Anak Ibu (3)

Selasa, 28 Februari 2012 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Jawa Pos, 26 Februari 2012

Anak yang baik adalah anak yang dapat memelihara hati ibunya.


Alun-alun Surga

Seorang wanita. Seorang ibu. Melahirkan. Membesarkan. Merawat. Apa yang sebenarnya ia lakukan kepada anaknya? Begini. Seorang anak. Anak satu-satunya. Anak perempuan. Anak manis. Gadis periang. Bermain dengan teman-teman. Sebayanya. Semua laki-laki. Ibu khawatir. Kita akan pindah, Nak. Anak mengangguk. Ah, anak yang baik. Kau tak takut kehilangan teman-teman? Anak menggeleng. Ah, anak yang baik. Mereka pergi. Mengembara. Ke desa. Ke desa. Desa demi desa. Teman demi teman. Kebaikan demi kebaikan. Keganjilan demi keganjilan. Kebaikan demi kebaikan. Keburukan demi keburukan. Kebaikan demi kebaikan. Keanehan demi keanehan. Kebaikan demi kebaikan. Stop! Kita tinggal di sini. Bermainlah. Ke alun-alun. Jumpai teman-teman. Kau sudah beroleh pelajaran dari pengembaraan, bukan? Anak tersenyum. Senyum yang merah. Senyum yang manis. Lalu mengangguk. Anggukan yang melegakan. Apa, Nak? Katakanlah. Anak menyerbu. Memeluknya. Lalu terisak. Pekebun yang baik takkan lelah membawa bibit ke mana-mana. Pada sepetak tanah. Yang subur menyuburkan. Pekebun yang baik takkan lelah melindungi bibit. Di bawah awan-gemawan. Yang suci mensucikan. Ibu tersenyum. Merenggangkan pelukan. Menatap mata Anak. Mata yang celik. Mata yang berbinar. Bagai ada kunang-kunang yang terperangkap. Di dalam matanya. Dan anak yang baik selalu percaya: Seorang ibu takkan menyiramnya dengan air keras. Ibu menyipitkan sebelah mata. Lalu tertawa. Anak juga tertawa. Pecah-rincah! Anak mencium punggung tangan Ibu. Pergi. Ke alun-alun desa. Ke alun-alun surga.


Ibu yang Adil

Raja datang. Ibu masih berbaring. Istirahat. Di tempat tidur. Raja mengetuk pintu. Ibu bilang: Aku lelah sekali. Aku tahu. Ibu penasihat kerajaan. Tapi kenapa Ibu seperti melecehkan raja? Kenapa, Nak? Kau tidak suka dengan sikap Ibu? Tidak, Bu. Ibu pasti punya alibi. Kenapa melakukan itu. Ibu tersenyum. Dan bilang: Lihat lagi. Rupanya raja belum puas. Diutus perdana menteri. Kali ini Ibu bangun. Membuka pintu kamar. Terkuak setengah. Aku masih lelah, kata Ibu. Kembalilah petang nanti. Akhirnya. Diutus seorang prajurit rendahan. Pukul lima petang. Ibu gegas bangun. Membuka pintu. Menuruni anak tangga. Mempersilakannya masuk. Menyuruh Anak membuatkan teh. Teh yang mahal. Teh bunga mawar. Prajurit kikuk. Prajurit menyeruput teh. Meminumnya. Sampai habis (entah karena nikmatnya teh—entah karena gugupnya jantung). Nah, Anakku. Setiap orang punya kedudukan. Setiap pohon punya ladang. Setiap hidup harus seimbang. Setiap perkara harus ditimbang. Tunjukkan: Kepada yang bergelimang hormat, ambillah sedikit kebanggaannya. Kepada yang dibelit kehinaan, suguhkan ia kehormatan. Walaupun hanya dengan bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar. Menuruni jenjang. Membuka pintu rumah. Mempersilakannya duduk. Menjamunya. Di ruang tamu. Dengan secangkir teh.


Apakah Orang-orang Akan Menjadi Kambing Berjamaah?

Orang-orang berkerumun. Ibu dan Anak mendekati. Ikut berkerumun. Seorang wanita tua. Berjubah bludru. Berkerudung ungu. Aku adalah penyanyi dari surga! Suaranya bergema. Menggetarkan. Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia bernyanyi. Orang-orang tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Ibu bertanya. Maaf, Penyanyi. Penyanyi dari surga. Suara apa yang paling susah kautiru? Ibu menanti jawaban. Orang-orang menanti jawaban. Orang-orang memeram penasaran. Suara al Kindi dan Mencius, jawab wanita itu. Orang-orang mengangguk-angguk. Ibu bertanya. Lagi. Wanita itu mendelik. Menantang. Lalu. Suara apa yang paling mudah ditiru? Wanita itu diam. Lalu terkekeh. Terbahak-bahak. Sungguh. Suaranya bergema. Menggetarkan. Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia bernyanyi. Orang-orang tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Suara wanita itu. Ia menjawab: Suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan! Orang-orang terperanjat. Tubuh mereka menggigil. Mereka takjub. Mereka ketakutan. Mereka terperangkap. Tapi tidak buat Ibu dan Anak. Ibu menggamit tangan Anak. Keluar dari kerumunan. Pergi. Meninggalkan kerumunan. Ibu, ujar Anak. Mengapa kita berlalu. Tidakkah kita ingin membuktikan kehebatannya? Seperti apa nian suaranya. Suara dari surga itu. Diam, Nak. Dia penipu! Bagaimana Ibu tahu? Kita belum pernah mendengarnya. Siapa tahu dia memang hebat. Penyanyi dari surga! Ibu menghentikan langkahnya. Menatap Anak. Belajarlah. Berkhidmatlah. Hayatilah hidup. Bila pun ia kumandangkan suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan, apakah akan kauiyakan? Apakah orang-orang akan menjadi kambing berjamaah? Kalian tidak memiliki bandingan! Anak diam. Ya, Bu. Wanita itu takkan dapat meniru al Kindi dan Mencius. Kita hidup bersamaan dengan pandai musik jagat raya dan orang nomor dua setelah Konfusius. Dia takkan bisa meniru. Tapi kupikir. Dia bukan penipu, Bu. Lalu apa, Nak? Dia itu Iblis. Kau juga tahu dari mana ia datang, bukan? Anak mengangguk. Dari neraka!


Jangan Pulang Hanya Karena Rindu

Lonceng. Berdentang. Berdetang-dentang. Nyaring. Cempreng. Seorang anak. Berlari. Melewati pasar. Lalu permukiman. Lalu kali-kali. Lalu jembatan. Jembatan-jembatan kecil. Ibu! Seorang ibu sedang menganyam. Daun-daun pandan kering. Bersalih-silang. Membuat terindak. Semacam caping. Pengganti payung. Ibu menoleh. Air mukanya lelah. Kau pulang cepat? Tidak, Bu. Sekolah yang cepat kelar. Kenapa? Ada rapat. Rapat guru. Kau berbohong? Tidak, Bu. Kau berbohong! Ibu menunjukkan sebuah terindak. Terindak setengah jadi. Kau lihat ini? Ia menunduk. Kau lihat ini?! Ia masih menunduk. Ibu meraih dagu Anak. Mengangkatnya. Mau tidak mau. Ia menatap terindak. Crashhh!!! Terindak bagai kertas yang disobek. Hancur. Berserakan. Daun-daun cokelat muda luruh. Kenapa kau pulang cepat? Ia meneguk liur. Ia masih menatap daun-daun pandan kering yang berserakan di ujung kakinya—kaki ibunya. Baiklah, Ibu. Kalau Ibu tak percaya. Dada Ibu megap-megap. Menahan buncah. Meredam marah. Aku tak peduli, kata Anak. Aku tak peduli. Pada lonceng. Suara lonceng. Dentangnya yang cempreng. Hari ini…. Ia terisak. Kenapa? Ibu membentak. Hari ini…. Lanjutkan! Suara Ibu makin keras. Hari ini…. Aku-aku-aku. Aku-aku-aku. Sangat merindukanmu Ibu. Di sekolah tadi. Aku berpikir. Bagaimana kalau Ibu tidak ada lagi. Aku-aku-aku. Merindui. Ibu. Aku tak butuh alasan untuk itu ‘kan, Bu? Ibu meninggalkannya. Menekuni daun-daun pandan yang kering. Menganyam lagi. Terindak. Terindak-terindak. Untuk berteduh. Kalau-kalau di surga nanti. Masih ada gerimis. Masih boleh menangis.


Kalau Lapar, Makanlah

Bila Lelah, Istirahatlah

Ibu. Ibu. Ibu, aku ingin bertanya. Ya, Nak. Aku punya tugas. Dari guru. Guru Agama. Ya. Kami dimintai pendapat. Pendapat sendiri. Kalau bisa bukan dari orang hebat. Bukan juga dari kitab suci. Ya. Apa itu, Nak? Apa. Apa. Apa. Apa hal sederhana. Hal yang dilakukan. Demi menjadi orang baik? Ibu tersenyum. Apa, Bu? Ibu masih tersenyum. Jadi ‘tersenyum’ jawabannya. Ibu menggeleng. Lalu? Lalu apa, Nak? Anak mencubit Ibu. Pinggang Ibu. Ibu menggeliat. Geli. Sedikit nyeri. Geli. Sedikit geli. Kalau lapar, makanlah. Bila lelah, istirahatlah. Anak mengerutkan kening. Bibir monyong. Telunjuk memilin rambut sebahu. Melirik Ibu. Ibu main-mainkah? Ibu menggeleng. Cepat sekali. Ibu main-main, ya? Ibu menyentuh bahu Anak. Anak diam. Ibu mengangkat tubuh Anak. Anak diam. Ibu mendudukkannya. Di atas kursi. Anak diam. Ada yang salah, Nak? Anak diam. Katakanlah. Orang-orang yang gelisah adalah orang-orang yang hidup. Anak diam. Lalu menghela. Dua kali hela. Bukankah itu yang dilakukan kebanyakan orang, Bu? Ibu menggeleng. Anak diam. Kebanyakan orang serakah, Nak. Anak diam. Ketika lapar, mereka memikirkan kereta kencana. Ketika istirahat, mereka mengimpikan mutumanikam dari utara. Mereka tidak makan. Mereka tidak istirahat. Mereka seolah ingin menunjukkan kuasa: Manusia mampu mengerjakan segala. Kau tahu, Nak. Mereka mengejar kerumunan bebek. Alih-alih menangkap semua. Alih-alih dapat banyak. Satu pun lepas genggaman. Anak diam. Diam. Diam saja.


Seratus Tahun Menjadi Ibu

Aku mengagumimu. Ibu. Ibuku. Tinggalkanlah daun-daun pandan itu. Ibu mengangguk. Menatap Anak. Baiklah. Ada apa, Nak? Berapa lama waktu yang kubutuhkan? Untuk apa, Nak? Untuk menjadi sepertimu Ibu. Ibu tertawa. Meraih daun-daun pandan. Ibu. Jangan bercanda, Nak. Ibu tengah membuat terindak. Bukan ketupat hari raya. Aku serius. Bu. Aku sungguh. Penuh. Penuh dan seluruh. Ah, bahasamu, Nak. Anak terkekeh. Baiklah. Lima belas tahun, bagaimana? Apa?! Terlalu banyak orang mati hanya karena terkesiap, Nak? Anak jadi malu. Wajahnya memerah. Bagaimana kalau aku belajar jauh lebih sungguh-sungguh, Bu? Sungguh? Iya, sungguh! Sungguh penuh dan seluruh? Ya, penuh dan seluruh. Baiklah. Tiga puluh tahun, cukup? Anak tertawa. Ibu, aku serius! Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Gemas. Melihat tingkah Anak. Nak, Nak, Anakku. Bila serius adalah daun… maka jawabku adalah kanopinya. Anak diam. Bila Ibu bermetafora. Pertanda ia menyebar hikmah. Baiklah, Bu. Demi Tuhan Yang Maha Segala. Ya, Nak. Demi Tuhan Yang Maha Segala. Kenapa? Ada apa? Kenapa Tuhan? Ibu. Aku bersumpah. Sumpah! Atas nama Ibu. Atas nama Tuhan, bila perlu. Berapa lamakah bila…. kuhabiskan waktuku untuk belajar. Untuk menjadimu. Ibu melotot. Seratus tahun! Anak terperenyak. Anakku, Ibu membelai rambutnya. Belajarlah dengan hati lapang. Belajarlah dengan kerendahan. Belajarlah dalam kebebasan. Orang-orang yang belajar dalam kekhawatiran takkan beroleh sesuatu apa. Kecuali lelah. Kecuali cemas. Kecuali harapan!


Aku Hanya Ingin Berdiri di Situ

Ibu melamun. Ibu rindu Ayah. Ibu banyak masalah. Ibu menikmati bulan. Ibu menikmati malam. Ibu ingin ke bulan. Ibu bersedih. Ibu gundah. Anak resah. Ia berlari. Memeluk Ibu. Dari belakang. Ia sudah besar. Tangannya bisa melingkari . Di pinggang. Pinggang Ibu. Ibu sedang melamun? Ibu menggeleng. Ibu rindu Ayah? Ibu menggeleng. Ibu banyak masalah? Ibu menggeleng. Ibu menikmati bulan? Ibu menggeleng. Ibu menikmati malam? Ibu menggeleng. Ibu ingin ke bulan? Ibu menggeleng. Ibu bersedih? Ibu menggeleng. Ibu gundah? Ibu menggeleng. Lalu. Lalu mengapa dari tadi ada di situ. Berpayung pohon duku. Melihat bulan. Memandang lepas. Ibu memberi tanda. Anak mendekat. Kau sudah pintar, Nak. Anak mendongak. Ke Ibu. Dagu Ibu. Tapi kau belum bisa menjadi jauhari. Memang tidak! Aku ingin jadi darwis. Darwis perempuan! Tidak! Kau belum bebas. Maksud Ibu? Kau belum lepas. Maksud Ibu? Makanya kau belum bisa mengepak. Anak diam. Dunia bukan cecabang pohon. Bukan meja berukir. Lalu, apakah ada alasan bagi angin untuk meriuhkan daun dan meniup debu-debu? Anak masih diam. Aku hanya ingin berdiri di sini. Di bawah pohon duku. Hanya itu. Tanpa alasan. Tanpa beban. Tanpa ikatan. Bebaskan pikiranmu, Nak. Lalu kautangkap cahayanya.


Pisau

Begini. Ke sini. Rebahkan kepalamu. Di pahaku. Di atas kain-kain. Katun-katun dari Asia. Aku hendak bercerita. Agar kau mawas. Agar kau tak khilaf. Jangan silap. Jangan gelap. Jangan lelap. Begini. Dengar ini. Ada cerita. Seorang ibu. Ibu yang kehilangan pisau. Pisau biasa. Tajam. Tidak terlalu tajam. Juga tidak tumpul. Ia curiga. Anak tetangga mencurinya. Ia mengamati. Terus mengamati. Tekun mengamati. Anak itu berjalan. Berjalan seperti pencuri. Dua minggu setelah itu. Ia menemukan pisaunya. Di tengah rimba. Ia terdiam. Ia menebas-nebas kerimunting. Ia pulang. Besoknya. Anak tetangganya itu berubah. Dilihatnya berubah. Jalannya berubah. Langkahnya berubah. Cara bicaranya berubah. Penampilannya berubah. Seperti anak-anak yang lain. Nah, Anakku. Bukankah manusia banyak yang seperti itu? Seperti ibu yang kehilangan pisau itu? Dongeng selesai. Anak mendengkur. Bagai gong yang bergemuruh. Meluruh. Menutup cerita.


Ia, Segala Puji Bermuara

Pujian sejati adalah kepercayaan yang diberi. Maka, sebelum kita menggali lubang. Sebagai jeda dalam sebuah kisah panjang. Kuganjalkan sebongkah pengaduan di antaranya. Antara kau dan aku. Anak dan Ibu. Gunung dan lembah. Sungai dan lubuk. Aku melahirkanmu. Kau memanggilku Ibu. Aku memanggilmu Anak. Dua beranak. Aku memercayaimu sebagai anak sebagaimana Tuhan memujiku dengan menganugerahimu. Dan aku sudah percaya. Kau tidak akan jauh-jauh. Kau hanya akan bermain. Di alun-alun. Tapi kutunggu. Kutunggu dan kutunggu. Tapi kucari. Kucari dan kucari. Kau tak kunjung menyambangi. Anakku. Begini saja. Aku yakin. Kau akan-dan-pasti datang. Menyongsongku di siang yang lekat. Aku merinduimu, Bu, serumu kelak. Sungguh. Ah, pasti begitu. Hmm, Tuhan. Kau memang menurunkanku. Kau memang meniupkan anak ke dunia. Tapi aku… seorang ibu. Mengandung. Melahirkan. Membesarkan. Merawat. Apakah masih perlu dijawab: Apa yang sebenarnya kulakukan kepada anakku? Aku lebih mengetahui. Paling mengetahui. Mungkin. Mungkin juga daripada-Mu. Maka, Kau tak perlu menculiknya. Karena aku telah memuji-Mu. Dengan memercayai-Mu. Untuk memeliharanya. Di sana. Di alun-alun. Alun-alun surga. Ambillah. Ambillah anakku!


Ibu yang baik adalah ibu yang memercayai Tuhan memelihara anaknya. (*)


Lubuklinggau, 10-11 Oktober 2011

Catatan:

Anak Ibu (1) dimuat Koran Tempo (Mei, 2009), dan Anak Ibu (2) dimuat Jawa Pos (Februari, 2011)