Lelaki dan Secangkir Kopi

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Tary
Dimuat di Tribun Jabar 07/12/2008



IA menimang kotak mungil merah hati di tangannya lalu membukanya. Cincin belah rotan menyembul dari dalam kotak dan ia menyelipkan di jari manisnya. Setelah mengamati jemarinya, ia menghela napas panjang. Sukma memiliki selera bagus untuk cincin pertunangan ini, tapi sayang semua jadi kurang menarik lagi, batinnya.

"Selamat malam..." suara lembut itu menyeruak dari pintu samping balkon tempatnya duduk.
Mendadak dadanya berdentam keras. Ia menoleh ke arah datangnya suara dan melihat seorang lelaki membawa secangkir kopi. Buru-buru dicabutnya cincin belah rotan yang melingkar di jari manisnya dan disembunyikannya di saku baju.
"Eh, malam..." jawabnya gugup. Dentam di dadanya semakin mengeras sehingga gerak tubuhnya menjadi serba salah.
Lelaki itu menatapnya dan ia merasa tenggelam dalam senyuman. Senyum yang membuat tidurnya akhir-akhir ini sering terganggu. Senyum yang membuatnya rela lebih lama berada di kantor dan duduk menyendiri di balkon. Senyum yang membuatnya sibuk mencari alasan untuk menunda pernikahannya dengan Sukma. Kadang-kadang cinta memang serta-merta dan gila, tapi ia menikmatinya.
"Aku membawa secangkir kopi untukmu," kata lelaki itu menyodorkan secangkir kopi padanya.
Ia menerima secangkir kopi itu dan menghirup aromanya yang menggoda. Ia sangat menyukai kopi dan selalu mabuk saat menghirup aromanya. Namun mabuk kali ini terasa berbeda. Jiwanya serasa melayang saat cairan hitam itu menyerbu lidahnya.
Sebulan lalu ia bertemu lelaki itu. Ia menabrak lelaki itu di pintu lift gedung kantornya yang baru hingga tubuh mungilnya terpental. Seperti adegan film, lelaki itu mengulurkan tangannya, menolongnya berdiri. Saat itulah ia melihat senyum menawan lelaki itu. Tiba-tiba saja sesuatu berdentam-dentam di dadanya dan bayangan Sukma lenyap dari kepalanya.
Balkon di samping ruang kerjanya kemudian menjadi tempat bertemu yang romantis. Setiap malam, mereka duduk berdua memandang kerlip lampu Jakarta di malam hari. Diam-diam lelaki yang baru saja dikenalnya itu telah membawanya ke tempat antah berantah yang nyaman dan penuh bunga. Lelaki pembawa secangkir kopi itu memiliki banyak hal yang tak dimiliki Sukma. Dan semua keruwetan di kepalanya menjadi terurai saat secangkir kopi itu melewati lidahnya.
"Ini malam terakhirku," kata lelaki itu. Senyum yang selalu menawan itu tiba-tiba lenyap, berganti murung yang parah.
Ia terkesiap hingga secangkir kopi di tangannya oleng dan tumpah ke bajunya. Lelaki itu buru-buru membantunya mengelap bajunya dengan tangan. Sesaat ia bisa mencium aroma parfum lelaki itu saat tubuh mereka berdekatan. Tangannya bersentuhan dengan tangan lelaki itu dan ia bisa merasakan hawa dingin kehilangan menjalar meresapi pori-pori kulitnya.
"Kau mau ke mana?" tanyanya tersendat.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia bisa merasakan kesedihan yang merambat melalui matanya seperti kabut yang tak bisa ditepiskan angin. Mendadak dadanya sesak oleh sesuatu yang tak dimengertinya.
"Aku harus kembali."
"Kembali ke mana? Lalu aku... bagaimana?"
"Kau harus kembali padanya," jawab lelaki itu seraya menghela napas berat.
Ia mendongak, menatap lelaki di depannya dengan pandangan tak mengerti. Tetapi lelaki itu membuang pandang ke arah kerlip lampu-lampu malam Jakarta di kejauhan. Tiba-tiba lelaki itu berbalik dan memberikan cincin belah rotan padanya.
"Pakailah, dan kau harus kembali pada orang yang memberikan cincin ini padamu."
Ia terkejut melihat cincin belah rotan di tangan lelaki itu. Rasanya ia baru saja menyelipkan di saku bajunya, tetapi kenapa cincin itu bisa berada di tangan lelaki itu? Ia meraba saku bajunya yang kosong.
"Tapi... tapi aku mencintaimu."
Lelaki itu menggeleng. "Cinta itu bukan khayalan. Cinta itu nyata. Jika kau mencintai seseorang maka kau harus berani menerima kenyataan tentang orang yang kaucintai."
"Aku berani menerima kenyataan! Aku berani melepaskan Sukma karena mencintaimu. Kau perlu bukti?" Ia bangkit dari duduknya dan mengangkat tangannya untuk melempar cincin tunangan itu. Lelaki itu buru-buru menyambar tangannya dan memeluknya. Hawa dingin kehilangan kembali menjalar pelan-pelan, melumatkan tubuhnya dalam pedih.
Ia melayang pelan, seperti terbang ke awan.
***
IA siuman dari pingsannya dan mendapati Sukma sedang menggenggam tangannya hangat. Buru-buru ia menarik tangannya dari genggaman Sukma. Ia bangkit dan memeriksa jemari tangannya. Cincin tunangan itu masih ada di jemarinya dan serta-merta ia melepasnya.
"Sadar, sayang, lelaki yang kautemui setiap malam itu telah meninggal sebulan lalu. Kau berhalusinasi." kata Sukma.
"Tidak! Lelaki itu ada, nyata!" Ia menunjukkan bajunya yang basah kena tumpahan kopi semalam. "Lihat! Ini buktinya! Lelaki itu membawakan secangkir kopi untukku setiap malam!"
Dan ia berlari ke balkon, mencari-cari. Tak ada siapa pun di sana. Pintu samping tempat lelaki itu biasanya datang juga terkunci mati. Ia berteriak-teriak memanggil nama lelaki itu. Lalu ia terguguk dalam pelukan Sukma. Samar-samar terdengar suara lelaki itu, "jika kau mencintai seseorang maka kau harus berani menerima kenyataan tentang orang itu..."
***
Jakarta, 23'11'08
(to: Nima, pemilik suara lembut)