Wajah-wajah Senja

Rabu, 30 Desember 2009 by: Forum Lingkar Pena

Cerpen Irfan Hidayatullah
Dimuat di Republika, Minggu, 27/12/2009



Aku di belakang mereka. Sama-sama antre. Bedanya, aku pake dasi, mereka pake seragam satpam. Aku mendengar apa yang mereka perbincangkan. Aku mendengar apa yang meraka inginkan. Aku juga mendengar petugas koperasi itu sedikit tidak ramah menerima mereka. Tapi, aku hanya bisa membayangkan wajah mereka saat berbicara di antara mereka dan berbicara dengan petugas koperasi itu.

Hari ini sebenarnya tidak terlalu sore, bahkan masih jauh dari waktu pulang kerja. Tapi, ruangan ini senja, bahkan seperti akan datang badai. Padahal, aku hanya mendengarkan mereka berbicara, tanpa melihat wajah mereka. Ya, aku di belakang mereka. Sama-sama antre. Bedanya, aku pake dasi, mereka pake seragam satpam.

"Pinjaman sebelumnya masih tersisa lima ratus ribu, Kang. Dan, potongan gaji Akang tidak hanya dari koperasi kan? Tinggal berapa sekarang gaji, Akang?" petugas koperasi itu bertanya retoris dengan nada minor. Dan, tak ada jawaban.

Aku mendengar suara tergeregap dan tak jelas keluar dari mulut satpam pertama. Satpam kedua hanya pasrah menunggu giliran berbincang dengan petugas koperasi yang nyaris judes itu. Petugas koperasi itu cantik sebenarnya, tapi di dahinya menggelayut senja yang sama, bahkan lebih senja dari nada bicara kedua satpam itu.

Hampir lima belas menit mereka tak beranjak dari depanku. Dan, aku sadar bahwa aku sedang antre. Aku di belakang mereka. Aku merasa sama dengan mereka. Sungguh, hanya mereka memakai seragam satpam dan aku pakai dasi.

Begitulah dia tak berdaya dengan kenyataan yang ada. Dia berada di antara mereka. Ibunya dan kedua adiknya yang perlente semua. Ibu mereka selalu mendapatkan tawaran hadiah dari kedua adiknya. Semua akan dikabulkan apa pun bentuk permintaan ibu, bahkan bila ibu meminta naik haji lagi atau sekadar umrah. Namun, anehnya, sang ibu tak pernah meminta apa pun. Ibunya hanya tersenyum padanya. Padanya seorang.

Kini, sang ibu terbujur sakit. Napasnya tinggal satu-satu. Dan, yang ada di depan ibu tua itu bukan kedua adiknya yang perlente itu, tapi dia dengan sayap senyapnya. Saat itu, siang terik di luar sana, tapi senja terpampang jelas di wajahnya, tidak di wajah ibunya yang telah sumerah. Napas satu-satunya berulaskan senyum. Ibaratnya, senja itu telah disaput oleh keindahan lembayung yang berwarna oranye. Matahari yang akan turun ke bawah bumi menyisakan keindahan yang membuat orang yang melihat fenomena tersebut menghela napas dan kemudian mengeluarkan HP masing-masing yang pada umumnya telah berkamera itu. Mereka akan mengabadikan momen pergantian matahari dan bulan itu dengan lega dan penuh keindahan. Namun, tidak dengan senja yang ada di wajahnya.

"Ibu harus segera dirawat di rumah sakit agar segera diambil tindakan medis," ujar laki-laki dengan dahi senja itu pada ibunya yang ternyata masih bisa diajak bicara, tapi menjawab terbata itu.
"Tidak usah, Komar. Biar ibu rela dijemputnya malam ini."
"Ibu mau menunggu mereka agar ibu bisa dibawa ke rumah sakit. Agar ibu bisa dibawa dengan mobil pribadi, padahal saya bisa pinjam mobil tetangga untuk membawa ibu ke sana."
"Jangan bodoh, Komar. Kamu tahu selama ini ibu tak mengharapkan harta mereka karena ibu tahu dari mana harta itu mereka dapatkan. Sudahlah, anakku, ibu sudah siap menunggu saat itu tiba."
"Tidak. Ibu harus ke rumah sakit saat ini juga!" Ia beranjak dengan tergesa.

Kini, giliran satpam kedua berhadapan dengan petugas koperasi itu. Dan, petugas itu tak banyak berkata, selain menyodorkan selembar kertas hasil kotretan. Di sana, tertera Rp 100.000. Si satpam kedua ini hanya mengangguk pasrah seraya menandatangani berkas peminjaman uang walau gaji per bulannya hanya tinggal seratus ribu. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Saat satpam itu berbalik, aku juga melihat senja yang siap badai di sana.

Kini, ketiga kakak beradik itu kumpul di ruang tunggu sebuah rumah sakit. Mereka saling bisu. Wajah sang kakak tak ramah melihat adik-adiknya yang perlente itu baru saja melecehkannya. Sementera itu hiruk pikuk para penunggu dan erangan sakit para pasien kelas tiga seolah satu-satunya suasana yang tercipta.

"Kang, please, buka pikiran kolot Akang. Yang terpenting kesehatan ibu, Kang. Biar ibu dipindahkan ke VIP dan kami yang menanggung biaya itu semua," salah satu adiknya berkata dengan sungguh, lirih, di telinga kanan sang kakak.

"Yang menghendaki ini semua ibu. Aku hanya menuruti kehendak ibu. Jika kalian mampu, silakan lobi ibu agar mengikuti kehendak mulia kalian," kata sang kakak sambil beranjak meninggalkan mereka berdua.

Kedua adik kakak itu saling berpandangan. Beberapa menit kemudian, mereka beranjak menemui sang ibu yang tergolek lemas di salah satu ranjang di antara deretan ranjang yang berpenghuni orang sakit, di antara berbagai erangan dan bau bacin badan orang-orang sakit serta para penunggunya. Para penunggu yang bergeletakan di bawah ranjang besi itu mengipas-kipas badan mereka karena hawa yang memang panas. Beberapa di antara penunggu itu ada yang membacakan Yasiin di telinga pasien yang ditunggunya. Dan, pasien itu megap-megap.

Kedua kakak beradik yang berpakaian perlente itu menghampiri sang ibu dangan wajah yang hampir muntah karena jijik melihat fenomena kelas tiga di rumah sakit itu. Di wajah sang ibu, senyum mengembang menyambut mereka.
"Aku tahu apa yang akan kalian ucapkan, tapi ibu tetap akan seperti ini. Ibu ikhlas."
"Iya. Kami mengerti, Bu. Tapi, mengapa dengan kami? Izinkan kami berbakti kepada ibu dengan harta dan perhatian kami. Mengapa ibu begitu mengandalkan dan--maaf--mengagungkan Kang Komar, padahal kami melihat ia tersiksa dengan beban membiayai kesembuhan ibu. Lagi pula, bagaimana ibu bisa sembuh di ruangan yang kacau seperti ini? Ibu berhak mendapatkan hak yang lebih dari kami berdua. Kami pun berhak mendapatkan pengakuan ibu, kasih sayang ibu, dengan menerima perhatian kami."
"Ah, sudahlah. Ibu hanya mengikuti naluri tua ibu. Sudahlah. Kalian cukup mendoakan ibu. Jika Allah berkehendak menyembuhkan ibu, di kelas berapa pun ibu dirawat, insya Allah akan sembuh."

Kata-kata itu seolah mengunci segala kemungkinan yang bisa diupayakan. Mata sang ibu mulai terpejam, tanda mereka harus meninggalkannya. Ia telah menutup dialog itu. Sang adik kakak dengan pakaian perlente itu meninggalkan sang ibu dengan wajah senja mereka. Senja tanpa saputan lembayung.

"Sudahlah, Dik. Kita sudah berupaya. Apa peduli kita dengan wanita tua yang keras kepala itu dan apa peduli kita dengan si dosen kere yang dianakemaskan ibu kita."

Kini, giliranku berhadapan dengan petugas koperasi itu. Petugas yang cantik sebenarnya, tapi senja bergelayut di matanya. Baru saja satpam kedua telah pergi dengan amplop di tangannya dan seulas senyum getir di wajahnya.

"Wah, kok tumben pake dasi, Pak. Habis nyidang, ya?" sapa petugas koperasi itu berusaha ramah, tapi kejudesannya tak bisa tertutupi.
"Iya, nih, Teh. Anu, saya mau bawa uang pinjaman. Aplikasinya sudah saya isi kemarin."
"Tapi, gaji Bapak akan habis karena potongan bank cukup besar."
Aku tertegun mendengar kalimat terakhir. Aku hanya melemparinya senyum.
"Nggak apa-apa, Teh. Sudah terlalu biasa bagi dosen III b seperti saya. Yang penting kan lancar mengembalikannya. Iya, nggak?"

Dia menengadah melihat televisi di ruang tunggu kelas tiga rumah sakit itu. Televisi 19 inci yang disimpan di dinding atas salah satu sisi ruang tunggu itu. Televisi yang disangkari besi begitu kokoh dengan gembok besar di ujung kanan bawahnya itu. Televisi yang sudah agak buram warnanya itu. Televisi yang sedang mengabarkan ditangkapnya petugas KPK karena diduga menerima suap.
Dan, kini, wajahnya betul-betul senja.