa kabar menunggu janji-janjimu!"
"Fem!"
"Menyesal aku telah membuang-buang waktuku dengan seorang pembual yang pengecut!"
"Jaga mulutmu! Kau menyinggung perasaanku!"
"Oh ya? Apakah kau tidak sekalipun menyakiti perasaanku?!"
"Sudah! Sudah! Cukup! Aku tak ingin bertengkar."
"Oh ya? Berarti kau memang belum mengenalku!"
"Sebaiknya aku pamit dulu. Mari kita tenangkan diri masing-masing." Dia menarik napas dan mengusap mukanya.
Kau melemparkan sebuah cibiran buruk. "Pergilah! Tak usah ke sini lagi. Aku sudah bosan melihatmu. Kau bukan laki-laki. Potong saja kemaluanmu!"
Dia tersengat mendengar ucapanmu yang kasar itu. Telinganya panas. Tak menyangka perkataan itu bisa keluar dari mulutmu. Kau sendiri juga terkejut dan merasa sangat menyesal dengan kata-kata yang terlanjur lepas itu. Belum sempat kau menarik ucapanmu, tiba-tiba tangannya telah mencekal lehermu membuat napasmu seperti akan putus. Kau ingin menjerit tetapi cengkeramannya begitu kuat. Rahangmu terasa perih. Tanganmu berusaha melepaskan tangannya, tetapi tenagamu sangat tidak sebanding dengan kekuatannya.
"Kau telah memancing kemarahan yang mati-matian kuredam!" Napasnya bergemuruh. Hidungnya mendengus-dengus seperti banteng siap menanduk. "Kenapa perempuan pandainya hanya membuat laki-laki jadi binatang?! Kukira kau seorang perempuan yang lembut dan sopan!"
Tanganmu mencakar dadanya. ?Cuuh...!?
Wajahnya semakin mengeras melihat air ludahmu yang menyembur. Tangannya berayun.
Plaak! Plaak!
Tubuhmu luruh begitu saja ke tanah. Seperti tak punya tulang. Kau merasa jantungmu lepas. Baru sekali itu kau ditampar.
Dia tertegun. Napasnya tetap juga bergemuruh. "Kau... Kau membuatku marah...."
Kakinya tampak olehmu bergetar. Kau merasa tak mengenalnya sama sekali. Lalu kesedihan paling dingin mulai mencucuk hatimu. Kau berdiri. Sekilas menjenguk matanya, memastikan apakah dia memang kekasih plin-plan-mu yang selalu menunda-nunda hari pernikahan. Dia memandangmu dengan tatapan seorang kanak-kanak yang bersalah.
Asing.
Tanganmu menyentuh darah yang meleleh dari sudut bibirmu. Tubuhmu menggigil dan air matamu berloncatan.
***
"Maafkan aku, Fem. Aku sungguh ingin segera menikahimu. Hanya saja aku cemas akan seperti bapakku. Selalu memperlakukan istrinya dengan tangan yang keras." Itu yang ingin dia ucapkan padamu malam itu, tetapi kau telah berlari masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Pagi ini kau menemukannya telah diam dengan mata seolah sedang bicara. Dia jatuh dari menara air, itu yang kaudengar dari para tetangga.***
Ilalangsenja, Padang, November 2006