Minah Indon

Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Arlen Ara Guci
Dimuat di Batam Pos 29/03/2009



Minah memang gadis dusun. Semua yang melekat di diri betul-betul cerminan kampungan. Walau dipoles Mustika Ratu sekali pun, style Minah justru kian tak menjadi. Saat rambutnya diberi warna keemasan, banyak bujang-bujang berujar Minah tak ubah bule kecemplung kali. Saat kuku-kukunya berwarna ungu, tak jarang yang bilang Minah seperti Vampire melompat kehausan darah. Saat Minah berbaju merah, warga jadi geli. Kata mereka, Minah seroman dendeng balado. Kata tetua dulu berlaku betul di gadis lugu itu. Kalau akal yang kurang, entah dengan apa ditambah. Tapi Minah tak kisah dengan pandangan warga. Prinsip Minah, biar muka kampungan, tapi rejeki bisa aja kota. Seperti penyanyi dangdut pujaannya. Cuma bermodal geal-geol pantat, suara pas-pasan toh jadi selebritis juga. Nasib orang siapa yang bisa mengira, cetus Minah saat dirinya resmi pembantu, orang yang tak kaya amat di seberang.

Menjadi TKI jelas bukan cita-cita Minah ketika ia didepak dari bangku SD karena menunggak SPP tiga bulan, plus angka rapor cabe merah. Walau para guru menganjur Suminah nama lengkapnya sebaiknya masuk sekolah khusus, tapi Minah tak terima. Baginya itu sama saja para tenaga didik hendak mengatakan dirinya bermasalah. Kalau tak patut disebut ber-IQ rendah alias murid berotak udang. Sebelumnya Minah terhegeh-hegeh hendak merasakan bangku sekolah, berseragam putih merah, bukan sekadar mendapat kawan, tapi lebih dari itu, para bapak dan ibu guru yang belakangan disebut pahlawan tanpa jasa justru dirasakan Minah tak hendak membawa dirinya yang sememangnya lelet dengan alpabet dan paling tak bisa dicekoki dengan angka; kurang, tambah, kali dan bagi. Maka para guru kehabisan cara menghantar Minah jadi murid pintar. Bagi Minah pula, para guru itu tak patut disebut pelita dalam kegelapan, kalau kiranya tak mampu membawa dirinya ke alam ilmu pengetahuan.

Sejak itu Minah mengutuk sekolah. Sudahlah biaya mahal. Mulai seragam, SPP dan buku-buku berkurikulum pelajarannya berganti tiap sebentar. Minah jengah dengan sekolah. Ia pun menanam kesumat pada gurunya. Belagu! Kaya juga tidak! Rutuk Minah. Beda pada seragam saja, sudah melonjak! Repet Minah saat ia melihat dengan mata kepala, dunia sekolah toh bukan satu-satunya jalan untuk bisa meraup rupiah. Lalu membeli baju, rok, subang, atau kalau emang rejeki, bisa membuat rumah. Lagipula isi otak kok ya diukur dengan angka-angka. Minah jelas sekali berkecil hati. Minah bertekad bulat tak akan menyentuh bangku sekolah lagi. Jadilah hari itu terakhir kali menyarungkan seragam putih merah. Sekaligus tak perlu lagi ia berpenat diri di lapangan setiap Senin pagi saat mentari terasa menyengat, walau hanya sekedar menghormat bendera sambil mendengar repet pidato kepala sekolah tak lebih sekedar bermain kata-kata, tanpa tahu keadaan dirinya, mungkin juga temen-temen seperjuangan dirinya.

Umur Minah merekah masa ia tengok teman-temannya lebih tragis nasibnya; tak pernah sekolah malahan, buta huruf otomatis tak tahu baca tulis dari dirinya kok bisa membuat rumah baru. Bahkan rumah bertingkat pula. Mereka bisa pula membantu biaya sekolah adik-adiknya, ada handphone teranyar segala, hingga beli sapi dan kerbau pula. Semua itu mereka berjaya lakukannya jika dan hanya berprofesi sebagai TKI di seberang. Minah diam-diam menyuntik hasrat ke seberang pula. Apa sih susahnya jadi TKI.

Kalau kerja sekadar nyapu rumah, nyiram bunga, masak, nyuci itu pekerjaan yang lihai dikeloninya selama ini. Apalagi sejak ibunya tiada. Dialah ‘pengganti ibu bagi sembilan adik-adiknya. Mengharap bapak, itu sama artinya berpegang di kayu lapuk. Kalau tak ingat dia orang tua, Minah ingin mencuci jejak bapak di atas lantai tanah itu. Kematian ibu bukannya memberi mereka tambah dekat, justru sosok pelindung itu kerap menghilang berbilang hari. Kalau pun adakalanya singgah sebentar, tanpa ba-bi-bu, melentinglah rotan pada sembilan adik-adiknya. Sungguh Minah tak tega, bapak ringan tangan pada mereka. Minah percaya, tak apalah kering harta benda, tapi jangan kerontang perhatian dan kasih sayang. Sebagai anak paling tua, Minah tak ingin adik-adiknya mengalami nasib serupa dirinya.

Jadi TKI-lah Minah bersama beberapa teman sekampungnya. Walau tergadai subang mendiang ibunya tak apa. Kelak dari ringgit, akan diganti rumah bertingkat. Atau setidaknya warung sembako. Atau setidaknya beli handphone model terbaru. Seperti teman-teman seniornya berprofesi TKI. Alangkah beruntung Minah dari gadis-gadis dusun itu. Meski kebanyakan keinginan mereka meluap, tapi ada kesandung tak bisa berangkat ke tanah Semenanjung itu. Kebanyakan tak cukup rupiah membayar segala surat menyurat dan dokumen ke pihak jasa penyedia TKI itu. Saat cek medis, Minah mulai goyah. Cemas kalau-kalau penyakit demam berdarah yang penah dihidapnya didapati lagi riwayatnya. Namun, saat petugas kesehatan itu menyatakan dirinya sehat-sehat, merekahlah senyum Minah bersamaan sejuta angan-angan di negeri Jiran.

Bos itu mengaku asli Melayu padahal matanya sipit dan berkulit putih pasi. Kalau bicara aksennya membawa Minah pada film-film Brad Pit, Tom Cruise idolanya. Baju dan gaya jalannya membawa Minah pada sosok tante-tante senang di sinetron RCTI. Minah kecele jikalau jauh hari dia akan bekerja pada sosok perempuan-perempuan berdandan ala-ala Siti Nurhaliza. Tapi rupanya jauh panggang dari api. Ada pun kalau si bos lelaki dibenak Minah melintas abang-abang berwajah teduh. Berkumis, jenggot dan jambang tipis dan sekalu bersungkup kepalanya ala-ala anggota penyanyi nasyid Raihan yang diliatnya di tv tetangga masa bulan puasa. Semua itu tak ditemuinya. Sosok perempuan tua yang kini resmi disebutnya majikan juga tanpa laki. Dia menghuni rumah bertingkat di atas bukit dan dijaga satpam 24 jam! Kendala bahasa bagi Minah terasa menyiksa. Untungnya bahasa serumpun didengungkan sejarah lama, didengarnya satu-satu dari majikan. Selebihnya bahasa tubuh lebih banyak bicara. Sementara waktu Minah boleh bernafas. Beruntung juga, pikirnya, berjiran begitu. Jika ditengoknya pekerja-pekerja dari Bangladesh, Myanmar, Pakistan, Filipina entah dengan bahasa apa mereka bertegur sapa, pikir Minah. Apabila dilongokkan kepala keluar pagar, tetangga rupanya berkulit dan berwajah seperti Shah Rukh Khan, Salman Khan dan Kajol pujaannya. Saat majikan membawanya ke pusat beli belah, nyaris dijumpainya mereka-mereka yang bertutur dan bermuka ala Jacky Chen, Jeet Lee, dan Gong Li. Aih, untung saja negaraku berjiran, pekik Minah. Banyak kesamaan la, hibur Minah tanpa ia tahu kesamaan apa entah. Minah mendengar bahasa-bahasa digunakan keseharian, pernah di dengarnya semasa di tanah air. Itulah kesamaan yang amat azas di benak Minah.

Usai menyibak selimut, Minah bergegas ke dapur masa majikan pulas di tempat tidur. Masakan yang diminta siap. Kain pun selesai di seterika. Rumah sudah bersih. Tanaman sekeliling rumah siap disiram. Minah ingin menonton sinetron tapi cucu-cucu majikan datang. Mereka datang dengan orangtuanya. Masing-masing membawa buntelen kain sudah dipakai beberapa hari sebelumnya. Tanpa disuruh Minah cepat paham. Bukan pakaian majikan saja yang dicucinya. Kali ini majikan perlu bersuara, sudah kali ketiga Mercedesnya disiram hujan, Minah tak mencucinya. Walau belum pernah sekali pun mencuci mobil, Minah dapat instruksi dari si majikan. Rutin tiga kali seminggu itu mobil dicuci sekalian.

Disangka Minah panas berpanjangan, rupanya gerimis menanti. Begitu sedan itu mengkilap, Minah boleh merasakan empuknya duduk di dalam. Si majikan ingin Minah tahu, selain berkantor, ia ada ladang berhektar.

Dan perlu Minah sadari, tiga kali seminggu, cabut rumput di ladang itu, begitu pekerjaan rumah selesai. Minah mencoba mengerti apa arti TKI, pembantu itu. Lebih Minah mengerti, ringgit yang dijanjikan tak sekali pun digamit. Pertama kali Minah mencoba beranikan diri, kenapa haknya tak diterima jua, cukup tiga patah si majikan mengingatkan,
“Minah Indon bodoh...!” ***

Kuala Lumpur, 2009