Ketukan di Pintu Depan
Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Tary
Dimuat di Jawa Pos 14/05/2006
Ia terbangun dari lelap tidurnya di malam pekat. Sayup suara, samar-samar menembus gendang telinganya. Perlahan ia menggosok-gosok mata, menyibakkan rambut, berusaha menajamkan pendengaran. Pintu rumahnya diketuk dari luar. Ketukan yang lembut. Tiga kali, tiga kali. Beruntun dan teratur. Sejenak ia merasa seolah berada pada sebuah ruang sempit yang akan mengimpitnya, sebelum kemudian tersadar ia berada di pembaringan bersama tubuh wanita bungkuk meringkuk, tak bergerak. Hanya napasnya yang naik turun teratur. Ketika bergerak pun wanita itu tak lebih dari seorang tua renta.
Ketukan di pintu depan, sebuah ruang sempit yang mengimpit, entah sejak kapan ia mulai merisaukannya. Kadang ia merasa ketukan itu terdengar bagai rintih pedih yang menyayat. Lalu ia menemukan luka, darah dan air mata pada ruang sempit gelap yang mengimpitnya. Malam ini, ia terbangun dengan suasana yang sama. Ketukan itu kembali menggodanya. Beruntun dan teratur. Menuntun langkahnya turun dari pembaringan.
Perlahan tangannya menyibak kelambu depan. Tak ada siapa-siapa. Hanya desau angin terdengar merintih menerpa daun-daun pisang di halaman samping. Sesekali terdengar kerik jangkrik, kodok mandi di blumbang belakang rumah menciptakan irama tertentu. Lalu binatang-binatang itu berdiam. Senyap.
"Tak ada siapa-siapa. Apa aku bermimpi?" batinnya seraya kembali ke samping wanita renta. Dipejamkan mata. Ia ingin menuntaskan tidurnya yang terusik.
Ketika kantuk mulai menyeretnya ke dunia mimpi, sayup suara ketukan itu terdengar lagi. Lebih nyaring dalam pendengarannya. Ia kembali terbangun dan beranjak. Berjalan berjingkat menjangkau gagang pintu. Mendorongnya perlahan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat memasuki rumah. Tak seperti tubuh manusia. Tanpa hidung, bibir, mata, alis, tangan ataupun kaki. Ya, hanya sekelebat bayangan. Seperti asap yang terbang bersama udara sebelum kemudian lesap tanpa tanda. Ia terpana, berdiri bagai patung di perempatan jalan besar lalu mundur tak percaya.
"Siapa kau? Hantu? Jangan mempermainkanku!" gertaknya.
Senyap. Tiada jawaban. Ia menunggu beberapa saat. Tetap senyap.
Namun tiba-tiba bayangan itu kembali berkelebat. Kini jauh lebih pekat. Lebih tebal. Meliuk-liuk memutari tubuhnya dengan desis menyerupai rintihan. Lalu bayangan itu membuat gerakan seperti membelai sebelum kemudian berhenti dan menempel diam di dinding.
"Siapa kau?"
Hati-hati dan takjub ia mendekatkan wajahnya ke dinding. Pertanyaannya tak terjawab. Hanya desis yang terdengar bagai rintihan panjang. Luka, darah, sebuah ruang sempit menghimpit…
"Kenapa? Ada apa?"
Suara serak wanita renta mengejutkannya. Tubuh bungkuk terseok menghampirinya. Lalu bayangan itu bergerak. Berputar-putar, membentuk gulungan pekat, menembus dinding, kemudian lenyap. Ia terengah. Matanya nanar mencari-cari bayangan yang lenyap. Ia percaya itu bukan mimpi.
"Kenapa? Ada apa?"
Ia menggeleng. Berusaha menarik ujung bibirnya agar membentuk sebuah senyuman. Ia tidak ingin wanita renta itu mencemaskannya.
"Mungkin aku mengigau," gumamnya. Ia tak menyadari bahwa bayangan itu benar-benar merintih. Dalam luka. Dalam darah. Dalam sebuah ruang sempit.
***
Entah pada hari ke berapa, kemudian ia ingin mengabaikan. Mungkin ketukan di pintu depan dan kelebat bayangan itu hantu. Apa istimewanya? Toh, alam gaib itu memang ada. Bukankah semua hidup dalam alam masing-masing dan tunduk di bawah kuasa-Nya? Jika kita tidak mengusik, mereka juga akan berdiam. Hanya yang sedikit mengherankannya, kenapa wanita renta tidak mendengar ketukan itu? Kenapa ketukan itu hanya menembus gendang telinganya?
Ia tak ingin peduli. Ia tak ingin memikirkannya. Tapi ketukan itu kian nyaring pada malam ke sepuluh. Ia menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan. Menimbuni kepalanya dengan bantal. Ia ingin membiarkan. Namun sayup ketukan itu seolah menembus bantal yang menutupi kepalanya. Merenggangkan tangannya dan menjebol paksa gendang telinganya. Ia seolah kembali berada di sebuah ruang sempit. Luka, darah, air mata…
"Oh…!" rintihnya sambil melepaskan bantal. Wanita renta di sampingnya terusik sesaat sebelum kembali lelap. Napasnya memburu ketika turun dari pembaringan lalu berjalan ke pintu. Namun langkahnya terhenti di muka pintu bilik. Sayup ketukan itu bergema di sana. Bukan lagi di pintu depan. Ketukan yang lembut namun nyaring. Beruntun dan teratur. Tiga kali, tiga kali. Dijangkau gagang pintu bilik, didorong perlahan. Sekelebat bayangan itu memasuki biliknya. Melesat lebih cepat dari malam yang lalu. Meliuk-liuk mengitari tubuhnya lalu berhenti, menempel diam di dinding. Bayangan itu seolah berdiri dan menatap lekat padanya.
"Apa maumu?" sentaknya meradang.
Tiba-tiba ia merasa malamnya sangat terganggu dengan bayangan yang tak pernah ia usik itu. Kemarahan terasa mencekik lehernya. Matanya bergerak ke segala arah mencari sesuatu. Kemudian ia menemukan pisau yang tergeletak di meja. Pisau yang digunakan wanita renta itu mengupas pepaya tadi sore.
"Apa maumu?" ulangnya semakin meradang. Diacungkan pisau ke arah bayangan itu. Namun bayangan itu tetap berdiri tenang, menempel diam di dinding. Tak berbicara, tak bergerak, tak beranjak. Merasa dipermainkan ia menghujamkan pisau itu ke seluruh bayangan di dinding. Crash! Crash! Crash…! Ia membabi buta. Menggunakan seluruh energi yang dimilikinya. Tak dipedulikan napasnya yang hampir putus dan peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Hujaman terakhir membuat pisaunya menancap kuat di dinding. Tak kuasa ia mencabutnya. Hujaman lainnya membentuk lubang-lubang di dinding. Sesuatu tiba-tiba meleleh dari lubang-lubang itu. Ia tertegun lama. Menahan napasnya yang tersengal. Menarik tubuhnya tak percaya. Lubang-lubang di dinding bekas hujaman pisaunya itu mengalirkan darah!
Perlahan dan hati-hati didekatkannya wajah. Matanya membelalak tak percaya. Darah di dinding itu saling bertaut. Seperti digerakkan oleh kekuatan entah. Demikian teratur membentuk huruf demi huruf yang kemudian merangkai sebuah kalimat: ROH, AKU PULANG…
Usai membentuk sebuah kalimat, sisa darah yang lain menyatukan diri membentuk sebuah gambar. Seperti tangan pelukis yang gesit menyapukan kuas pada kain kanvas. Sisa darah itu bergerak membentuk rambut, mata, hidung, bibir, leher, dada, tangan, paha, kaki, dan perut. Tapi perut itu tidak seperti biasanya. Perut itu membuncit. Ia kini mengerti. Darah itu melukis tubuh seorang wanita hamil!
Ia masih tertegun. Ternganga dalam ketidakmengertian. Desis rintihan kembali membawanya ke sebuah ruang sempit. Luka, darah, air mata…Siapakah wanita dalam lukisan darah itu? Ia menggeleng-gelengkan kepala tak mampu menjawab pertanyaannya sendiri. Ia mencoba mengamati lukisan itu lebih seksama. Ia menemukan kelembutan dan ketegaran seorang ibu di sana. Ketegaran yang membuat seorang wanita tidak putus asa meski ditinggal suaminya pergi dengan wanita lain. Ketegaran yang membuat seorang wanita berani pergi ke negeri ringgit untuk mengais rezeki. Meninggalkan gadis mungil dalam dekapan wanita menjelang renta sekian tahun silam. Lantas membiarkan dirinya lenyap di telan bumi. Tanpa kabar.
Ada kekuatan yang tiba-tiba menarik tangannya untuk mengusap lukisan itu. Merasakan kepedihan yang dalam. Luka, darah, air mata…
"Siapa, kau?" tanyanya lirih di antara isak. Ia merasakan kesedihan yang dalam ketika tangannya menyentuh lukisan darah itu. Air mata dan peluh bersaing membanjiri bagian tubuhnya. Ia kemudian terkulai di lantai. Napasnya tersengal-sengal. Kerisauan, kebingungan, ketakutan, ketidakmengertian telah menumpasnya malam ini. Ia memejamkan mata. Tidak ingin menatap lukisan darah di dinding itu. Hatinya perih.
"Kenapa? Ada apa?"
Ada tangan yang tiba-tiba menyentuh bahunya lembut. Ia terkesiap. Matanya kembali nanar mencari-cari lukisan darah di dinding. Namun ia tidak menemukannya. Lukisan darah itu lenyap! Dan di hadapannya, wanita renta yang gurat wajah yang tak jauh berbeda dengan wajah dalam lukisan darah itu menatapnya cemas.
"Ada darah di dinding." Matanya masih mencari.
"Darah apa?"
"Lukisan darah."
"Ah, kau mengigau."
"Tidak Nek, tadi benar-benar ada di dinding itu."
"Mana buktinya? Dinding itu bersih, tidak ada darah di sana."
"Lukisan darah berwajah sepertimu."
"Sudahlah..."
"Aku akan mencari orang dalam lukisan itu, Nek."
"Untuk apa? Akan kau cari ke mana?"
"Ke kota. Atau ke mana saja."
"Minumlah dulu, jangan terus mengigau."
Ia meneguk segelas air putih yang dibawa wanita renta itu hingga tandas, menarik napas hingga seluruh udara memenuhi rongga dadanya, lalu menjatuhkan tubuhnya di pembaringan. Matanya menerawang, jantungnya berdebaran. Lukisan darah itu kembali membayangi matanya. Siapa wanita itu? Perlahan ia mengangkat telapak tangannya dan ada sisa darah melengket kering di jemarinya.
***
Tas besar itu telah dijejali pakaian dan perbekalan. Ia akan pergi. Mungkin ke kota atau ke negeri entah.
"Aku akan mencari wanita dalam lukisan itu," gumamnya.
Ia sedih melihat wanita renta itu terlihat berat melepas kepergiannya. Mata wanita renta itu berkaca-kaca. Ia tak ingin mengurungkan niatnya. Hampir setiap malam, sayup ketukan beruntun, bayangan pekat berkelebat, kemudian darah yang menjelma lukisan itu menghantui hidupnya. Ia tak ingin digilas ketakutan, kesedihan, penasaran juga ketidakmengertian yang terus bertumpuk dari hari ke hari.
Ada yang berkelebat saat ia mengayunkan langkah dan melepas tangan wanita renta yang memeganginya. Sebuah bayangan. Ada desis menyerupai rintihan yang semakin jelas. Luka, darah, airmata dan sebuah ruang sempit…menyeretnya dalam kepedihan.
"Kau akan pergi ke mana?" pertanyaan wanita renta itu menonjok lamunannya. Ia hanya bergumam, menggeleng lalu menyeret tas besarnya. Entah, ia sendiri tak tahu harus ke mana mencari wanita dalam lukisan itu. Mungkin ke kota. Tapi kota yang mana? Namun lukisan darah di dinding yang desisnya menyerupai rintihan itu seolah terus memanggilnya, mengajaknya untuk bertemu.
Langkahnya terhenti. Perlahan tangannya menjangkau gagang pintu depan rumahnya. Sedikit gemetar ketika akan mendorongnya. Saat itu ia mendengar suara ribut-ribut di halaman. Ia menajamkan pendengarannya seperti saat mendengarkan ketukan lembut di setiap malamnya, lalu menatap wanita renta yang berdiri bungkuk di sampingnya. Mereka saling berpandangan dan mengeryitkan kening. Benaknya penuh tanya.
"Benar ini rumahnya?" tanya seorang laki-laki di halaman.
"Benar, Pak," jawab sebuah suara, seperti suara tetangganya.
"Turunkan perlahan-lahan!" teriak laki-laki yang tadi bertanya memberi perintah. "Tolong yang lain bantu kami menurunkan!"
"Awas, hati-hati!" suara yang lain lagi.
"Panggil keluarganya!" suara lelaki pertama kembali memerintah.
Ia terdiam sesaat. Otaknya berputar mencoba menebak-nebak tentang keributan yang terjadi di halaman. Namun ketika ia menyadari tak juga menemukan tebakan yang tepat, tangannya mendorong gagang pintu.
Mulutnya ternganga ketika melihat puluhan orang; tetangga laki-laki, perempuan, anak-anak, Pak RT, RW, lurah, polisi, berkumpul di halaman. Mereka mengelilingi mobil ambulan yang sudah dimatikan sirinenya. Beberapa orang menurunkan peti mati dari dalam ambulan. Sementara seorang tetangga berlari-lari menghampirinya.
"Roh! Rohana! Itu mayat emakmu. Ia meninggal karena jatuh dari apartemen tempatnya bekerja. Ia sedang mengandung anak majikannya!"
Seperti masuk ke dalam mesin pendingin, ia merasakan tubuhnya menggigil hebat, rahangnya mengatup rapat. Wanita renta di sampingnya terkulai pingsan. Kerumunan orang-orang menyingkir ketika ia mendekati peti mati. Dilihatnya darah berceceran di dinding peti mati emaknya. Menuliskan: ROH, AKU PULANG… dan melukiskan tubuh wanita hamil! ***
Utan Kayu, 23 Juni 2004