Nostalgia

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Ragdi F. Daye
Dimuat di Padang Ekspres 04/05/2008



Peringatan bahaya itu membuat kami terpaksa bermalam di luar rumah. Listrik padam. Walau langit terang ditaburi bintang-bintang, tetapi suasana tetap tak menyenangkan. Karpet ruang tamu dibentang di atas rumput halaman bersama tikar yang biasanya hanya tersandar di belakang pintu kamar Ibu. Terpal biru ukuran delapan kali dua setengah meter yang kupasang untuk antisipasi bila hujan tiba-tiba turun, bergoyang-goyang dikirai angin. Sepi. Orang-orang telah pergi. Bapak dan Ibu duduk bersebelahan. Diam. Bapak memangku Setiadi, anak Kak Peri yang duduk gelisah di dekat lampu lentera. Maktuo (kakak perempuan Bapak) duduk di samping Ibu dengan tubuh terbungkus mukena. Kak Peri terus mengutak-atik tombol telepon selulernya. Jaringan terganggu. Tetapi dia tetap mencoba. Menghubungi Bang Fatwa, suaminya, yang sedang berada di Jakarta.

“Kenapa kita tidur di luar, Ngku?” Setiadi kecil bertanya cempreng. Nyinyir.
“Tidur sajalah, Adi. Nanti kamu habis dimakan nyamuk.” sahut Bapak.
Ibu menyelimutkan kain sarung ke tubuh Setiadi.
Maktuo khusuk sendiri. Komat-kamit mengiringi putaran tasbih di tangannya.
Dari jauh terdengar raungan sirene. Entah ambulans. Entah polisi patroli.
Bapak telah mematikan radio. “Kita tak akan pergi ke mana-mana.” katanya tadi. “Kalau kita memang sudah harus mati, kita akan mati juga, walau lari ke ujung dunia.”

Walikota telah mengatakan bahwa daerah tempat kami tinggal tak akan tercapai gelombang tsunami. Rumah kami dijamin aman karena jauh dan cukup tinggi dari laut. Yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan bangunan runtuh. Maka malam ini kami memilih menginap di halaman, walau para tetangga telah lari sejak goncangan ketiga menghentak usai Magrib tadi diiringi listrik yang total mati. Kami telah memilih tak pergi. Bukan karena benar-benar yakin pada seruan walikota yang gemar membangun plaza itu, tetapi karena telah bosan untuk terus-terusan lari. Maktuo, Ibu, dan Bapak sudah tak sanggup lagi mesti berdesak-desakkan di atas mobil mengungsi ke ketinggian. Begitupun Kak Peri. Aku sendiri tak begitu acuh. Aku sudah jemu dengan kecemasan-kecemasan itu.

Kutuangkan kopi dari cerek ke cangkir. Meneguknya. Rumah tampak lebih rapuh dan menyedihkan. Sudah banyak retak-retak di dindingnya. Catnya kelupas-kelupas. Kasihan bila kami meninggalkannya sendirian.
Angin masih bertiup. Bumi rasanya terus juga bergetar-getar.
Kak Peri merebahkan tubuhnya ke dekat kaki Maktuo yang berselonjor. Ibu memijit-mijit kakinya yang reumatik. Bapak merapatkan jaket dan mengetatkan belitan syal di lehernya. Maktuo terus berzikir dalam kelumunan mukena. Aku mengambil kasur gulung ke dalam rumah. Sempat Ibu melarang. Tapi goncangan sudah reda. Kecuali ilusi. Kubentangkan kasur di atas tikar di luar naungan terpal. Merebahkan badan. Melihat bintang-bintang. Apakah di bintang ada setan?
Lengang. Setiadi telah tertidur di pangkuan Bapak. Hanya suara napas tertekan dan lirih zikir Maktuo. Tiba-tiba bumi bergemeretak. Kak Peri berseru. Bapak berseru. Ibu berseru. Maktuo berseru. Menyebut nama Tuhan.

***

Lalu beratus-ratus detik kemudian hanya sunyi.
Sampai Bapak berdehem, membuat cekaman itu cair. “Mari kita santai saja. Alam sedang mengajak bercanda. Tak seharusnya kita serius.” katanya.
Mulutku asam. Bunyi gemuruh rumah masih terngiang-ngiang di telinga. Ada loteng yang runtuh. Apakah hantu itu akan keluar dari laut dan menemukan kami sekeluarga sedang berkerumun di halaman seperti mangsa yang tolol?
“Ap, ambilkanlah maktuomu minum.” perintah Bapak.

Aku segera bangkit dan mengambilkan secangkir air putih untuk Maktuo. Perbekalan memang telah dipersiapkan Ibu sejak teror itu datang beberapa hari yang lalu. Tersedia juga ember besar berisi air untuk berwudhuk dan kompor. Setelah Maktuo minum, Ibu dan Kak Peri menggilir cangkir itu.
“Mari kita isi malam ini dengan bercerita,” Kata Bapak. “Sudah lama rasanya. Sejak hari raya.”
Percakapan pun merayap di antara malam yang remang dan nyamuk-nyamuk kurang ajar yang terus berdengung.

Ibu menjerang air di periuk untuk menambah kopi yang tinggal sedikit. Maktuo telah berhenti berzikir. Dia duduk tenang-tenang seperti pengemis pikun di depan swalayan. Kak Peri duduk serius dekat lentera yang bernyala lindap. Setiadi kini tidur di haribaannya.
Cerita didominasi oleh Bapak. Kadang dia terkekeh-kekeh ketika berhasil menghadirkan ingatan yang lucu. Maktuo akan terbatuk-batuk jadinya. Ibu senyum-senyum. Kak Peri terkikik sambil menyumpal mulutnya sendiri. Bapak suka sekali mengulang-ulang kisah lama. Tentang rumah tua kami, tentang peristiwa hari raya demi hari raya, tentang...
Suara Bapak menjadi serak.
“Aku teringat pada Kamaruzzaman. Ya, si Kam yang rumahnya di tepi sungai Batang Lembang di Sinapa Piliang. Dia anggota Kompi Negro dari Resimen III Batalion Lembang yang dipimpin Idris Madjidi. Saat orang Bagolak dulu, aku punya masalah dengannya. Dan dia tertembak...”

***

Aku mencintai Rakena, gadis Lukah Pandan yang berhidung lancip dan bertubuh semampai berisi. Sering aku mengamati dia sedang menjunjung kambut (bakul) meniti pematang sawah mengantar nasi untuk ayahnya. Tetapi ternyata dia lebih suka pada si Kam bangsat itu. Dia selalu menunggu-nunggu anak itu pulang dari SGA. Bagaimana tak akan sakit hatiku, aku yang mengejar-ngejar, tetapi dia malah terpikat pada orang lain. Dia tak suka padaku karena aku tak bersekolah. Bangsat! Mau apa dia dengan sekolah? Puih! Orang hanya butuh makan dan bersawah.

Suatu petang, sebelum api mengepul di atas nagari-nagari salingka Kubuang Tigobaleh, aku telah mendatangi Rakena dengan baik-baik. Kukatakan padanya,
“Dik, apa yang kauinginkan? Rumah? Sawah? Atau emas?”
Dia baru pulang dari sawah, membawa pucuk ubi dalam kambut.
“Tak tahukah Uda bahwa orang akan berperang? Orang laki-laki telah mengemas senjata untuk gerilya. Uda masih bersenang hati juga?!”
“Aku juga akan berjuang! Tetapi jawab aku dulu, Rakena. Kalau kau mau, keluargaku akan datang segera ke rumahmu!”

“Kata Uda Kam, keadaan telah genting. Nasution telah menaklukkan Painan, Bukittinggi, dan Padang. Djuanda telah menahan Sjafruddin, Sjafei, dan kawan-kawan. Kolonel-kolonel terdesak. Tak patut bila masih memikirkan diri sendiri!”
“Apa yang kauucapkan, Rakena? Dari mana kau tahu semua itu?!”
“Uda Kam yang cerita. Dia dapat kabar dari RRI Bukittinggi. Itulah, karena Uda tidak sekolah. Uda Kam sekarang telah bergabung dengan Kompi Negro, menjadi tentara pelajar untuk membela negri ini.”

Rakena berlari setelah memungut kambutnya. Rambutnya tergerai dari kain selendang yang lepas sebagian. Dua bulan kemudian dia ditemukan mati tertembak di tepi parak (kebun). Kata orang-orang, dia ketahuan oleh tentara menyelundupkan senjata ke Koto Ilalang.
Dendamku pada Kamaruzzaman semakin menjadi. Maka, ketika mendapat kabar bahwa dia akan menyeberang ke Sulik Aie dari Koto Ilalang, aku pun memberi tahu Tentara Pusat. Di Sumani dia tertembak.

***

Telah hampir Subuh. Bapak berhenti bercerita. Cahaya lentera yang redup membuat matanya tampak berkaca-kaca, atau memang dia menangis? Maktuo tersandar ke ember besar berisi air untuk berwudhuk. Tertidur. Di pipinya tampak ada leleh air mata yang telah kering. Kak Peri bergelung memagut Setiadi. Ibu diam dekat kompor yang masih menyala. Bunyi air menggelegak bergolak-golak di tengah hening yang menyakitkan dada.
Ketika pulang ke Solok saat hari raya beberapa tahun lalu, aku sempat mampir ke sebuah rumah di tepi sungai Batang Lembang dekat Masjid Lubuak Sikarah itu bersama seorang sepupu yang tinggal di kampung.
Di rumah tua itu aku bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk bersandar ke dinding papan. Dia tersenyum padaku dan mempersilakanku mencicipi tapai ketan yang disuguhkan istrinya.
“Kalau bukan karena perang itu, Nak, tak akan pernah ada jembatan, jalan, dan sekolah-sekolah di sini.” Katanya padaku dalam percakapan yang canggung. “Tetapi sayang, sejarah menganggapnya pemberontakan, padahal kami hanya menyampaikan aspirasi kami yang seolah hanya anak tiri. Perang saudara memang pahit.”
Waktu itu aku tidak tahu benar siapa dia, kecuali bahwa namanya Kamaruzzaman, pernah ikut berperang semasa Bagolak, dan kaki kanannya buntung sebatas paha.
Cerita Bapak yang sebentar ini membuat perutku mual. Aku pergi ke sumur untuk kumur-kumur dan muntah. Gempa sudah tak ada. Rumah hampir rubuh. Ketika balik, kulihat tubuh Bapak yang ringkih oleh komplikasi penyakit itu bergetar-getar dan kudengar dia tersedu sampai batuk-batuk***