Tarian Kupu-Kupu

Minggu, 22 Agustus 2010 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Fahri Asiza
Dimuat di Nova, 0
9/08/2010

“Bapakmu mana?”
“Bapakku sudah mati. Bapakmu?”
“Hmm… bapakku, sudah kuanggap mati.”

Penggalan percakapan itu masih menari-nari di bantaran benakku, tanpa menyisihkan sedikit pun suasana lalu yang tergambar. Kala itu kami duduk berdua, di batang pohon yang menjorok ke sungai beraliran deras. Senja telah menyebar menyingkap siang yang meranggas.

Seharusnya tempat yang tidak nyaman itu membuat kami gemetar, karena bisa saja batang pohon itu tiba-tiba menghempas ke sungai dan menggulung kami dalam derasnya aliran.

Kuingat pula Kholid bercerita, pagi itu, belasan tahun yang lalu, dia bangun sebelum ayam jantan berkokok, mengendap-endap di antara semai belukar dan pohon jati, mengintil bapaknya yang menyusup udara dingin membawa buntalan.

Sejak beberapa malam sebelumnya hatinya diundang tanya berkepanjangan, apa yang bapaknya lakukan setiap pagi, membuka pintu kamar, meninggalkan ibu yang terlelap lalu terburu-buru keluar rumah.

Kalau hari-hari sebelumnya bapak tidak membawa apa-apa, tetapi tadi dia membawa buntalan. Semalam Kholid mengintip, bapaknya diam-diam memasukkan beberapa baju dan mencuri perhiasan ibunya.

Bapak mau kabur! Begitu yang ada di otak kecilnya yang sedikit demi sedikit mulai bisa berpikir tentang sikap aneh bapaknya hari-hari terakhir. Bapak tetap bersikap manis, selalu tertawa, pada dirinya, ibunya dan si bungsu yang baru bisa bicara ba-ba-ba. Tetapi Kholid tahu kalau bapak menyimpan rencana. Yang tak pernah dia tahu, apa yang direncanakannya kecuali pagi itu terburu-buru keluar seperti dikejar wabah kolera.

Di ujung jalan kampung berbatu dan kalau pagi seperti ini bukan sebuah jalan yang enak ditempuh tanpa penerangan, bapaknya berhenti, berbisik memanggil-manggil. Kholid tak menangkap apa panggilan itu, tetapi yang jelas, dia melihat seorang wanita tiba-tiba keluar dari kegelapan, berkata-kata yang menunjukkan kelegaan dan bilang kalau dia hampir mati menunggu bapaknya di situ. Keduanya berpelukan, lalu bergandengan tangan penuh bahagia melangkah meninggalkan tempat itu.

Sampai di sana pengintilan yang dilakukan Kholid. Selebihnya dia sudah bisa memamah apa makna dari sikap bapaknya yang sangat aneh dan terburu-buru. Ibu hanya berkata tetapi dengan sikap menutupi kesedihannya kalau bapak tidak pulang-pulang karena ada pekerjaan yang memang membutuhkan waktu lama.

Kholid hanya mendengarkan dengan menekan pedih dalam-dalam. Ibu selalu tersenyum dan tetap bersahaja membesarkannya dan adiknya. Hingga ibunya meninggal, Kholid tidak pernah memberitahu kalau dia tahu kemana dan dengan siapa bapaknya pergi.

“Kemana?” tanyaku kala itu, angin senja menyisir wajah kami berdua. Kulihat kemarahan tergambar jelas di raut Kholid.

“Pergi dengan gendaknya, wanita busuk yang hanya akan melukai hati ibuku bila kukatakan kebenarannya.”

Setelah itu kami buru-buru turun. Bila mendekati malam seperti ini, kupu-kupu akan banyak beterbangan di ladang. Kami pun asyik mengejar kupu-kupu yang menari-nari hingga Magrib datang menyeru alam sembari tertawa-tawa gembira.

Bila sudah mengikuti kupu-kupu menari tak terlihat lagi kemarahan di wajahnya. Dia bisa begitu ekstasi mengikuti kemana kupu-kupu pergi. Tak pernah menangkapnya, hanya melenggak-lenggok menikmati gemulai indah ciptaan Tuhan.

***

Tiga tahun kemudian setelah kematian ibunya, Kholid pergi entah kemana. Padahal usianya baru sebelas tahun. Adiknya dititipkan pada pamannya yang tinggal di desa seberang, yang kemudian kudengar dijual pada seorang wanita dari Jakarta, karena dia tak mampu menghidupinya.

Hal itu sudah kukatakan pada Kholid ketika tak sengaja kami bertemu pada acara pernikahan sahabatku di gedung mewah ini. Rupanya Kholid sahabat dari mempelai wanita. Ketika pertama kulihat, sungguh tak kukenali. Dia telah berubah menjadi lelaki gagah yang tampan dengan jas bagus yang menawan. Tetapi bekas luka pada lehernya membuatku teringat siapa lelaki yang berdiri di hadapanku ini. Dulu, kami sama-sama pernah terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, tak sadar hingga ke tepi jurang. Beruntung masih bisa berpegangan tangan pada akar pohon yang mencuat keluar, namun menyisakan kenangan di leher Kholid. Dia tidak menangis, malah tertawa-tawa hingga akhirnya kami bergulingan sejarak setengah meter dari jurang.

“Kholid?”

“Zulfikar?”

Kami sama-sama mengangguk. Bukan hanya tangan yang kami sematkan, tapi pelukan pun kami pautkan. Sejenak kami tertawa-tawa dan berbicara cukup lama seputar pertemuan yang tak disengaja ini. Dari pertemuan itu kuketahui kalau Kholid sudah menjadi saudagar kain di Jakarta, sementara aku sekarang tinggal di Surabaya, bekerja di sebuah instansi pemerintah.

Lepas dari acara pernikahan, kami sama-sama keluar dibalur keramaian dan malam sahdu menuju pelataran parkir. Mobilnya pun mewah, sementara aku hanya menumpang taksi dan sekarang menginap di sebuah hotel.

Kholid mengajakku menginap di rumahnya, tetapi tawaran itu kutolak, dan berjanji besok aku akan mampir ke rumahnya, karena aku memang sengaja cuti untuk menikmati alam Jakarta selama tiga hari. Justru Kholid yang bilang, dia besok akan menjemputku.

Kembali ke hotel yang cukup nyaman, kubayangkan lagi pertemuan dengan Kholid tadi, sahabat masa kecilku yang tak akan pernah kulupakan. Semenjak dia pergi, sungguh aku direjam sepi. Tak bisa kunikmati berayun-ayun atau sekadar duduk-duduk di dahan pohon yang menjorok ke sungai.

Gairahku pun pudar karena tak lagi kutemui tawanya kala mengikuti gemulainya tarian kupu-kupu di ladang yang mulai diredupi senja. Perginya dia membawa luka dalam rupanya dibalasnya dengan kerja keras hingga menjadi orang. Sungguh, tak kuasa kutahan riak kegembiraanku yang menerbit.

Ah, apakah dia masih menganggap bapaknya sudah mati? Atau barangkali memang bapaknya sudah mati. Malam ini aku tidur dengan nyaman, besok aku akan menunggunya di lobby untuk membawaku keliling Jakarta.

Kholid bukan hanya mengajakku pesiar keliling Jakarta, tetapi juga mengajakku makan di tempat-tempat yang selama ini hanya kudengar dari kawan bicara atau kutonton di televisi. Dia tetap sahabat yang selalu menyenangkan, pandai pula bersikap.

“Kau masih bertengger dan berayun-ayun di dahan pohon yang menjorok ke sungai?”

“Dulu iya, sekarang tentu tidak. Kau tahu, tak ada gairahku lagi untuk berlama-lama di sana semenjak kau pergi.”

Kholid tertawa. “Aku memang harus pergi. Oya, kau masih ingat gerak tarian kupu-kupu yang selalu kita lakukan?”

Aku pun tertawa. “Jelas selalu kuingat. Perut digoyangnya selingkaran, tiga kali ke kanan, tiga kali ke kiri dengan kedua tangan dikepak-kepak layaknya kupu-kupu.”

Kami tertawa berderai. Nikmat apa yang bisa menandingi pertemuan dua sahabat kecil dulu ini. Suasana hangat itu pelan-pelan mulai murung, dimulai pertanyaannya tentang ibuku.

“Ibuku sudah meninggal lima tahun yang lalu.”

“Ah, kau pun yatim piatu pula sekarang.”

“Apakah kau juga yatim piatu?” tanyaku berhati-hati.

Kholid tersenyum tipis setelah beberapa saat hanya menggenggam sendok dan garpunya saja tanpa menyuap. “Sejak dulu pun aku sudah yatim piatu.”

“Kau yakin bapakmu sudah meninggal?”

Kali ini Kholid terbahak-bahak. “Kau lupa yang kukatakan dulu, bapakku kuanggap sudah meninggal. Hingga hari ini pun bapakku sudah meninggal.”

Kutelan ludahnya menangkap kegetiran yang meriap-riap. “Tak kau coba mencari bapakmu?”

Kholid tersenyum tipis. “Untuk apa? Hei, bukankah seharusnya pertemuan kita ini disuguhi hal-hal yang menyenangkan? Bisakah kita tak membicarakan lelaki yang telah melukai hatiku, ibuku dan adikku?”

Terpaksa aku mengangguk. Kembali kilat ceria merona di matanya. Kami lalu menikmati hidangan dengan pesona bahagia tak terkira. Siapa menyangka akan berjumpa lagi dengan sahabat lama? Bukankah ini sebuah anugerah?

Setelah berkeliling Jakarta sekali lagi, Kholid mengajakku ke tempat berniaganya, di sebuah ruko di bilangan ternama. Kukagumi kesungguhan dan keberhasilannya. “Ini hasil kerja kerasku. Aku ingin jadi orang, aku tak ingin jadi seperti bapak,” ujarnya, kali ini tak kusinggung lagi soal bapaknya.

Kholid mengajakku ke ruangannya yang cukup besar. Aku sempat terkesiap sebelum tertawa haru melihat fotoku ada di dindingnya, bergandengan bahu dengan Kholid berlatar belakang ladang dan kupu-kupu yang berterbangan. Aku ingat, dulu, ada tukang foto keliling yang lewat. Dengan uang patungan kami bisa bergaya kala itu.

“Tarian kupu-kupu,” desisnya tersenyum sembari menghidupkan layar komputernya.

Aku tertawa haru sembari menggerak-gerakkan badanku. “Ya, tarian kupu-kupu.” Lalu dia meminta waktu sejenak guna memeriksa data-data usahanya. Kunikmati suasana ini sembari mengkhayalkan lagi masa lalu tak terkira. Lima menit kemudian, pintu diketuk dari luar. Kholid menyuruh masuk tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.

Sesosok tua agak membungkuk dan terbatuk-batuk masuk membawa teh manis. Kholid berkata, lagi-lagi tanpa menoleh, kali ini terdengar dingin, “Letakkan di situ!”

Kuucapkan terimakasih pada sosok tua yang tangannya gemetar ketika meletakkan dua buah cangkir di meja. Tak sengaja kupandangi wajah tua berkeriput yang sarat duka. Bagai dibetot tambang berukuran besar, jantungku mencelat.

Wajah itu, tak mungkin kulupakan meski rautnya dibebani getir kehidupan. Wajah itu, milik sosok manusia yang dibenci Kholid. Wajah bapaknya! Aku tak sempat menegur karena si wajah tua sudah melangkah keluar, tetap dengan kesopanan yang sama saat dia masuk. Tak sanggup menahan lama, aku berdiri, suaraku tercekat, “Kholid! Bukankah dia…”

“Ya, dia bapakku! Tak usah kaubanyak tanya perihal dirinya! Dia harusnya bersyukur karena kutemukan sedang menadahkan tangan di pinggir jalan! Dia harusnya berterimakasih karena aku masih mau menampungnya!” sahut Kholid tetap tanpa menoleh. Lalu berdiri dengan kedua tangan gembira. “Hah, selesai sudah? Kemana lagi kita sekarang?!”

Aku terdiam. Kupandangi wajahnya yang kembali ceria. Apakah kami akan masih menarikan tarian kupu-kupu? Sekarang, aku tak tahu soal itu…***

Mutiara Duta, 4 April – 7 Juni 2010