Dua Karung Amal

Minggu, 15 November 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Zaenal Radar T.
Dimuat di Republika 11/06/2006



Masih lekat dalam ingatan, saat menjadi relawan tsunami Aceh satu setengah tahun silam. Aku pulang membawa banyak perhiasan dan menemukan sekantung uang yang kudapat dari sisa-sisa reruntuhan rumah-rumah korban bencana tersebut. Meskipun begitu, sekarang aku masih saja gembel. Barang berharga dan sejumlah uang yang kutemukan itu habis kupakai berjudi dan foya-foya dalam waktu beberapa bulan saja.

Setahun setelah bencana itu, aku kembali hidup luntang lantung, karena malas mencari pekerjaan. Mencopet atau menggarong orang aku sudah tidak berani lagi. Keberanianku tiba-tiba hilang entah kenapa. Yang ada di otakku hanyalah pikiran-pikiran bagaimana cara menipu orang, tanpa harus menyakiti fisik korban dan ketahuan polisi. Tetapi, menipu orang bukan pekerjaan mudah, dan aku tak pernah berhasil.

Untung saja musibah besar kembali datang. Orang lain boleh bersedih, tapi bagiku itu keuntungan luar biasa. Berita itu kudengar pagi-pagi sekali melalui breaking news di televisi yang ada di pos ronda, sekitar pukul tujuh pagi. Pembaca berita perempuan cantik jelita mengabarkan telah terjadi gempa berkekuatan 5,9 skala Richter di Yogyakarta dan sebagian daerah di Jawa Tengah.

Awalnya aku tak begitu peduli, barangkali hanya gempa biasa yang hanya menyebabkan bangunan retak dan korbannya paling banyak belasan orang luka-luka. Maka pagi itu, saat tiga anak muda tanggung yang baru bangun tidur mengajakku main kartu domino, tak lagi kupikirkan berita itu. Tetapi satu jam kemudian televisi kembali menyiarkan secara khusus, bahwa sejumlah rumah sakit di Yogyakarta dipadati korban, dan yang meninggal dunia diperkirakan ribuan orang!

Aha! Kubanting semua kartu domino di tanganku, lalu kedua mataku menatap layar televisi. Teman main kartuku tersentak, namun kemudian mata mereka ikut menatap ke arah televisi. Kupikir semua orang yang menatap tayangan berita itu akan merasa terenyuh melihat korban gempa bumi bergelimpangan, mengingatkan ratusan ribu korban tsunami di Aceh yang tewas. Lalu yang terlintas di benakku, orang pasti akan terketuk hatinya untuk menyumbangkan uang demi membantu para korban. Dan itu kesempatan bagiku untuk memanfaatkan keadaan.

Aku mengikuti jalan pikirianku yang sudah terpola sedemikian rupa, bergerak berdasarkan naluri jiwaku yang sudah terformat sebagai seorang penipu kelas satu. Tiga teman bermain kartu domino tadi kutawari sebuah pekerjaan mudah, namun akan menghasilkan jumlah rupiah yang tidak sedikit.

Ketiga pemuda luntang-lantung berotak tumpul itu bergerak mengikuti ayunan langkah kakiku, menuju kos-kosan mahasiswa. Dalam hitungan menit kami berhasil mendapatkan empat buah jaket dengan logo universitas yang tercetak di bagian atas kanan dada. Tentu saja, setelah kami sedikit mendapat hambatan dari si pemilik jaket, yang sebenarnya sudah tak asing lagi pada kami, para begundal kelas kampung yang kerap nongkrong setiap malam di sekitar pos ronda kompleks perumahan. Mereka akhirnya rela meminjamkan jaket itu, tentu setelah kami memberikan sedikit ancaman.

Setelah itu aku hanya perlu beberapa jam saja untuk menjelaskan rencana-rencana aksi kami pada ketiga pemuda preman kelas nyamuk ini, bagaimana seharusnya kami nanti bekerja.

"Gimana kalau nanti ketahuan, Bang?" tanya pemuda yang berambut panjang, dengan raut wajah khawatir. Wajahnya memang seram, tapi keberaniannya nol besar.

"Maksud lo?"
"Kita bisa dipenjara, Bang!" sambung pemuda bermata sayu, karena terlalu banyak menelan pil anjing itu.
"Tenang. Kita nggak bekerja hari ini. Kita mulai bekerja nanti, setelah semuanya benar-benar siap. Abang yakin dua hari ke depan akan banyak mahasiswa yang turun ke jalan-jalan meminta dana bantuan kemanusiaan. Kita menjadi bagian dari mereka."
Ketiga anak muda bodoh itu nampak berpikir. Lalu ketiganya mengangguk-angguk, entah bingung atau apa.

Sehari kemudian, kembali kudengar berita korban gempa itu bertambah menjadi tiga ribu orang lebih! Masih banyak mayat-mayat korban gempa yang masih terkubur dan yang terluka parah tidak tertampung rumah sakit. Itu berarti, dalam kurun waktu dua tiga hari ke depan, korban akan bertambah. Aku masih ingat kejadian di Aceh dulu, bantuan yang datang sangat lamban, karena terhambat oleh rumitnya birokrasi. Mau memberi sekarung beras, tanda tangan dulu barang dua tiga rangkap surat. Aku jadi ingat iklan televisi, "Tanya Kenapa..??" Padahal ribuan orang yang menunggu makan dan butuh pengobatan mengantri. Tak heran bila korban yang mati bertambah-tambah. Sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan hal seperti itu. Bagiku, tambah korban tambah baik. Sebab akan membuat orang-orang makin tersentuh hatinya untuk membantu. Dengan begitu, kesempatan mereguk pendapatan makin bertambah besar buatku.

Keesokan harinya, kami berempat memakai jaket mahasiswa, lalu membawa dua buah kardus berukuran sedang menuju jalan raya. Untuk menghilangkan kemungkinan orang curiga, kami memakai topi atau kain penutup kepala, sebagai alasan melindungi diri dari sengatan matahari. Padahal, kami menghindar dari kemungkinan dikenali orang.

Kardus itu hanya perlu diberi sedikit pengumuman, agar orang-orang di jalan tahu untuk apa kami melakukan semua ini. "AMAL PEDULI GEMPA YOGYA", demikian tulisan yang tertera di bagian sisi depan kardus yang kami bawa ke tengah jalan protokol. Aku dan satu pemuda menyorongkan kardus itu pada mobil-mobil yang melintas, dua lainnya mengatur arah lalu-lintas.

Hari pertama turun ke jalan meminta amal pendatapan kami memang belum begitu banyak. Tetapi memasuki hari kedua dan ketiga, ketika menurut berita jumlah korban gempa itu mencapai hampir enam ribu orang, lembaran-lembaran rupiah yang kami peroleh sungguh mencengangkan. Setengah karung beras hampir penuh terisi lembaran uang kertas!

Karung berisi uang itu kami simpan secara diam-diam di dekat pos ronda. Hanya kami berempat yang tahu. Orang lain tak akan menaruh curiga, atau menduga sebuah karung dipenuhi lembaran-lembaran uang kertas sebanyak itu.

Setelah sekitar sepuluh hari meminta-minta amal, jumlah yang terkumpul sekitar dua karung setengah. Setengah karung kami berikan ke posko peduli, dan dua karung yang lain masih kami simpan di dekat pos ronda. Kami sebenarnya bingung, akan ditaruh dimana dua karung berisi lembaran uang itu. Yang jelas, kami takkan mengirimkannya ke lokasi gempa di Yogya dan sekitarnya, melainkan untuk diri kami sendiri.

Untuk menghilangkan kemungkinan orang-orang di sekitar pos ronda curiga, kami menyatukan dua karung berisi lembaran uang itu pada karung tahi ayam di sekitar kebun milik Pak Haji Markum, pemilik usaha tanaman hias di ujung kompleks perumahan. Tentu saja bagian dalam karung itu lebih dulu kami lapisi dengan plastik, agar tidak tertembus oleh air bila hujan datang.

Setelah selama seminggu menyimpannya, menurut jalan pikiranku yang kuanggap brilian ini, kami harus menunggu malam lebih dulu untuk membuka karung berisi uang itu, lalu membagikannya kepada ketiga pemuda yang telah membantuku. Aku memang sengaja tidak langsung memberikan pendapatan dari hasil meminta amal di jalan itu, karena pada hari ketiga meminta amal, seorang mahasiswa mendatangiku, dan tanya ini itu soal hasil penarikan amal yang akan diserahkan ke posko peduli gempa. Kukatakan bahwa uang itu akan langsung kami serahkan ketika kami selesai, dan setengah karung itulah jumlah uang yang kami laporkan. Dua karung sisanya, menumpuk bersama-sama karung-karung berisi tahi ayam yang digunakan untuk pupuk tanaman. Aku memang sengaja menyamarkannya, seperti yang dilakukan para penjahat di film-film televisi.

Malam hari ketika kami berempat hendak mengeluarkan isi karung itu, kami terkejut bukan main karena dua karung berisi lembaran-lembaran uang itu telah raib bersama karung-karung lainnya. Dengan pura-pura bodoh, kami pun menanyakan pada Haji Markum, dimana ia letakkan karung-karung pupuk tahi ayamnya itu. Pak Haji bilang, karung-karung itu sudah dipindahkan ke sekitar kebun hias dagangannya di ujung kompleks perumahan.

Kami segera bergerak menuju lokasi yang dimaksud, tentu saja tanpa harus menarik perhatian Pak Haji Markum. Dan, kami berhasil menemukan karung-karung itu, namun kami tak bisa membedakan mana karung berisi tahi ayam, dan mana yang berisi uang. Karung-kerung itu dalam posisi menumpuk, dan kami bersiap-siap memeriksa satu persatu.

Ada sekitar lima belas karung yang menumpuk, tujuh diantaranya sudah kami periksa, dan semuanya berisi tahi ayam! Kami pikir, berat karung berisi uang lebih ringan daripada berat pupuk kandang sialan itu. Nyatanya, kami tidak bisa membedakan mana karung berisi uang dan mana yang berisi tahi ayam! Setelah semua kami periksa, ternyata semuanya berisi tahi ayam. Karung-karung itu pun kami periksa lebih teliti lagi, nyatanya tetap saja karung-karung itu berisi tahi ayam. Akhirnya kuputuskan menanyakannya pada Pak Haji Markum. Jangan-jangan beliau tahu apa yang ada di dalam karung itu.

"Memang ada dua karung lagi yang saya simpan di dalam gudang belakang rumah. Saya memang pesan lima belas karung, tapi setelah dihitung ada tujuh belas. Saya harus jujur, dan ingin mengembalikan dua karung itu pada penjualnya," ujar Pak Haji Markum, dengan raut wajah keheranan.

"Kenapa kalian tanyakan itu? Kok kalian bisa-bisanya tahu soal karung-karung tahi ayam buat pupuk kandang kebun saya itu?" tanya Pak Haji Markum kemudian.

Kami semua tak bisa menjawabnya. Aku segera berlari ke gudang belakang, dan menemukan dua karung itu. Setelah itu meminta pada Pak Haji, agar kami diperkenankan membeli dua karung itu, dan nantinya diteruskan pada si penjual karung tahi ayam.

"Terserah kalian. Silahkan kalian bawa dua karung sisanya itu, nanti soal pembayarannya saya yang mengurus. Yang penting, kalau si tukang tahi ayam itu datang, uangnya sudah tersedia," ujar Pak Haji, sambil memandangi dua buah karung yang sudah berada di atas punggung dua pemuda temanku. "Baik Pak Haji. Pak Haji tenang aja. Nanti sore uangnya akan saya berikan." Setelah itu, tanpa basa-basi lagi, kami membawa dua karung itu menuju sebuah rumah kosong di sudut kompleks perumahan. Dengan nafas terengah-engah, kami semua sudah merasa tidak sabar untuk membagi-bagikan isi karung itu. Karung pertama dibuka, isinya ternyata tahi ayam. Karung kedua pun dibuka, dan isinya tahi ayam juga!

"Brengsek! Pantes aja berat!" keluh si pemuda yang berambut gondrong. "Hueeek, bau banget!!" umpat yang lain.
Kami semua saling pandang. Kami bingung, di mana karung berisi uang-uang hasil sumbangan orang-orang di jalan itu. Pak Haji Markum tak mungkin tahu. Apalagi orang-orang di sekitarnya. Jangan-jangan, karung berisi uang amal kemanusiaan yang kami kumpulkan di kedua karung itu memang sudah berubah menjadi tahi ayam?***

Pamulang, Akhir Mei 2006