Alih-alih
Senin, 16 November 2009 by: Forum Lingkar PenaCerpen Pipiet Senja
Dimuat di Republika 12/11/2006i
Tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh suara-suara keras, membentak dan menghardik. Oh, lebih dari itu, mereka pun memaki-maki, menyumpahi, menyerapah dan... Deeesss! Sebuah sikutan sangat keras telak sekali menghantam tulang iganya.
"Waaa... sakiiit!" Dia menjerit kaget.
"Cepat sereeet! Keluaaar!"
"Sebentar, sebentar... kalian siapa?"
"Keluarkan dia dari pesawaaat!"
"Iya, nanti bomnya keburu diledakkan di sini!"
Dia yakin, beberapa menit berselang dirinya ketiduran, melayang-layang di zona penerbangan antara India dengan Indonesia. Dia juga masih ingat, teman perjalanan di sebelahnya adalah seorang wanita 40-an, berwajah cantik, anggun dan terkesan perkasa. Sosoknya mengingatkan dia kepada pejuang wanita Cut Nyak Dhien.
Mereka sempat ngobrol ngalor-ngidul, dan dia langsung mengagumi retorika serta semangatnya. Siapapun yang bersinggungan secara santun dengannya, niscaya orang itu bisa ikut merasai daya juang yang dimilikinya. Dia sendiri saat itu lebih banyak mendengar, membiarkannya memegang kendali perbincangan. Sesungguhnya topik percakapan mereka telah menyentuh ke persoalan kemanusiaan, penderitaan, ketakadilan dan ketertindasan bangsa-bangsa di dunia ketiga.
Sekarang matanya benar-benar sudah melek. Tak ada lagi teman perjalanan bersahabat yang pernah dikenalnya itu. Dia mulai menghitung, ternyata ada lusinan orang berseragam mengelilinginya. Sikap lelaki-lelaki berotot itu sungguh tak bersahabat. Dan peralatan yang mereka bawa, apa itu? Mirip pasukan gegana saja. Hanya dalam hitungan menit, mereka telah menggiringnya keluar pesawat. Tak ada siapapun lagi dalam pesawat, kecuali dirinya dengan orang-orang berseragam yang berangasan itu!
Seketika dia tak dapat merasakan kakinya menjejak lagi ke bumi. Dua orang berseragam telah menyeret dan menyeretnya terus, bahkan kemudian mengangkatnya. Tepatnya, dua orang berseragam serba hitam itu tak membiarkannya menginjakkan kakinya kembali ke bumi.
Di luar malam menyambutnya dalam hening yang mencekam. Terawangannya kembali mengapung di tampuk matanya. Lihatlah di sekitar bandara ini. Bola-bola lampu bagaikan mata penonton yang berkedap-kedip, menyaksikan dirinya, teman-temannya melenggak-lenggok memamerkan kemolekan tubuh. Peragaan bikini di kolam renang, wawancara yang disorot kamera dunia, perpaduan antara kecantikan dan kecemerlangan otak. Bukankah itu suatu hal yang sangat membanggakan?
Meskipun kemudian diberi tahu oleh adiknya bahwa keberadaannya di ajang internasional diprotes berbagai kalangan. Tapi dia tenang-tenang saja, apalagi saat mendapat aliran semangat dari para seniornya. Baik melalui sms maupun telepon langsung dan imel.
"Biarkan gukguk menggonggong."
"Kamu bukan bagian dari gukguk itu."
"Maka tetaplah melangkah!"
"Ratu Sejagat... hiduuup!"
Tentu saja aku hidup, teriaknya dalam hati. Buktinya sekarang ia bisa merasai tindak kekerasan dan pelecehan. Dan ia tersentak dalam kubangan kemasygulan. Dunia glamor telah berlepasan satu per satu, repih demi repih dari tangannya. Hanya menyisakan kenangan semata dalam otaknya! Mereka menyeretnya terus, semakin cepat dan kasar, tubuhnya serasa lemas, kaki-kakinya sungguh tak menapak lagi. Dia masih bisa mendengar si komandan terus saja menyerukan perintah pengamanan, pengendalian, dan segalanya yang tak ada hubungannya dengan dirinya.
Seharusnya aku disambut meriah, gerutunya dalam hati. Bukankah panitia pernah menjanjikan gelar konferensi pers, diliput berbagai media massa. Tidak, tak ada penyambutan meriah kecuali sepasukan mengerikan dan teror! Ruang karantina imigrasi. Jelas, mereka telah salah tangkap. Memangnya siapa aku yang telah bikin pasukan keamanan Ibukota geger dan seheboh itu melakukan pengamanan seluruh kawasan Bandara Sukarno-Hatta? Sejuta tanya hanya berloncatan dalam hati. Kepalanya mulai mereka-reka, apa sesungguhnya yang mereka harapkan dari dirinya? Penghargaan, trophi dan bingkisan-bingkisan yang diberikan para sponsor? Semuanya masih di bagasi. Ia tak menemukan apapun di otaknya selain dampak kekacauan yang telah dijejakkan pasukan itu dalam sepuluh menit terakhir. Apakah dirinya harus menyerah begitu saja? Bukankah ini bukti nyata dari ketakadilan, ketertindasan tanpa hukum dan kebenaran? Tanpa bisa ditolak lagi, interegosi pun dimulai.
"Duduuuk!"
"Eeeh... ya, duduk ya duduk."
"Jangan berlagak pilon! Kami tahu benar, Saudari ini seorang intelektual yang brilian. Saudari baru pulang dari Arab Saudi, mengikuti konferensi tingkat dunia."
"Kalian salah tangkap!" serunya tertahan, dadanya mulai terasa sesak. "Kami benar! Ini coba dengar data Saudari yang ada di tangan kami. Nama Ummu Kulsum alias Al Hamasah. Umur 42 tahun, kelahiran Palestina, dibesarkan di Perancis."
"Bukan! Namaku Siti, gak pakai alias-aliasan! Nanti kujelaskan! Pokoknya nama asliku Siti binti Sarjang. Biar keren dan marketable, kata agenku, diganti menjadi Kristinasari. Umurku gak setua itu, apa kalian gak bisa lihat penampilanku?"
"Diaaam!"
"Aku ini asli orang Sunda, desaku di Tanjungkerta, rumah dan keluargaku di Gunung Halu."
"Sudaaah! Tutup mulut!"
"Aku kuliah di Bandung, lagi nyiapin skripsi waktu datang undangan ikut kontes Puteri Indonesia. Aku menang, kalian tahu kaaan? Aku ini Puteri Indonesia yang diselundupkan ke mancanegara untuk mengikuti kontes Ratu Sejagat!"
Ia menceracau tanpa henti. Ia masih berharap suaranya didengar dan dicermati oleh seseorang yang bisa memahami kondisinya. Ia juga berharap bisa melihat sosok lain yang lebih bersahabat. Tidak ada! Ruangan ini sangat tertutup. Apakah ini ruang interogasi khusus untuk para penyelundup, pendatang haram, kriminal dan buronan internasional. Bulu kuduknya seketika meremang hebat! "Percuma saja bicara dengan kalian." Ia bangkit, mengitarkan pandangnya kembali ke sekelilingnya. Lelaki-lelaki itu memiliki tatapan yang dingin, sangat dingin dan kaku sekali. Tak ada kompromi di sini!
"Duduk! Saudari mau ke mana?" perintah lelaki paling berkharisma di antara selusin lelaki berseragam dalam ruangan itu.
"Aku bukan orang yang kalian cari!" Ia berdiri tegak, meskipun dipelototi para lelaki yang siap secara maraton menginterogasinya. Seseorang kembali menghentakkan bahu-bahunya dengan kasar sekali, sehingga ia kembali terhenyak di bangku jelek yang keras.
"Kita kembali ke awal, ya. Kami harap Saudari bisa kerja sama. Nama Saudari? Kenapa nama kerennya seperti nonmuslim?"
"Sudah kubilang tadi, itu nama bikinan agenku."
"Tempat dan tanggal lahir?"
"Kalian sudah tahu itu!" ketusnya sebal sekali.
"Iya, ini biar dicocokkan!" sergah si wibawa, ia baru mencermatinya, kepala besar, kumis baplang, perawakan tinggi dan buket! Iya, bau ketek! "Tempat kelahiranku di Gunung Halu, 17 Nopember."
"Pasti tahun 1961!"
"Bukan, aku kelahiran 1981!" Ia melihat orang-orang itu saling pandang dengan tatapan sinis. Ada juga yang geleng-geleng kepala dan berdecak. Seakan-akan mereka mulai yakin ada yang tak beres di otaknya.
Menit demi menit berlalu, beranjak pula menjadi jam demi jam yang seolah-olah sangat enggan bergeming. Sepanjang sisa malam itu, akhirnya, mereka habiskan di ruang interogasi. Pertanyaan memutar-mutar, nyaris tak bergeser dari identitas dirinya, dan aktivitas yang digelutinya. Ia merasa telah menghabiskan seluruh enerjinya, tatkala menyadari malam telah merayap ke ujung dinihari. Begitu banyak pertanyaan dilontarkan, tapi tak satu pun yang bisa dijawabnya dengan benar.
"Aku gak paham dengan jalan pikiran kalian! Bagaimana mungkin aku diposisikan sebagai seorang teroris?" "Saudari memang teroris yang lagi dicari-cari dunia internasional!"
Mereka menjebloskannya ke sebuah ruangan sempit, pengap dan bau kecoa. Sejak saat itu jam demi jam berdetak-detik dengan sangat tak karuan. Kegemparan menguntit bayangnya ke mana pun dirinya bergerak. Tidak, bukan bayangan realita. Karena di ruang sempit dan pengap itu sama sekali tak ada sepotong cermin sekalipun.
Pada hari ketujuh, tatkala dia nyaris putus asa, datanglah seorang petugas yang mengeluarkannya dari ruangan pengap. banyak kecoa dan tikus yang berseliweran di situ. Di sebuah ruangan serba hijau dengan bola lampu khusus untuk interogasi, seorang lelaki berkepala plontos telah menantinya.
"Kami akan melepaskan Saudari dengan syarat Anda mengakui segalanya. Tentang identitas Anda, aktivitas.... Semuanya sudah kami konfirmasi. Mereka menyatakan tak punya sangkut-paut apapun dengan Anda. Ini surat pernyataan dari orang-orang yang Saudari sebut sebagai agen dan panitia." Lelaki itu memamerkan berkas-berkas di atas mejanya.
Dia, perempuan yang telah disekap di ruang karantina Cengkareng itu, segera mencermatinya, dua lembar surat pernyataan dengan stempel berarti resmi. "Kami akan mendeportasi Saudari ke Amerika!"
Beberapa saat kemudian segalanya berlangsung begitu superkilat. Ia dikawal ketat pasukan anti-teroris, menuju sebuah pesawat berbendera Amerika. Sia-sia ia menjeritkan protesnya, karena mulutnya kini diberangus bak seekor hyena liar yang bisa membahayakan sekitarnya. Jarak dirinya bersama para pengawalnya semakin dekat dengan pesawat itu, semakin dekat, semakin dekat.... Sebuah suara berteriak dari kejauhan!
"Alooow... Ummu Kulsum selamat jalaaan!" Ia menoleh, matanya membelalak lebar. Sosok itu, gadis cantik bertubuh ramping dengan rambut ikal mayang itu, bukankah itu dirinya? Mengapa ia berada di seberang sana bersama rombongan kecil. Bukankah itu adiknya, Asep bin Sarjang? Jay Julian dan Marcelina Gurindam?
Sebelum ia sempat bereaksi atas sensasi itu, mereka telah mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparkannya ke pintu pesawat. Dan di sanalah, di pintu pesawat yang ada cerminnya itu, matanya menangkap sosoknya saat ini; seorang perempuan berumur 42-an, berwajah anggun dan terkesan perkasa.***